Selasa, 17 Agustus 2010

Pluralisme Tidak Sama dengan Relativisme:

Perspektif Kristen Protestan

Oleh Denni Pinontoan

Prolog
Sebenarnya agak sulit membicarakan “pluralisme” jika yang diminta adalah: “dari perpsepktif Kristen Protestan”. Mungkin akan muncul pertanyaan, “dari perspektif Kristen Protetstan yang mana? Bukankah Kristen Protestan itu terdiri dari beragam denominasi?” Benar, Kristen Protestan itu justru plural di dalamnya dan menyimpan masalah dengan pluralitas itu. Tapi, agar diskusi kita tidak bias ke persoalan pluralitas internal, maka saya memilih untuk membatasi ulasan ini pada Kristen Protestan yang mainstream. Itupun hanya akan melihat kecederungan-kecenderungan yang mengemuka dalam kerja berteologinya merespon realitas kemajemukan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Selebihnya adalah refleksi saya sebagai seorang Kristen Protestan terhadap realitas kemajemukan (pluralitas) yang merupakan bagian dari kehidupan beragama.

Pluralitas, Kenyataan Sejarah Manusia
Keberagaman atau realitas plural (pluralitas) adalah sesuatu yang bersama-sama dengan sejarah perjalanan peradaban manusia. Agama-agama dalam cerita penciptaannya, menyakini bahwa sumber kehidupan ini bersalah dari yang satu, yaitu dari “Yang Transendental”. Dalam Alkitab dan Al Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Allah, sebagai Yang Satu, asal kehidupan manusia. Dalam agama Hindu, diyakini bahwa kehidupan di dunia ini, pada mulanya mengalir dari Sang Brahman. Kong Hu Cu juga memahami bahwa kehidupan ini berasal dari kesempurnaan antara Yin dan Yang yang disebut Tai Ji. Agama-agama lokal Nusantara menyakini bahwa kehidupan ini berawal dari Kekuasaan Yang di Atas. Para ilmuwan pun berpendapat bahwa asal manusia adalah satu tempat kemudian mereka menyebar ke seantero dunia seperti yang kita alami sekarang.

Kehidupan yang beragam ini, asalnya dari “Yang Satu” itu, setidaknya demikian kalau kita berangkat dari cerita-cerita penciptaan menurut agama-agama. Dalam wujud kehidupan semua itu menjadi beragam. Manusia berbudaya: berkreasi, berinovasi dengan nalar dan hati. Dalam kebudayaan manusia mengidentifikasi dirinya melalui sistem nilai dan lembaga-lembaga yang dia cipta berdasarkan nalar dan hatinya, yaitu: ekonomi, politik, sosial dan agama. Di situlah pluralitas melembaga. Kemajemukan sepertinya menjadi bagian dari usaha manusia untuk terus “mem-berada-kan” dalam dunia ini.

Manusia memproduksi kebudayaan yang berbeda-beda itu, yang kemudian kedalamnya dia mengidentifikasi dirinya. Membangun kebudayaan sama dengan membangun kehidupan. “Karena manusia adalah makhluk yang menciptakan kebudayaan dan mampu melakukan transformasi diri secara kreatif, mereka tidak dapat mewarisi satu sifat yang sama dengan cara pandang seperti binatang.”

Di suatu masa yang oleh Karl Jasper disebut “Zaman Aksial”, kira-kira tahun 800-200 sebelum masehi, hadir sebuah perubahan yang cukup mendasar dalam sejarah peradaban manusia. Pemikiran-pemikiran revosioner muncul hampir secara bersamaan di berbagai belahan bumi, di China, India, dan di Barat (lewat pemikiran-pemikiran klasik sejumlah filsuf Yunani Kuno). Pemikiran-pemikiran filsafat dan keagamaan muncul dan memberi pengaruh besar bagi peradaban manusia, saat itu dan hingga sekarang. Di masa itu, Khong Hu Cu tampil dengan pemikiran etika-moral-religiusnya. Demikian juga Hindu mencapai tingkat metaphorsisnya yang tinggi, yaitu dengan lahirnya agama Budha.

Inilah zaman yang memberi dasar bagi perkembangan pemikiran filsafat dan keagamaan dunia modern sampai hari ini. Di masa itu, bangkitnya Platonisme, yang kemudian memberi pengaruh besar terhadap dunia Barat dan kekristenan baik melalui pemikiran sekuler sepanjang Abad Pertengahan dan sampai Renaisans. Buddhisme, di India, yang didirikan oleh Siddhartha Gautama, atau Buddha, yang hidup pada periode ini; penyebarannya dibantu oleh Asoka, yang hidup di akhir periode. Di Cina, Konfusianisme muncul selama era ini, di mana ia tetap pengaruh yang mendalam pada kehidupan sosial dan keagamaan. Zoroastrianisme, juga berkembang di masa ini.

Zaman ini hidup para penulis Upanishad, Lao Tzu, Homer, Socrates, Parmenides, Herakleitos, Thucydides, Archimedes, Elia, Yesaya, Yeremia, dan Deutero-Yesaya. Socrates, Konfusius dan Siddhartha Gautama disebut Jaspers sebagai manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keteladanan. Pemikiran tokoh-tokoh ini telah memberi pengaruh sepanjang sejarah manusia dalam merefleksikan kehidupannya.

Pluralitas pemikiran dan keyakinan agama akhirnya melembaga dalam ideologi dan agama-agama. Kristen dan Islam yang muncul belakangan sudah tentu bagian dari apa yang telah dibangun di zaman aksial itu. Bahkan, reformasi Luther abad 16, yang kemudian melahirkan agama Kristen Protestan, dan menyusul kelahiran beragam denominasi gereja dalam agama itu, merupakan dari proses tranformasi pemikiran keagamaan dari zaman ‘emas” peradaban yang mengambil bentuk sesuai konteks.

Namun, Eropa misalnya pernah tunduk pada satu sumber klaim kebenaran, baik agama maupun politik. Abad pertengahan, abad di mana gereja Kristen terlembaga sedemikian rupa, dan cenderung mengidiologisasi sistem nilai keagamaan menjadi absolute. Padahal, nilai gereja sebenarnya berangkat dari Injil yang sebenarnya bermakna pembebasan dan pemerdekaan. Abad ini menggejala apa yang Parekh sebut sebagai “Monisme Moral”, atau suatu cara pandang menunggalkan jalan hidup, yang harus menjadi rujukan nilai, sebagai sesuatu yang paling manusiawi dan paling benar, di luar jalan itu, dianggap tidak utuh dalam pengertian mereka kekurangan akan hal itu. “Monisme Kristen didasarkan secara teologis, berjalan beriringan dengan monisme religius atau keyakinan bahwa agama Kristen sendiri merepresentasikan agama yang “satu dan benar”.

Reformasi abad 16 telah melahirkan era modern. Rasionalisasi dan sekalurisasi menggejala dalam kehidupan masyarakat di Eropa. Kebebasan menghasilkan plurisasi dalam berbagai bidang. Ini sangat berbeda dengan zaman pra Reformasi yang semua berpusat pada gereja. Gereja Protestan yang lahir dari semangat reformasi itu di kemudian hari terpecah-pecah dalam berbagai macam denominasi. Steve Bruce mengatakan, “…agama yang dibentuk melalui Reformasi Protestan pada abad ke-enam belas sangat rentan akan perpecahan karena agama menggeser peran lembaga gereja sebagai sumber kewenangan antara Tuhan dan manusia.” Ada kebebasan, menjadi plural, tapi di pihak lain ini menyimpan masalah.

Pluralisasi tahap berikut adalah buah dari modernisasi. Bruce berpendapat, laju modernisasi telah membawa serta berkembangnya keragaman budaya melalui tiga cara. Pertama, perpindahan penduduk membawa bahasa, agama, dan nilai sosial mereka yang berpindah tersebut. Kedua, perluasan wilayah kekuasaan menjadikan kelompok baru masuk ke dalam negara tersebut. Ketiga, bersamaan dengan keragaman budaya tersebut adalah terciptanya kelas-kelas dan fragmentasi kelas seiring berkembangnya ragam kepentingan.

Pluralisme, Anti Penunggalan dan Relativisme
Istilah “pluralisme”, berbeda dengan istilah “pluralitas”, meski “pluralisme” berangkat dari kenyataan plural. Pluralisme menunjuk pada cara pikir, paradigma atau sikap yang menghargai dan memberi ruang terhadap perbedaan (kemajemukan). Pluralisme mensyaratkan keterbukaan, keseteraan dan pengakuan di antara yang berbeda itu. Pluralisme sama sekali tidak dalam pemahaman bahwa semua agama saja (relativisme). Sebab, syarat dari pluralisme adalah adanya perbedaan, bahkan pluralisme bermaksud menjaga perbedaan agar tidak menjadi seragam dan juga tidak saling berbenturan. Perjumpaan antara yang berbeda, dalam paradigma pluralisme mestinya terjadi secara harmonis, dan dengannya terbangun kesadaran bersama dalam memaknai hidup.

Wikipedia mendefinisikan “Pluralisme agama” sebagai sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula: “Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.” “Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.”

Belakangan para sarjana memperkenalkan istilah “multikulturalisme. Istilah ini muncul di beberapa negara yang kemudian mengalami pluralitas, seperti Amerika, Kanada dan Ausralia sejak kira-kira tahun 1970-an. Istilah ini merupakan reaksi atas “penunggalan” kebenaran yang bersama dengannya adalah penunggalan kultur. Multikulturalisme adalah tanggapan normatif terhadap kenyataan keanekaragaman atau perbedaan yang dilekatkan secara kultural. Hal ini terkait dengan hak kultural dan identitas dalam sebuah komunitas yang beragam. Dominasi satu kebenaran budaya, merupakan persoalan bagi para multikuturalis. Multikulturalisme memahami bahwa perbedaan tersebut bukan sesuatu yang harus terhubung dalam ikatan-ikatan subjek dan objek, atau antara yang mayoritas dengan kekuasaannya yang hegemonik, dengan minoritas yang tersubordinasi dalam hubungan yang timpang tersebut.

Baik pluralisme maupun multikulturalisme sama-sama merupakan penolakan terhadap usaha menunggalkan kebenaran atau penunggalan kebudayaan. Dalam pemahaman kritis, bahwa susunan masyarakat itu dibeda-bedakan berdasar pada kekuasaan. Kelompok masyarakat yang minoritas secara demografis dan politik sering didominasi oleh kelompok masyarakat yang mayoritas secara demografis dan politik. Paling dekat contoh tersebut adalah realitas keanekaraman di Indonesia. Multikulturalisme, tidak hanya berakhir pada pemberian penghargaan dan pengakuan, tapi juga tindakan-tindakan dan aksi-aksi dalam memperjuangkan kesetaraan di antara yang berbeda tersebut.

Dominasi dan hegemoni kebenaran yang berangkat dari konstruksi agama dan kultural menjadi fokus perhatian dari pluralisme dan multikulturalisme. Asumsinya bahwa, perbedaan adalah realitas, sehingga penyeragaman dan peleburan adalah pengingkaran terhadap realitas tersebut. Masing-masing yang berbeda dipahami memiliki keunikan dan haknya untuk bereksistensi. Dengan demikian pluralisme dan multikulturalisme adalah cara pikir atau paradigma yang menegaskan adanya perbedaan tersebut. Sebaliknya, relativisme (mengangap bahwa agama dan budaya-budaya sama saja) atau penyeragaman sangat bertentangan dengan idealisme pluralisme dan multikulturalisme tersebut.

Pluralisme dan multikulturalisme, meski pada beberapa hal berbeda, tapi prinsip dasarnya adalah pengakuan terhadap adanya perbedaan tersebut. Dengan adanya pengakuan tersebut, maka masing-masing pihak yang berbeda berada dalam posisi yang setara. Dalam posisi yang setara inilah perbedaan justru menjadi kekuatan, bukan ancaman. Sebab dengannya, maka masing-masing yang berbeda dapat duduk bersama, berdialog, dan merumuskan komitmen bersama. Komitmen bersama tersebut dalam bentuk aksi memperjuangkan keadilan, kesetaraan dan pembaharuan tata masyarakat yang terus menerus.


Pluralisme Sebagai Respon Iman Atas Pluralitas
Modernisasi Barat memang telah melahirkan pluralisasi dalam beragam hal. Namun, di Timur, sebelum itu agama-agama juga beragam. Ada Hindu dan Budha di India, Kong Hucu dan Tao di Cina, kemudian Islam di Arab. Bersama keragaman agama adalah keragaman budaya yang saling kait-mengkait. Di Nusantara, sebelum agama-agama ini masuk, agama-agama asli sebanyak suku bangsa yang ada. Ketika agama-agama dari luar tersebut masuk, di tambah Kristen, maka semakin beragamlah Nusantara, sampai hari ini.

Kenyataan plural inilah yang mau tidak mau harus direspon oleh agama-agama. Sebab, kenyataan pluralistis ini juga mengandung masalah. Khusus agama Kristen dalam memandang agama-agama lain, paling tidak berkisar di tiga sikap. Sikap pertama, mengakui kenyataan plural tersebut namun dengan sikap curiga dan bahkan mengembangkan pemikiran keagamaan yang merendahkan agama-agama lain (sikap eklusif). Kedua mengakui keragaman tersebut, memberi penghargaan dan penghormatan, namun masih terdapat kecenderungan sikap menundukkan kebenaran agama-agama lain di atas keyakinan kebenaran agama sendiri (sikap inklusif). Ketiga, sikap yang menghargai dan mengakui keberagaman dan dengannya berusaha melakukan refleksi teologis untuk menghasilkan sebuah respon iman atas kenyataan tersebut (sikap pluralis dialogis/pluralisme).

Kenyataan perbedaan atau keragaman suku, agama, ras di kalangan gereja-gereja Protestan di level internasional secara teologis setidaknya sudah digumuli sejak Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh tahun 1910, kemudian di Yerusalem tahun tahun 1928 dan Tambaran tahun 1938. Meski pembahasan-pembahasan agama dan kebudayaan-kebudayaan lain masih dalam konteks penginjilan tradisional, namun perjumpaan-perjumpaam para gereja dengan beragam agama dan budaya telah menuntut sikap-sikap teologis.

Paradigma misi gereja-gereja Barat yang memandang agama dan kebudayaan lain sebagai objek untuk ditobatkan memang masih dominan. Namun, setidaknya dengan melibatkan beberapa orang Kristen dari Timur dalam konfrensi-konfrensi tersebut gereja-gereja Barat telah mendengar langsung suara-suara dari Asia. Sebelumnya, gereja-gereja Protestan Barat telah terlibat dalam diskusi tentang makna yang sebenarnya dari penginjilan tersebut. Perbedaan pendapat antara kalangan kelompok konservatif dengan kelompok liberal mewarnai diskusi-diskusi tersebut. Dari perbedaan-perbedaan yang mengemuka, kedua kelompok ini masih sepaham bahwa kebudayaan Barat sebagai sesuatu yang harus dimasyurkan. Mengenai hal ini David Bosch berkata: “Namun, tempat kedudukan mereka semakin berbeda, yakni pada keseluruhan tujuan misi. Sementara sebagian menekankan bahwa tujuan agung misi bukanlah membawa orang-orang kafir kepada suatu masyarakat yang teratur dan berbudaya melainkan kepada Kristus dan keselamatan kekal, yang lainnya lebih prihatin tentang penciptaan suatu peradaban yang berpusat pada Injil dan keuntungan-kentungan yang akan dihasilkannya kepada semua bangsa daripada doktrin dan tujuan kekal bangsa-bangsa.”

Di Dewan Gereja-gereja Sedunia (DGD) , upaya-upaya menggumuli keragaman agama dan budaya tersebut diteruskan kepada Komisi dan Pekabaran Injil Sedunia. Pada tahun 1971 sebuah sub unit tersendiri telah dibentuk untuk menggalakkan dialog antara orang-orang dari agama-agama yang hidup. DGD melalui unit-unitnya ini sampai sekarang terus mengusahakan dialog antara agama sebagai respon iman atas keragaman agama dan budaya dunia. Paradigma pluralisme telah menjadi pendekatan gereja-gereja Protestan dalam melakukan hubungan dan kerjasama dengan agama-agama lain. Usaha mengembangkan sikap dan paradigma pluralisme ini, mungkin merupakan tesis dari dialektika antara kecenderungan absolutisme dengan relativisme iman Kristen berhadapan dengan keberagaman tersebut.

Dalam konteks Indonesia, melalui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (sebelumnya bernama Dewan Gereja-gereja Indonesia) , gereja-gereja Protestan bahkan yang paling merasakan kemajemukan tersebut. Gereja-gereja Protestan - yang kebanyakan warisan gereja Barat ini – mau tak mau harus merumuskan sikap teologisnya sesuai dengan konteks yang beragam. Hal ini tampak dari rumusan-rumusan dan bentuk-bentuk Pekabaran Injilnya.

Survei DGI yang dilakukan mulai tahun 1968 sampai akhir tahun 1970-an mengenai kondisi gereja-gereja Protestan di Indonesia yang menjadi anggota DGI, ditemukan bahwa masing-masing gereja berusaha merumuskan sendiri sikap-sikap teologisnya baik terhadap agama-agama (termasuk agama suku) dan tradisi serta budaya di mana gereja-gereja tersebut berpijak. Disimpulkan dalam survey tersebut setidaknya sikap yang dimunculkan berkisar pada dua sikap, yaitu memahami agama-agama dan budaya lain sebagai objek penginjilan untuk ditobatkan, dan yang lain berupaya melakukan kajian teologis dan dengannya berupaya melakukan dialog.

Dua sikap tersebut terungkap dalam dua pernyataan berikut ini. Sikap pertama memahami bahwa misi gereja dipahami berada “…dalam segala usaha memperjoangan keadilan, martabat manusia dan lain-lain hal, yang harus merupakan tanda-tanda Kerajaan Allah. Sementara sikap kedua mendefinisikan misi gereja sebagai berikut: “Pekabaran Injil adalah gerakan keluar, memberi kesaksian umum maupun pribadi, dengan perkataan dan perbuatan, tentang keselamatan di dalam Yesus Kristus., agar supaya orang yang belum percaya kepadanya menjadi pengikut-Nya.” Dua sikap ini disebut menggambarkan kecenderungan cara pandang dan pemahaman teologis gereja-gereja Kristen Protestan di Indonesia terhadap kemajemukan agama dan budaya di masa itu. Meski, DGI sendiri secara lembaga dalam sikap teologisnya memahami bahwa gereja terpanggil untuk membuka diri, tanpa prasangka negative terhadap semua warga masyarakat Indonesia dari semua latar belakang dan identitas.

Dalam Sidang BPL DGI, 4 – 10 Oktober 1973 dirumuskan, panggilan gereja-gereja Protestan di Indonesia, “…untuk turut serta bertanggung jawab dalam usaha-usaha pembebasan manusia dari penderitaannya yang disebabkan oleh keterbelakangan, kemiskinan, penyakit, ketakutan dan ketidakpastian hukum.”
“Gereja-gereja terpanggil untuk ikut serta sepenuhnya mengusahakan keadilan dalam segala lapangan hidup: keadilan di bidang ekonomi dan politik, keadilan antar manusia dan antar golongan, keadilan dalam susunan masyarakat dan keadilan internasional”.

Terkini, Ketua Umum PGI, Pdt. Andreas Yewangoe dalam pada Sidang MPL PGI di Hotel Clarion & Convention Makasar, 16 - 19 Februari 2009 menyinggung mengenai pluralisme tersebut. Disebutkan dalam pengantar tersebut mengatakan, bahwa seorang warga Kristen ditentukan oleh dua “loci” (bentuk pluralis dari “locus”), yaitu sebagai warganegara ia terhisab kepada bangsa, dan sebagai wargagereja ia adalah bahagian dari gereja. Kedua hal ini ikut menentukan identitas dan sifat seorang Kristen (bahkan kekristenan). Menurut Pdt. Yewangoe, ini tampak dari sikap-sikap teologis gereja dalam pokok-pokok pikiran PGI pada setiap sidang MPH-PGI beberapa tahun terakhir ini. Dasar pikiran ini menjadi dasar bagi PGI untuk merumuskan pokok-pokok pikiran mengenai makna kehadiran gereja di bumi Indonesia yang majemuk.

Dalam Sidang MPL-PGI yang diselenggarakan di Makassar-Sulawesi Selatan (2009) tersebut, dirumuskan Pikiran Pokok: "Memperkuat Komitmen Pluralisme dan Kebangsaan dalam Rangka Kesejahteraan Masyarakat". Pokok pikiran ini terutama adalah respon terhadap kecenderungan yang diakibatkan oleh gesekan-gesekan di antara yang berbeda tersebut, seperti halnya keprihatinan terhadap upaya-upaya dari kelompok agama tertentu untuk menformalisasikan keyakinan dan ideologi keagamaannya di ruang publik, dan hal ini dinilai dapat mengganggu kehidupan yang harmonis masyarakat Indonesia yang majemuk.

Mengenai pluralisme, Pdt. Yewangoe mengatakan, istilah ini menunjuk pada pengakuan dan penghargaan terhadap pluralitas dalam masyarakat. Pluralitas atau kepelbagaian itu terdiri dari lembaga-lembaga sosial bisa bermacam-macam: suku, etnis, ras, agama, bahkan kepentingan. Makin banyak lembaga sosial, makin marak pula pluralitas di dalam masyarakat, yang sudah tentu diarahkan oleh pandangan hidup tertentu.

Namun, yang dirumuskan oleh PGI, tentu tidak menjadi pandangan mutlak umat Kristen Protestan di Indonesia. Sikap eksklusif dalam diri masing-masing umat Kristen terhadap umat beragama lain saya kira masih dominan. Tapi, bahwa sikap-sikap eksklusif itu tidak berkembang menjadi kekerasan, itu mungkin yang masih perlu dibanggakan. Tapi, bukan tidak mungkin, reaksi-reaksi keras dari agama-agama lain terhadap umat Kristen, misalnya penutupan gereja, pelarangan dan lain-lain, perlu juga dievaluasi jangan-jangan ini disebabkan oleh cara berteologi gereja atau sikap umat yang menganggap agama dan budaya lain yang tidak Kristen tidak berhak dengan keselamatan. Pluralisme, memang tidak harus menisbihkan keyakinan kebenaran agama. Sebab, pluralisme bukan peleburan atau penyatuan keyakinan, melainkan membangun komitmen bersama untuk kesejahteraan di bumi dalam keberagaman sebagai ekspresi teologis terhadap kebenaran yang diyakini.

“Pluralisme”, sebuah istilah yang pernah diharamkan oleh MUI, memang bisa disalah mengerti, jika hanya memahami dari pendekatan yang sempit. Pluralisme sama sekali tidak dalam pemahaman bahwa semua agama saja (relativisme). Sebab, syarat dari pluralisme adalah adanya perbedaan, bahkan pluralisme bermaksud menjaga perbedaan agar tidak menjadi seragam serta tidak saling berbenturan. Perjumpaan antara yang berbeda, dalam paradigma pluralisme mestinya terjadi secara harmonis, dan dengannya terbangun kesadaran bersama dalam memaknai hidup.

Iman Kristen memahami apa yang telah ciptakan oleh Tuhan Allah adalah baik adanya. Kisah penciptaan menceritakan dengan jelas keragam tersebut. Adam dan Hawa mungkin dimaksudkan sebagai pegambaran “manusia” yang diciptakan Tuhan. “Manusia” yang bukan hanya satu tapi banyak, dan beragam. Memberi makna seperti ini terhadap kisah penciptaan itu bukan berarti sudah selesai gereja Kristen berhadapan dengan kenyataan pluralistis tersebut. Sebab, gereja di masa awal pernah memahami Yesus secara eksklusif dalam rumusan-rumusan teologisnya. Dan, keunikan Yesus ini yang dipahami sebagai satu-satunya “Jalan Kebenaran” kemudian menjadi dasar kerja misionernya. Kenyataan pluralistis harus ditundukkan pada satu sumber kebenaran, dan dipahami tujuan akhir dari misi gereja adalah menjadikan dunia ini tunduk dan beriman hanya kepada “satu” doktrin.

Manusia yang diciptakan Tuhan dilengkapi dengan kemampuan menalar, maka dengannya dia memiliki kemampuan untuk berinovasi, mengolah dan memberdayakan alam untuk kehidupannya. Kebudayaan adalah inovasi manusia untuk memaknai karunia Tuhan. Namun, dari kebudayaan itulah manusia melembagakan pluritas, budaya menjadi beragam atau multikultur.

Dalam konteks seperti juga, bangsa Israel hadir. Ungkapan yang menyebut Israel sebagai “Bangsa Pilihan”, mesti dipahami sebagai bahasa iman yang mengungkapkan hubungan pribadi antara Israel dengan Allah. Sebab, kenyataan majemuk adalah juga realitas Israel. Di sekitar bangsa ini hidup dan berkembang beragan bangsa dengan sistem kepercayaannya masing-masing. Dan, sebagai bahasa iman yang jelas subjektif, Israel sebagai “bangsa Pilihan” menegaskan religiusitas bangsa ini dalam merespon kehendak Tuhan. Hal yang sama, demikian juga dipahami oleh bangsa-bangsa lain dalam mereka beragama.

Yesus Kristus, di dalam Alkitab disebutkan sebagai Anak Allah, yang telah diutus oleh Bapanya ke dalam dunia ini, sebagai bentuk kasih Bapa di surga akan dunia ini, dan kepada-Nya manusia bisa percaya sehingga bisa beroleh hidup kekal (Yoh. 3:16). Pengutusan Bapa kepada Anaknya ini bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkan. “Dunia” ini, tentu adalah dunia yang beragam, yang telah diciptakaan oleh Allah. Iman orang Kristen, memahami bahwa Yesus adalah Jalan Kebenaran dan Hidup. Sebagai sebuah bahasa iman, yang harus juga dipahami berdasarkan pengalaman iman. Maka, agama-agama lain dalam konteks ini mestinya dipahami setara sebagai komunitas atau kelompok manusia yang mengekspresikan kepecayaannya terhadap Sang Khalik dengan caranya sendiri. Demikianlah kiranya, pengakuan-pengakuan yang seperti ini mestinya dipahami sebagai keunikan, bukan sebagai sesuatu yang dimaksudkan (atau dijadikan sebagai pembenar) untuk menunggalkan keberagaman.


Epilog
“Ketika anak perempuan saya mengatakan bahwa saya adalah ayah yang terhebat di seluruh dunia, dan bahwa tidak akan ada ayah lain yang seperti saya, ia mengatakan sesuatu yang sebenarnya. Sebab semua itu lahir dari pengalamannya. Ia jujur mengenai itu. Ia tidak pernah mengalami orang lain yang berperanan sebagai ayah. Penegasan ini adalah bagian dari keberadaannya. Tidak ada keraguan sedikit pun di dalam pikirannya. Ia barangkali malah akan kecewa total, bila diberitahu bahwa sesungguhnya ayahnya itu bukanlah ayah yang terbaik di dunia.”

Demikian ilustrasi Wesley Ariarajah, teolog agama-agama dari Gereja Metodis Sri Lanka dalam usahanya menjelaskan tentang keunikan agama Kristen. Menurut dia, pengakuan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan, harus dipahami sebagai bahasa iman yang berangkat dari pengalaman iman. Dan, sebagai bahasa iman adalah sah bagi seorang Kristen untuk terus mempertahankannya, pun dalam konteks yang plural. Tapi, menurut dia, hal ini harus disertai dengan kesadaran yang penuh, bahwa di sekitar dia ada orang-orang lain, yang beragama lain dengan pengalaman imannya mengungkapkan dan mempertahankan keunikan agamanya. Dalam konteks perjumpaan, keunikan-keunikan ini tidak harus direlativisir, melainkan didialogkan, dengan dengannya atas kepercayaan tersebut mengambil tindakan bersama untuk pembaharuan dunia.

Demikianlah kiranya, bahwa pluralisme tidaklah dalam rangka melativisir keyakinan kebenaran agama. Justru pluralisme memberi pemahaman bahwa dalam perjumpaan dengan yang lain kebenaran masing-masing agama dapat menjadi spirit dan sistem nilai untuk melakukan kerja bersama membangun kehidupan yang lebih baik.



Bukit Inspirasi Tomohon, 16 Februari 2009


Kepustakaan
Bikhu Parekh, Rethingking Multikulturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, terj. C.B. Bambang Kukuh Adi, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 169.
http://en.wikipedia.org/wiki/Axial_Age (download 11 Februari 2010).

Steve Bruce, Fundanemtalisme Pertautan Sikap Keberagaman dan Modernitas, terj. Herbbhayu A. Noerlambang, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 22-27.

Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Global, (Jakarta: BPK, 2003), hlm

David Bosch, Tranformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Berubah dan Mengubah, terj. Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK, 1999), hlm. 457-458.
DGD terbentuk pada Sidang Rayanya yang pertama di Amsterdam, Belanda, pada 23 Agustus 1948.

F. Ukur dan F.L. Cooley, Jering dan Juang: Laporan Nasional Menyeluruh survai gereja di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi – DGI, 1979), hlm.

Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-agama, terj. Bosco Carvallo, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 33.

1 komentar:

  • Inspironi says:
    7 September 2010 pukul 23.06

    Shalom, salam baku dapa...ternyata produktif nulis juga ya sampe bikn buku. Mantap. Tersu berkarya, GBY :)