Minggu, 15 Agustus 2010

GMIM dalam Tantangan dan Peluang Globalisasi[1]

Prolog
Tak sulit lagi bagi kita untuk segera tahu apa yang menjadi kebijakan Amerika dari Gedung Putih di Washington terhadap Irak. Kita pun segera tahu bahwa Saddam Husein telah dihukum mati. Bahkan kita lebih dulu tahu berapa rakyat sipil yang terbunuh di Jalur Gaza, ketimbang Roy Marten yang tertangkap lagi memakai Shabu. Akhir-akhir ini, kita pun secara gampang bisa membeli accessories produk Cina dengan harga murah. Bahkan selera makan pun kita mulai beralih dari tinutuan ke KFC. Ke Manado pun kita tak lagi ke Pasar 45 untuk membeli pakaian atau apa saja, bukan cuma karena para penjual di sana telah direlokasi, melainkan karena telah begitu banyak mall-mall yang menawarkan beragam barang dagangan meski dengan harga sedikit mahal. Tontonan siaran televisi kitapun tak lagi TVRI, melainkan di desa-desa terpencil pun, atas jasa TV kabel, kita bisa menonton hampir setiap hari laga dan romantisme aktor dan aktris Hollywood dan bollywood. Dengan situs jejaring sosial, seperti Facebook atau Twitter, kita yang saling berjauhan kini seolah merasa dekat.

Inilah antara lain fenomena globalisasi yang sedang berhadapan muka dengan kita. ”Globalisasi” begitu istilah yang akhir-akhir ini dipakai oleh akademisi, budayawan, pengamat untuk menerangkan proses pengintegrasian masyarakat dunia melalui sistem ekonomi dan politik global dan juga tekonologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih. Kita sedang berproses di dalamnya. Bank Dunia mendefinisikan globalisasi sebagai proses integrasi ekonomi dan masyarakat melalui arus informasi, ide, aktivitas, teknologi, barang, jasa, modal, dan manusia antarnegara. Globalisasi adalah sebuah proses yang menunjuk pada saling bersinerginya warga bumi dari berbagai latar belakang negara, paradigma, budaya, agama dan lain sebagainya melalui arus informasi yang semakin canggih dan cepat.

Dalam beberapa pernyataan, para pihak yang mengkhawatirkan kemunculan globalisasi ini mengatakan bahwa globalisasi mengancam identitas, misalnya budaya lokal dan agama karena keseragaman yang diusungnya. Memang kemajuan teknologi komunikasi telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. Tapi menurut John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox, ini memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional. Senada dengan Naisbit adalah Thomas L. Friedman yang berpendapat justru dengan globalisasi ekspresi kebudayaan lokal mendapat ruang.
Begitu juga dengan pasar bebas yang menjadi turunan dari globalisasi ini. Ini juga dikhawatirkan bisa mengancam sistem berekonomi suatu bangsa karena semangat kapitalisme dan liberalisme yang diusung globalisasi. Namun, ini juga sebenarnya menjadi peluang, ketika sistem ekonomi kita kuat dan akhirnya menjadi pemain di dalamya. Betapa tidak dengan adanya globalisasi ini, keramik yang di produksi oleh masyarakat di Pulutan bisa langsung dijual di Los Angles misalnya. Begitu juga dengan kacang sangrai Kawankoan. Kalau diolah secara profesional: mutu, packing dan sistem pemasarannya baik, maka orang-orang Tokyo, Jepang bisa merasakan gurihnya kacang Kawangkoan itu.

Dalam kondisi dan persoalan itulah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) berpijak dan mestinya memberi makna. GMIM dengan tugasnya mengabarkan Injil di dunia, dalam segala ruang dan waktunya, secara sadar mestinya juga memberi jawab atas tantangan dan peluang globalisasi bagi umat dan masyarakat lebih luas. GMIM, sebagai persekutuan orang-orang yang beriman kepada Injil Yesus Kristus, dan sebagai lembaga keagamaan hadir dan mestinya memberi jawab terhadap persoalan-persoalan tersebut.

Sejak beberapa tahun lalu, istilah teologi kontekstual menjadi trend di sekolah-sekolah teologi. GMIM, melalui Fakultas Teologinya juga terus mengembangkan model dan paradigma berteologi tersebut. Secara sederhana teologi kontekstual adalah usaha dialog gereja terhadap konteks, budaya, sosial, politik, ekonomi dan pluralisme agama di mana dia berpijak. Bukan untuk mengganti tugas negara, melainkan ketika GMIM ikut memberdayakan dan mengadvokasi segala persoalan umatnya dalam berhadapan dengan globalisasi, maka inilah ibadah nyata GMIM di dunia yang kompleks dengan persoalan ini. Itulah juga teologi kehidupan GMIM dalam usaha menyelamatkan umat dari dari ancaman krisis jiwa dan raga ketika semua telah menjadi ekonomis, politis dan barangkali asosial.

Globalisasi menantang GMIM untuk segera merelokasi aktivitas begerejanya dari seremonial di mimbar saja dan segala kekakuan doktrin dan aturan di tembok-tembok kokoh kantor sinode yang megah itu, menuju ke kehidupan nyata para umat yang sehari-sehari menantang globalisasi dengan menjadi petani, tukang ojek, buruh bangunan, pengrajin dan lain sebagainya. Ibadah sejati GMIM, adalah ketika dia mempersembahkan segala karya dan abdinya bagi keselamatan umat dan masyarakat dalam kehidupannya kini menuju ke kehidupan yang akan datang.

GMIM sebagai Ekklesia
Kata “gereja” yang umum dipakai, berasal dari kata Portugis, “igreja”. Kata “church” yang biasa diterjemahkan “gereja” dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Inggris Tua, dalam bahasa Jerman diucapkan "Kirche," di Skotlandia, disebut "kirk." Ben Williams dalam artikelnya berjudul “What is The Ecclesia?” mengurai pergeseran atau juga kesalahan penerjemahan kata “ekklesia”. Dia kemudian menemukan bahwa antara kata “church” dengan kata “ekklesia” sama sekali tidak memiliki kesinambungan. Menurut Williams, kata “church” lebih dekat ke kata Yunani “kuriakón”yang dikembangkan dari kata "ku-ri-á-kos" atau "ku-ri-os," yang berarti "tuan." Jadi, "kuriakos" (atau, "church") berarti "yang berkaitan dengan tuan." Ini mengacu pada sesuatu yang berhubungan dengan kepemilikan atau kebangsawanan. Kata inilah yang kemudian dalam bahasa Inggris Tua diterjemahkan menjadi "cirice" (kee-ree-ke), dan kemudian menjadi "churche" (kerké). Makna kebangsawanan dalam kata “church” itu sangat dimungkinkan mengingat feodalisme menjadi ciri sosial masyarakat Eropa.
Kata “kuriakos” dalam Perjanjian Baru hanya muncul sebanyak dua kali, yaitu dalam I Korintus 11:20 dan dalam Wahyu 1:10. Sementara kata ‘ekklesia” muncul sebanyak kira-kira 115 kali. Williams mengutip Encyclopedia Britannica yang mendefinisikan kata "ekklesia" (ἐκκλησία) sebagai istilah untuk menunjuk pada sidang majelis/orang-orang yang terpilih dalam pemerintahan kota Athena. Mereka memiliki kekuatan politik bahkan termasuk fungsi yuridis. Secara harafiah kata “ekklesia berarti “dipanggil keluar” (Yun. ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Kata ini memang berasal dari praktek politik di Athena kuno yang menunjuk pada sidang rakyat yang demokratis, dengan membuka kesempatan yang sama kepada semua warga negara di Athena, tanpa membedakan kelas. Sidang rakyat inilah yang bertanggungjawab untuk menyatakan perang, menyusun strategi militer, dan lain-lain yang menyangkut kepentingan umum.

Kata inilah yang dipakai oleh penulis Perjanjian Baru untuk menunjuk pada “orang-orang percaya yang terpanggil ke luar”. Yang dimaksud yang orang-orang percaya yang terpanggil itu adalah orang-orang Kristen, yang tidak terikat atau mengikatkan diri dengan kuasa-kuasa politis duniawi. Artinya, orang-orang yang terpanggil ini berada dalam posisi yang otonom dari kuasa-kuasa politis, dalam konteks zaman itu politik Imperium Romawi. Mereka kini berada di bawah kuasa Kerajaan Allah, melalui Injil Yesus Kristus. Kesimpulan ini, seperti kata Williams, sangat berbeda dengan kata “church” (gereja), dalam yang lebih menekankan aspek organisatorisnya. Hal ini, sangat mungkin terjadi ketika kata “church” dipakai dalam konteks feodalisme Eropa untuk menegaskan kekuasaan lembaga gereja. William Tyndale, tokoh reformis abad kelima belas yang juga penerjemah, lebih suka menerjemahkan kata “ekklesia” menjadi “congregation"/jemaat, ketimbang “church” atau gereja. Kata “ekklesia” ini lebih bermakna sebagai “komunitas Kristen yang otonom, yang tidak tercampur dengan kepentingan-kepentingan politik duniawi.

Dari penelusuran dan pencarian makna terdalam kata “ekklesia” ini. Williams kemudian menegaskan sikapnya. Dia berpendapat, kekristenan dirancang untuk menjadi cara hidup - bukan terutama ritual keagamaan. Tubuh Kristus nyata dalam masyarakat. Kekristenan bukan terutama organisasi gereja! “We need open light and liberty -- not hierarchical mystery and darkness!” seru Williams. Maka, sebagai Ekklesia, GMIM memposisikan diri sebagai persekutuan yang membebaskan, memerdekakan, memberdayakan dan membimbing umat ke kehidupan yang damai sejahtera.

Refleksi dan Aksi Teologis GMIM di Era Globalisasi
Ketua Sinode GMIM Pertama yang berasal MInahasa Ds. AZR Wenas, pernah berucap: “Tanah dan Bangsa Minahasa adalah Ciptaan dan Anugerah Tuhan. Gereja Tuhan di Tanah Minahasa harus men-jalankan Misinya lepas dari Kuasa Negara Sambil Melaksanakan Kesaksian Kenabiannya Melalui Perbuatan yang Nyata Dengan Mencerdaskan Manusia, Menolong Orang yang Sakit dan Mengangkat Derajat Kesejahteraan Bangsa Minahasa.”
Ada berapa hal menarik yang bisa kita catat dari ucapan Ds AZR Wenas itu. Pertama, tokoh besar kita ini menyebut “Tanah dan Bangsa Minahasa”. Kata-kata ini menunjuk pada dunia di mana seorang Ds Wenas melakukan refleksi dan aksinya dalam berteologi. Tanah Minahasa, tentu menunjuk pada tanah pijakan, semangat dan manusia yang berproses di dalamnya. Minahasa adalah bangsa, yang akhirnya menjadi salah satu bangsa di Negara yang bernama Indonesia. Menurut saya ini pertama-tama tidak menunjuk pada sikap eksklusif seolah-olah hanya Tanah Minahasa yang diberkati. Tapi, kata-kata selanjutnya yaitu, “Cipta-an dan Anugerah Tuhan” hendak menegaskan penghayatan atas kasih dan kebesaran Tuhan atas tanah pijakan, semangat dan manusia Minahasa. Ada suatu penghayatan yang sangat teologis, sekaligus ungkapan pengakuan atas kebesaran Tuhan atas Tanah Pijakan Manusia yang kemudian menjadi majemuk ini. Karena sekarang ini Tanah Minahasa akhirnya harus kita hayati sebagai ruang bagi manusia-ma-nusia yang ingin mencari keda-maian hidup.

Kedua, ada kata-kata “Gereja Tuhan”, “Misi” dan “Kuasa Negara”. Ds Wenas agaknya tidak mau menyempitkan arti tugas mengiplementasikan Injil itu hanya dengan menyebut GMIM saja sebagai gereja. Tapi inilah ungkapan seorang Kristen sejati atas kesadarannya pada panggilan untuk bersaksi mengabarkan Injil Yesus Kristus. Meski memang barangkali yang dimaksudnya adalah GMIM, tapi dengan menggunakan kata “gereja Tuhan” daripadanya kita dapat melihat suatu sikap oikumenis bagi gereja dalam melayani. Kata “Kuasa Negara” yang didahului dengan kata “lepas”, yang juga bisa kita artikan agar bebas dari pengaruh negatif kuasa politik negara, tentu harus dibaca dalam konteks di mana Ds Wenas mengungkapkan penegasan yang reflektif ini. Ini barangkali sebuah penegasan antisipasi bagi gereja di masa depannya (baca: seka-rang), belajar dari masanya, untuk selalu mewaspadai kuasa politik negara yang kalau tidak diwaspadai bisa meng-obrakabrik gereja. Poin kedua ini, menurut saya ingin menegaskan pada kita bahwa gereja yang menjalankan misi Tuhan haruslah selalu dalam kesadaran diri untuk tidak terjebak pada kuasa politik negara, yang jika terjadi perselingkuhan antara keduanya bisa menumpulkan peran gereja untuk mendamaisejahterakan manusia yang selalu bersoal dengan kemiskinan, ketidakadilan atau bahkan penganiayaan, kebodohan dan diskriminasi dalam beragam bentuk.
Ketiga, ada kata-kata “Kesaksian Kenabian” “Mencerdaskan Manusia”, “Menolong Orang yang Sakit” dan “Mengangkat Derajat Kesejahteraan Bangsa Minahasa.” Akhirnya, “Misi” adalah juga “Kesaksian Kenabian”, yaitu tugas gereja di dalam dunia. Apa tugas gereja itu? Jelas sekali, tugas gereja itu adalah, “Mencerdaskan Manusia”, “Menolong Orang yang Sakit” demi “Derajat yang Tinggi” dan “Kesejahteraan”. Inilah semangat GMIM atas kehadirannya di tanah ini. Semangat ini kemudian berwujud pada aksi, yaitu melakukan pelayanan kesehatan, lewat pendirian rumah-rumah sakit dan pelayanan di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Ini semua adalah bentuk ekspresi atau pemaknaan terhadap makna Injil Yesus Kristus dalam konteks Minahasa.
Ini sejalan dengan semangat gereja-gereja beraliran Calvinis yang tergabung dalam WARC (World Alliance of Reformed Churches), di mana GMIM salah satu anggotanya. Pdt. Juswantori Ichwan, M.Th dari Gereja Kristen Indonesia melaporkan beberapa hasil pertemuan gereja-gereja anggota WARC dalam Calvin Consultation of Senior Pastors (CCSP) Jenewa, 13-18 Oktober 2008. Disebutkan bahwa, dalam pertemuan tersebut telah dibahas beberapa pemikiran salah satu Reformator, yaitu Johanes Calvin yang masih relevan dalam konteks dunia di abad 21 ini. Warisan pemikiran Calvin tersebut adalah: 1) Memanifestasikan karunia kebersamaan (Making manifest the gift of communion). 2) Berkomitmen untuk keadilan (Covenanting for justice). 3). Mengatasi kekerasan dan kerusakan akibat perang (Addressing violence and destruction in times of war and armed conflict.)
Berdasarkan pemikiran Calvin yang menekankan perlunya komitmen pada keadilan, pada tahun 2004 WARC mengeluarkan Konfensi Akra (Accra Confession) dalam Persidangannya yang ke-24. Didalamnya ditegaskan bahwa:
1. Gereja menolak tata ekonomi dunia yang dikendalikan oleh kapitalisme neo-liberal global atau sistem ekonomi lainnya yang tidak memikirkan kepentingan orang miskin dan pelestarian lingkungan.
2. Gereja menolak budaya konsumerisme dan kerakusan yang kompetitif dan egois dari sistem pasar bebas.
3. Gereja menolak akumulasi kekayaan yang berlebihan dengan mengorbankan hidup jutaan orang dan memusnahkan ciptaan Tuhan.
4. Gereja menolak ideologi apapun yang menempatkan keuntungan (profit) di atas manusia (people), juga ideologi yang tidak mempedulikan alam, dan menguasai sumber-sumber alam yang Tuhan berikan bagi semua orang untuk kepentingan diri sendiri.

Sebagai anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) GMIM juga berada dalam panggilan untuk menyatakan Injil Yesus Kristus yang membebaskan dan memerdekaan dalam konteks Indonesia yang majemuk. Dalam Sidang Raya XV PGI di Mamasa ditetapkan bahwa Visi PGI 2009-2014 adalah ” Menjadi Gereja yang merefleksikan kebaikan Allah di tengah-tengah masyarakat majemuk Indonesia.” Sementara rumusan misinya adalah: Gereja-gereja di Indonesia:
1. makin menguatkan persekutuan di antara gereja-gereja di Indonesia sebagai basis bagi pelayanan dan kesaksian;
2. makin lebih terbuka kepada lingkungan yang di dalamnya mereka hidup;
3. menggiatkan pelayanan yang komprehensip di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai wujud pemberitaan Kabar Baik;
4. ikut mewujudkan masyarakat majemuk Indonesia yang berkeadaban dengan memelopori berbagai upaya terciptanya nhubungan-hubungan yang baik dengan komponen-komponen masyarakat;
5. memberikan sumbangan berharga bagi terjadinya proses demokratisasi yang substansial di dalam Negara Indonesia.

Epilog
GMIM, dengan jumlah umatnya yang kurang lebih 1 jutaan, adalah gereja yang ”besar” di Tanah Minahasa. Kebesarannya bukan terutama kuantitas, tapi kualitas pelayanannya. Pelayanan GMIM mencakup banyak aspek, misalnya pendidikan, kesehatan, sosial-kemanusiaan, ekonomi, dll. Data tahun 2005 disebutkan GMIM mempunyai sekitar 900 pendeta, 65% di antaranya adalah perempuan, yang melayani 818 gereja lokal, yang dibagi ke dalam 85 wilayah, dengan sekitar 1.000.000 anggota. GMIM mengelola banyak lembaga sosial seperti Taman Kanak-kanak (332), Sekolah Dasar (364), Sekolah Menengah Pertama (64), SMA (20), sekolah kejuruan (6), sebuah universitas dengan antara lain adanya fakultas teologi, sekolah untuk penyandang cacat (2), rumah yatim-piatu (2), pusat pelatihan (2), dan rumah sakit.
Maka, sebagai bagian dari GMIM, kita mesinya menyatakan kebanggan terhadap kehadiran gereja ini. Bersama dengannya adalah keikutsertaan semua anggota secara aktif untuk semakin memantapkan kehadiran GMIM di tengah pergumulan masyarakat di Tanah Minahasa ini. Dengan konsisten melakukan pelayanan dalam bentuk dan cara-cara seperti itu, maka sebenarnya, baik sebagai persekutuan orang-orang yang percaya kepada Injil Yesus Kristus, maupun sebagai lembaga, GMIM telah mengimplentasikan ekspresi kepercayaannya terhadap Injil Yesus Kristus. Belajar dari sejarah gereja, gereja-gereja di setiap masanya, di setiap perubahan zaman yang bersamanya dengannya adalah perubahan pergumulan, selalu disertai dengan rumusan-rumusan teologis yang baru dalam menjawab pergumulan konteks. Namun, dasarnya tetap sama, yaitu Injil Yesus Kristus yang kekal sepanjang masa. Bentuk, dan cara serta paradigma berteologi yang berbeda sebenarnya adalah bentuk penghayatan terhadap Injil Yesus Kristus.
Begitulah, di abad globalisasi ini, GMIM terpanggil untuk juga merumuskan bentuk, cara dan paradigma berteologi yang sesuai dengan kebutuhan. Perubahan cara, bentuk dan paradigma itu tidak sama dengan mengikuti trend atau gaya yang sedang populer dalam ibadah di gereja-gereja lain, namun terutama adalah perubahan cara pikir dan paradigma dalam menjawab pergumulan konteks. Orang boleh saja bilang ibadah seremonial gereja kita monoton, namun kita harus bangga sebab bentuk dan cara pelayanan gereja kita kreatif, inovatif dan dinamis. Yang terutama bukan perubahan cara beribadah, dari yang monoton menjadi berjingkrak-jingkrak, atau seperti orang yang mengalami ekstase, melainkan terutama adalah kepekaan dan komitmen untuk melakukan tranformasi masyarakat. Ini sebenarnya makna dari penginjilan di abad 21 ini. Sebab Injil tidak hanya menyangkut refleksi, tapi juga aksi. Keduanya saling melengkapi untuk mencapai damai sejahtera atau syalom.



0 komentar: