Selasa, 21 Oktober 2008

Fakultas Teologi UKIT dan Gerakan Pembaruan Pemikiran Berteologi GMIM

Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) 7 Oktober tahun ini akan genap berusia 46 tahun. Sudah menjadi tradisi, hari yang istimewa ini akan dirayakan dalam suatu suasana yang sukacita dan penuh rasa syukur kepada Tuhan Allah yang dipercayai telah menjumpai manusia dalam Yesus Kristus.

Panitia Perayaan Dies Nata-lis Fakultas ke-46 telah mem-persiapkan berbagai rencana kegiatan yang berbentuk sele-brasi maupun aksi, misalnya seminar dan kegiatan olahra-ga dan seni di lingkungan civi-tas akademika Fakultas Teo-logi UKIT. Seminggu sebelum-nya, Gereja Masehi Injili di Mi-nahasa (GMIM) merayakan 74 tahun Bersinode di Tanah Mi-nahasa.

Dalam kesukacitaan dan pe-nuh syukur inilah, refleksi ini hadir sebagai “kado” untuk GMIM dan semua orang yang merasa memiliki ikatan baik emosional maupun kelemba-gaan dengan Fakultas Teologi, baik sebagai mahasiswa, orangtua mahasiswa, pimpin-an fakultas, para dosen, staff dan jemaat GMIM pada umum-nya. Tiada kado yang lebih berharga di hari yang istime-wa ini selain memberikan ca-tatan refleksi dan apresiasi ter-hadap kehadiran lembaga ini.

Kebanyakan kita sudah ta-hu, bahwa Fakultas Teologi UKIT adalah milik GMIM, se-buah lembaga Kristen yang memiliki umat terbanyak di Tanah Minahasa. Maka, bica-ra Fakultas Teologi UKIT, kita tentu tidak bisa melepaskan-nya dari perjalanan gereja berlambang burung manguni itu sendiri. GMIM yang adalah buah dari penginjilan para zending, dan penginjilan itu tidak lepas dari usaha mema-jukan pendidikan di Tanah Minahasa oleh para pendiri-nya, salah satunya Ds AZR Wenas Ds Wenas, Ketua Sino-de GMIM pertama yang asli Minahasa kemudian mene-ruskan usaha penginjilan itu dengan antara lain mendiri-kan lembaga pendidikan teo-logi, yang sekarang kita kenal dengan Fakultas Teologi ini.

Buku Panduan Fakultas Teologi UKIT YPTK edisi kedua 2007 (hal. 3-7) menuliskan tentang sejarah berdirinya Fa-kultas Teologi ini. Dituliskan dalam buku panduan itu, bahwa lembaga pendidikan teologi ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Cikal bakalnya dimulai pada 1 No-vember 1868 melalui berdiri-nya Sekolah Pembantu Peng-injilan. Sekolah ini sendiri ek-sis hingga tahun 1886. Ke-lanjutan dari sekolah ini ada-lah pendirian School tot Ople-iding van Inlandse Leeraaren (STOVIL) yang melakukan ke-giatannya selama 56 tahun (1886-1942).

Dituliskan juga dalam buku panduan itu, setelah jedah cukup lama antara lain ka-rena pendudukan Jepang, dan masa-masa sulit pasca- Perang Dunia II, maka pada tahun 1960 berdirilah Akade-mi Theologia. Lembaga pendi-dikan teologi ini berlangsung sampai tahun 1965. Bersa-maan dengan itu, tokoh besar GMIM Ds AZR Wenas yang adalah Ketua Sinode GMIM pada waktu itu.


Dengan visi yang jauh ke de-pan, tepatnya 7 Oktober 1962 kemudian mendirikan Perguru-an Tinggi Theologia (PPTh) di To-mohon. Tanggal inilah yang di-jadikan sebagai tanggal lahir Fa-kultas Teologi UKIT. Ketika UKIT diresmikan pada tanggal 20 Fe-bruari 1965, PPTh kemudian diintegrasikan ke UKIT dan menjadi Fakultas Teologi UKIT.

Hingga sekarang, meski terja-di berbagai persoalan atau te-patnya dipersoalkan, namun Fakultas Teologi UKIT tetap ek-sis menjalankan pelayanannya di bidang pendidikan teologi, dengan legalitas dari GMIM le-wat Yayasan Perguruan Tinggi Kristen (YPTK), sebagaimana tertuang dalam Statuta UKIT ter-tanggal 9 April 2001. Soal ada-nya rumor yang beredar bahwa UKIT YPTK ilegal, itu sama se-kali tidak benar! Amar Putusan Pengadilan Tinggi Manado ber-nomor 153/Pdt/2007/PT.MDO telah memutuskan bahwa kebi-jakan-kebijakan yang telah di-ambil oleh YPTK, yang antara lain menetapkan Pdt. Dr. RAD Siwu, MA, PhD sebagai Rektor UKIT Periode 2005-2009, ada-lah sah secara hukum. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan UKIT YPTK di ba-wah kepemimpinan Rektor Pdt Dr RAD Siwu MA PhD, adalah sah secara hukum negara. Dan yang mestinya terjadi, kebijak-an-kebijakan BPS GMIM terha-dap UKIT harus mengikuti/se-suai dengan Amar Putusan Pe-ngadilan Tinggi Manado itu.


Kalau ada kebijakan yang bertolak belakang dari Amar Putusan itu, jemaat dan para Pelayan Khusus (Pendeta, Sya-mas dan Penatua) di tingkat jemaat harus mempertanyakan itu kepada pimpinan BPS GMIM. Para Pelsus dan jemaat mesti-nya harus cerdas dan cermat menanggapi segala surat dari BPS GMIM yang menyatakan UKIT YPTK tidak sah. Sebab, ketika ada pernyataan dari Pimpinan BPS GMIM bahwa UKIT YPTK tidak sah, maka ini sama dengan menolak kepu-tusan hukum yang ditetapkan oleh lembaga hukum negara yang sah. Dan itu sama dengan perbuatan melanggar hukum. Lebih dari itu, sebagai warga GMIM kita tentu tidak ingin Perguruan Tinggi kebanggan kita hancur hanya karena per-buatan satu dua orang yang ti-dak bertanggung jawab.


Hal ini harus ditegaskan ulang dan agaknya harus ber-ulang-ulang, bahwa meski UKIT, yang di dalamnya ada sejumlah Fakultas, termasuk di dalamnya Fakultas Teologi UKIT, milik GMIM tapi dia ha-dir dan berada untuk publik. Sebab, sebagai lembaga pendi-dikan tinggi, UKIT terbuka un-tuk publik karena dia melayani publik bagi usaha pencerdasan demi suatu pencerahan. Maha-siswa yang berkuliah di sejum-lah fakultas di UKIT tidak ha-nya dari GMIM dan Minahasa. Mereka datang dari berbagai denominasi gereja dan agama serta daerah asal. Karena itu-lah sehingga UKIT juga harus mengikuti dan mematuhi hu-kum publik yang berlaku di ne-gara kita ini. Termasuk, kebi-jakan-kebijakan (hukum privat) BPS GMIM harus menyesuai-kan dan tunduk pada hukum publik atau hukum negara (se-jauh itu tidak mengorbankan independensi GMIM sebagai lembaga keagamaan) yang mengatur keabsahan penye-lenggaraan pendidikan tinggi.


Pelopor Pembaharuan Pemikiran Kristen

Status hukum Fakultas Te-ologi UKIT sengaja diterangkan dalam tulisan ini agar refleksi kita tidak hanya soal kemelut yang terjadi di UKIT, tapi dapat dikembangkan sampai ke soal peran dari fakultas-fakultas yang ada di lingkungan UKIT YPTK, dan lebih khusus kali ini kita berbicara Fakultas Teologi UKIT yang pada 7 Oktober ini akan merayakan Dies Natalis ke-46. Dengan adanya penjelasan itu, diharapkan publik bisa tahu yang sebenarnya tentang sta-tus hukum UKIT YPTK.

Dengan demikian refleksi kita dapat dilanjutkan. Mari kita berefleksi bersama:

Salah satu perpustakaan di Ko-ta Tomohon yang namanya mengambil nama Ds AZR We-nas, yaitu Perpusatakaan Mi-nahasa “AZR Wenas” mengutip kalimat ungkapan dari man-an Ketua Sinode GMIM itu. Penge-lola perpustakaan ini mencetak kalimat ungkapan itu di atas se-buah kertas yang dilindungi kaca berbingkai yang dipajang di din-ding ruangan depan gedung per-pustakaan itu. Bunyi ungkapan itu adalah: “Tanah dan Bangsa Minahasa adalah Ciptaan dan Anugerah Tuhan. Gereja Tuhan di Tanah Minahasa harus men-jalankan Misinya lepas dari Kua-sa Negara Sambil Melaksanakan Kesaksian Kenabiannya Melalui Perbuatan yang Nyata Dengan Mencerdaskan Manusia, Meno-long Orang yang Sakit dan Meng-angkat Derajat Kesejahteraan Bangsa Minahasa.”

Ada berapa hal menarik yang bisa kita catat dari ucapan Ds AZR Wenas itu. Pertama, tokoh besar kita ini menyebut “Tanah dan Bangsa Minahasa”. Kata-kata ini menunjuk pada dunia di mana seorang Ds Wenas me-lakukan refleksi dan aksinya dalam berteologi. Tanah Mina-hasa, tentu menunjuk pada ta-nah pijakan, semangat dan ma-nusia yang berproses di dalam-nya. Minahasa adalah bangsa, yang akhirnya menjadi salah satu bangsa di Negara yang bernama Indonesia. Menurut saya ini pertama-tama tidak menunjuk pada sikap eksklusif seolah-olah hanya Tanah Mina-hasa yang diberkati. Tapi, kata-kata selanjutnya yaitu, “Cipta-an dan Anugerah Tuhan” hen-dak menegaskan penghayatan atas kasih dan kebesaran Tu-han atas tanah pijakan, sema-ngat dan manusia Minahasa. Ada suatu penghayatan yang sangat teologis, sekaligus ung-kapan pengakuan atas kebe-saran Tuhan atas Tanah Pijak-an Manusia yang kemudian menjadi majemuk ini. Karena sekarang ini Tanah Minahasa akhirnya harus kita hayati se-bagai ruang bagi manusia-ma-nusia yang ingin mencari keda-maian hidup.

Kedua, ada kata-kata “Gereja Tuhan”, “Misi” dan “Kuasa Ne-gara”. Ds Wenas agaknya tidak mau menyempitkan arti tugas mengiplementasikan Injil itu hanya dengan menyebut GMIM saja sebagai gereja. Tapi inilah ungkapan seorang Kristen seja-ti atas kesadarannya pada pang-gilan untuk bersaksi mengabar-kan Injil Yesus Kristus. Meski memang barangkali yang di-maksudnya adalah GMIM, tapi dengan menggunakan kata “ge-reja Tuhan” daripadanya kita dapat melihat suatu sikap oiku-menis bagi gereja dalam mela-yani. Kata “Kuasa Negara” yang didahului dengan kata “lepas”, yang juga bisa kita artikan agar bebas dari pengaruh negatif kuasa politik negara, tentu ha-rus dibaca dalam konteks di mana Ds Wenas mengungkap-kan penegasan yang reflektif ini. Ini barangkali sebuah pene-gasan antisipasi bagi gereja di masa depannya (baca: seka-rang), belajar dari masanya, untuk selalu mewaspadai ku-asa politik negara yang kalau tidak diwaspadai bisa meng-obrak-abrik gereja. Poin kedua ini, menurut saya ingin mene-gaskan pada kita bahwa gereja yang menjalankan misi Tuhan haruslah selalu dalam kesadar-an diri untuk tidak terjebak pa-da kuasa politik negara, yang jika terjadi perselingkuhan an-tara keduanya bisa menumpul-kan peran gereja untuk menda-maisejahterakan manusia yang selalu bersoal dengan kemis-kinan, ketidakadilan atau bah-kan penganiayaan, kebodohan dan diskriminasi dalam be-ragam bentuk.


Ketiga, ada kata-kata “Kesak-sian Kenabian” “Mencerdaskan Manusia”, “Menolong Orang yang Sakit” dan “Mengangkat Derajat Kesejahteraan Bangsa Minahasa.” Akhirnya, “Misi” adalah juga “Kesaksian Kenabi-an”, yaitu tugas gereja di dalam dunia. Apa tugas gereja itu? Je-las sekali, tugas gereja itu ada-lah, “Mencerdaskan Manusia”, “Menolong Orang yang Sakit” demi “Derajat yang Tinggi” dan “Kesejahteraan”. Inilah sema-ngat GMIM atas kehadirannya di tanah ini. Semangat ini ke-mudian berwujud pada aksi, yaitu melakukan pelayanan ke-sehatan, lewat pendirian ru-mah-rumah sakit dan pelaya-nan di bidang pendidikan de-ngan mendirikan sekolah-seko-lah, mulai dari SD sampai Per-guruan Tinggi. UKIT adalah sa-lah satu perwujudan dari se-mangat penginjilan itu.


Dalam semangat-semangat itulah Fakultas Teologi, sebagai lembaga pendidikan tinggi mi-lik GMIM (menyebut GMIM ten-tu bukan hanya soal elitnya) kemudian mengembangkan model berteologinya menjawab kebutuhan konteks. Paradigma berteologi pun terus dikembang-kan mengikuti tantangan dan pergumulan zaman.


Pada akhirnya, Fakultas Teologi UKIT, yang juga dise-but sebagai “dapur teologi” ge-reja, dalam perkembangan-nya, selain memang masih se-bagai lembaga pendidikan un-tuk mempersiapkan calon pendeta, tapi juga telah hadir dan memberi diri untuk mela-yani publik tanpa pandang SARA, dengan kemudian juga ikut mempersiapkan calon teolog.


Ini terkait dengan paradigma berteologi yang terus dikem-bangkan oleh Fakultas Teologi. Ketika kesadaran bahwa misi gereja harus diimplementasi-kan dalam konteks yang ma-jemuk baik dari segi SARA, tapi juga pergumulan dan tantang-an yang dihadapi, maka pendi-dikan teologi yang dikembang-kan akhirnya juga harus mem-perhatikan konteks tersebut.


Pluralisme agama, konteks budaya, sosial dan politik ser-ta perubahan global, dipan-dang sebagai fenomena atau objek yang harus dikaji secara ilmiah dengan semangat iman Kristen. Ada sebuah dialog yang aktif antara perubahan-perubahan tersebut dengan iman Kristen, yang semangat-nya adalah pembaruan, pem-bebasan dan pemerdekaan umat manusia dan alam.


Semangat pembaruan pemi-kiran ini diimplementasikan dalam kurikulum yang terus dikembangkan oleh Fakultas Teologi. Misalnya, di Fakultas Teologi, mahasiswa belajar se-jarah, doktrin dan pemikiran keagamaan agama-agama lain, yaitu Islam, Budha, Hin-du, Konghucu, serta agama Suku dan Kebatinan serta ge-rakan zaman baru. Barangkali ke depan juga akan dipelajari agama Zoroaster, Sikh, Tao dan lain sebagainya sesuai dengan perubahan yang ada. Sejarah dan doktrin serta pemahaman keagamaan dari masing-masing agama dan kepercayaan itu dikaji secara ilmiah dengan prinsip-prinsip keilmuan, yaitu Objektif, Kritis, Metodis dan selalu diharapkan mahasiswa mampu melakukan refleksi teologis yang dialogis. Karena kajiannya ilmiah, maka capaiannya bukan soal benar-salah, selamat atau tidak selamat, melainkan pada penemuan pengetahuan yang dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan peradaban yang lebih baik.


Mahasiswa juga belajar sejarah gereja (Historika), dan tugas panggilan gereja di dalam dunia yang terus berubah (Misiologi), praktika, dogmatika, etika dan sudah tentu hermeneutika, yang semuanya berpijak pada usaha-usaha membaruai pemikiran Kristen untuk memajukan peradaban manusia dan alam yang lestari. Contohnya, di Fakultas Teologi ini, dipelajari secara khusus mata kuliah HIV/AIDS, Etika Lingkungan Hidup, Etika Politik, Etika Seksual, dan lain sebagainya. Semua kajian ini muaranya adalah teologi kontekstual, atau usaha memaknai secara teologis yang dialogis, nilai-nilai Injil dalam konteks yang terus berubah. Paradigma berteologi lama, yaitu yang hanya memfokuskan pada bagaimana usaha memperteguh keunggulan gereja secara lembaga yang kemudian hanya menghasilkan pemikiran keagamaan yang arogan tidak lagi menjadi perhatian. Sebab, kehadiran gereja di dunia dalam paradigma berpikir ini dipahami bukan pertama-tama untuk mendikte benar-salah, berdosa-tidak berdosa apa yang dipahami da dilakukan umat manusia, melainkan lebih kepada upaya memperbarui paradigma berpikir dan segala macam struktur-struktur yang menyebabkan manusia dan alam hidup terpuruk.


Dalam semangat-semangat keilmuan seperti ini, maka Fakultas Teologi mestinya menjadi dan harus dimaknai sebagai tungku pembaruan pemikiran Kristen di Minahasa dan Indonesia pada umumnya. Dari dapur inilah dikembangkan pemikiran-pemikiran kristen yang berpihak pada kaum yang tertindas, membebaskan manusia dan alam dari diskriminasi dan eksploitasi, baik karena tekanan struktur politik dan ekonomi yang tidak adil, maupun sikap fatalisme dari para manusia itu sendiri.


Tantangan

Refleksi ini saya tutup dengan catatan mengenai tantangan bagi GMIM dan bagi Fakultas Teologi itu sendiri. Sebab, di 74 tahun GMIM bersinode (30 September) dan 46 tahun Dies Natalis Fakultas Teologi UKIT (7 Oktober), harus jujur dan tulus diakui bahwa GMIM, Fakultas Teologi dan UKIT berada dalam berbagai macam tantangan, baik dari dari dalam maupun dari luar.


Fakta yang sudah jelas kepada publik, bahwa usaha untuk meningkatkan kualitas keilmuan berteologi Fakultas Teologi sekarang ini harus berhadapan dengan kemelut yang sedang menimpa UKIT. Sangat disayangkan, ketika pembaruan pemikiran Kristen telah menjadi agenda penting di Fakultas Teologi, tiba-tiba muncul kemelut yang tiada satupun kita menghendakinya. Lebih disayangkan lagi, ketika kemelut ini adalah sengaja di-design satu dua orang yang hanya mengejar popularitas dan kekuasaan di tingkat BPS, dan seolah-olah tanpa beban mengorbankan keutuhan GMIM. Inilah tantangan dari dalam Fakultas Teologi dan GMIM terkini.


Fakta atau persoalan ini mestinya direspon secara bijak oleh kita semua. Bahwa, kalau ini benar hanya karena persoalan nafsu berkuasa satu dua orang, maka jemaat GMIM yang tersebar hampir merata di tanah Minahasa harus memaknai ini sebagai persoalan GMIM secara keseluruhan. Yang kemudian akan kita hadapi bisa perorangan yang berusaha menzalimi orang atau pihak lain yang telah berproses sesuai aturan hukum yang berlaku, maupun sistem kelembagaan dan paradigma berteologi GMIM secara lembaga. Masing-masing orang memiliki cara untuk menyelesaikannya. Tapi, prinsip dan spiritnya mestinya selalu berlandaskan pada Kasih, dan kasih itu sendiri adalah Kebenaran, Keadilan dan Kebersamaan. Kebenaran dan Keadilan, janganlah dianggap hanya soal bahwa BPS secara subjektif telah menyatakan bahwa yang benar adalah pihak A dan yang salah adalah pihak B, melainkan kebenaran yang objektif dan prosedural: soal prosesnya, aturan hukumnya, dan prinsip kemanusian. Dan tujuannya dari proses itu haruslah tercipta kembali kebersamaan.


Tantangan berikut adalah soal perubahan zaman yang semakin cepat. Globalisasi semakin berbentuk di hampir semua aras kehidupan. Tapi globalisasi, mestinya adalah soal tantangan dan peluang. Globalisasi akan menjadi tantangan bahkan ancaman kalau kemudian model berteologi kita tidak melakukan kajian dan analisis yang kritis terhadap fenomena-fenomena yang tampak itu. Kerja tafsir dan usaha kontekstualisasi pemikiran teologi sangat penting untuk terus dikembangkan. Dan, kalau ini yang kita usahakan maka globalisasi kemudian akan mejadi peluang. Bukankah, GMIM yang ada sekarang adalah hasil proses dialetika sejarah, antara perjumpaan dunia Barat dengan Timur yang terjadi beberapa abad lampau yang merupakan masa-masa awal kelahiran globalisasi? Dengan kata lain GMIM secara lembaga lahir dan berada di Tanah Minahasa ini atas jasa pengglobalisasian dunia.

Akhirnya, selamat HUT GMIM Bersinode ke 74, dan Dies Natalis ke 46 Fakultas Teologi UKIT.

catatan: tulisan ini pernah dipublikasi di Harian Komentar tanggal 1o,11 dan 13 Oktober 2008

2 komentar:

  • DJONNIE.H.TOREH says:
    20 Januari 2009 pukul 13.17

    Sebagai seorang Alumi Fak.Teologia memang prihatin dengan permasalahan yang menimpa UKIT YPTK. Namun dibalik itu saya bersyukur karena UKIT tetap exis walaupun diterpa badai. Saya angkat jempol untuk para dosen dan mahasiswanya yang tetap komit mempertahankan UKIT YPTK milik GMIM dan memang harus dipertahankan. Apapun yang terjadi! Saya juga heran apa sebenarnya yang diinginkan BPS sekarang dengan membentuk UKIT Wenas padahal dalam amar putusan dikatakan tidak sah. Malah jalan untuk rekonsiliasi diabaikan. Malah yang membuat saya lebih heran lagi mengapa Ketua-ketua wilayah tanpa berpikir panjang langsung menyetujui langkah-langkah yang ditempuh BPS tentang UKIT yang bertentangan dengan tugas gereja. Namun saya berharap masalah yang menerpa UKIT YPTK akan selesai. Tuhan pasti akan memberikan petunjukNya untuk mengakhiri permasalahan ini. Saya berharap UKIT YPTK tetap jaya! Buah dari kebenaran pasti akan datang.
    Salam,
    Djonnie Toreh
    Oarai Jepang

  • Anonim says:
    3 Maret 2010 pukul 17.06

    "facebook ukitonlinehukum"Mari Bersama-sama menggunakan Sarana Komunikasi Perkuliahan Dosen dan Mahasiswa, untuk saling berbagi informasi2....