Selasa, 10 Mei 2011

Mariara

Nenek Omi kemarin pagi masih tampak berjalan pagi di jalan kampung. Rambutnya sudah ubanan. Membungkuk dia berjalan. Garis-garis keriput wajah dan dua gigi yang tersisa membuat orang menjadi ngeri melihat dia. Tapi hari ini rumahnya di ujung kampung hangus dibakar massa. Jasad nenek Omi pun tinggal arang.

Massa marah sehingga membumihanguskan rumah Nenek Omi, sekaligus dengan penghuninya. Alasan mereka anak gadis Pak Tonny mati karena diguna-gunain oleh Nenek Omi. Memang alasan itu agaknya bisa dibenarkan. Sebab, tiga hari lalu Eby, anak gadis yang malang itu disuruh oleh ibunya mengambil kemangi di halaman rumah Nenek Omi. Malamnya Eby kena deman, dan selama tiga hari panas tinggi. Baru beberapa jam di Puskemas ia meninggal dunia.

Nenek Omi memang cuma tinggal sendirian. Suaminya, Kakek Bernard meninggal tiga tahun lalu. Pasangan ini tak memiliki anak. Sehari-hari rumah tua mereka itu tampak sunyi dan tak terurus. Halaman rumah mereka yang cukup luas, sejak Kakek Bernard mangkat ditumbuhi umput-rumput liar. Cuma sebidang tanah yang mungkin luasnya 2 x 3 meter yang dibersihkan oleh Nenek Omi untuk menanami rempah-rempah. Di sisa hidupnya untuk makan sehari-hari orang tua ini hanya berharap pembagian hasil kebun dari Om Yopy, yang masih terhitung family dengannya.

Nenek Omi ini oleh warga sudah lama disangkakan sebagai mariara (bahasa lokal Minahasa yang berarti dukun yang bisa menyantet orang). Konon, ada warga yang pernah mengintip dan melihat nenek Omi semacam melakukan ritual di dalam rumahnya. Dari situ beredar cerita bahwa nenek yang suka mengunyah pinang ini sebagai mariara. Warga sekampung pun menjadi percaya.

Semasa dia hidup, anak-anak yang bertepatan berpapasan dengannya menjadi takut dan menghindar, mengambil jarak. Ketakutan itu berawal dari cerita-cerita itu. Di rumah mereka, para orang tua menceritakan tentang desas-desus itu. Cerita yang berawal dari satu orang kini seolah-olah menjadi momok. Termasuk pendetapun percaya dengan cerita itu. Bahkan, pernah satu hari minggu, di gereja pendeta secara khusus berdoa untuk menjauhkan warga kampung dari kuasa-kuasa jahat, yang katanya hadir dalam bentuk mariara.

Nenek Omi, memang telah menjadi momok bagi masyarakat. Mereka menyamakan Nenek Omi dengan tokoh “nenek sihir” di film anak-anak. Hanya tetangga atau kerluarga terdekat yang berani masuk ke halaman rumahnya. Sebab kata warga, kalau tetangga atau famili pasti tidak akan dijahati, dia tidak berani. Mungkin, itulah sehingga keluarga Pak Tony masih akrab dengan Nenek Omi. Itupun, kata warga, Pak Tony masih tergolong famili dengan Nenek Omi.

Kampung itu seketika menjadi ramai dengan kemarahan massa. Asap masih mengepul dari sisa-sisa rumah yang terbakar. Massa berkerumun di halaman rumah nenek Omi. Lainnya berdiri di jalanan. Mereka tidak berkabung dengan peristiwa itu, malahan yang lain bergembira. Pikir mereka, dengan dibakarnya rumah nenek Omi dan kematian sang “nenek sihir” itu, kampung mereka akan bebas dari sakit penyakit misterius. Hari itu cuma Om Yopy yang tidak kelihatan.

Ketika rumah sudah rata tanah dan tinggal bongkahan-bongkahan hitam sisa kayu-kayu yang terbakar, tampak jasad nenek Omi yang sudah berubah menjadi arang. Mengerikan sekali jasad itu. Seperti anjing yang dibakar.

Ada rasa takut yang bercampur gembira di kalangan warga. Tapi, yang tidak tahan melihat jasad itu menjauh dan bahkan ada yang sampai mual dan muntah. Sekitar 5 orang laki-laki yang diberi tugas oleh pemerintah kampung sebagai Hansip yang berani mengais-ngais sisa-sisa kebakaran rumah itu. Sebelum mereka masuk di antara sisa-sisa kebakaran itu, pendeta gereja setempat mendoakan mereka agar mereka dijauhkan dari kuasa gelap yang mungkin masih bergentayangan di situ. “Dalam nama Yesus, enyahlah kuasa jahat!” Begitu pendeta mengakhiri doanya.

Perempuan tua itu kini telah tewas menjadi arang bersama rumah tuanya. Tiada keluarga yang meratapinya. Polisi pun nanti muncul ketika semua sudah hampir berakhir. Tiada satupun warga yang ditangkap. Hukum Tua kampung itu tampaknya sudah memberi keterangan kepada para polisi mengenai kejadian itu. Lokasi kebakaran itupun tidak diberi police line, sebagaimana biasanya peristiwa-peristiwa kebakaran lainnya. Kebakaran bagi warga dan diaminkan oleh polisi adalah tindakan yang sudah tepat. Apalagi, di lokasi kebakaran itu, pendeta gereja setempat hadir dan tampak memberi alasan teologisnya.

Sebulan kemudian

Sebulan kemudian dari pembihangusan rumah nenek Omi dan kematian “nenek sihir” itu, tiba-tiba warga digemparkan dengan kematian Aldy, cowok tambun yang baru lulus SMA tahun lalu. Kematian Aldy juga misterius. Malam sebelumnya dia masih bersama-sama temannya menonton pertandingan sepak bola Liga Italia di televisi. Paginya, dia didapati sedang menggigil dan panas tinggi. Dua hari dia cuma minum obat yang dibeli di warung. Tapi panasnya tak turun-turun. Baru beberapa jam di Puskemas, Aldy pun meninggal.

Kematian Aldy membuat warga teringat peristiwa kematian Eby. Gejalanya sama. Mereka jadi bingung. Dokter tak menjelaskan penyebab kematian Aldy. “Apakah ini ulah mariara? Tapi, siapa lagi mariara di kampung ini? Nenek Omi sudah tewas bulan lalu,” begitu komentar beberapa orang di rumah duka Aldy.

“Saya duga, ilmu nenek Omi itu diturunkan kepada seseorang. Tapi siapa dia?” ujar Om Robert di rumah duka itu.

“Siapa, ya?” yang lainnya menyahut.

“Ehmmm…” mereka terdiam sejenak.

“Tunggu. Sejak kematian nenek Omi, sampai sekarang, Yopy tak pernah muncul lagi di kampung. Bukankah Yopi itu yang dekat dengan nenek Omi. Dia kan masih family dekat nenek Omi?” kata Om Robert.

Beberapa laki-laki yang sibuk membuat peti jenasah di rumah duka itu tersentak mendengar ucapan Om Robert. Mereka saling memandang.

“Di mana dia sekarang?” yang lain bertanya.

“Kalau tidak salah, Yopi tinggal di kebun. Dia kan yang mengolah kebunnya nenek Omi?”

“Oh, iya. Benar. Pasti ilmu nenek Omi diturunkan kepadanya. Dan, dialah penyebab kematian Aldy!” kata tante Nece, yang dari tadi mengikuti percakapan itu.

“Maksudnya, Yopilah sekarang yang menjadi mariara di kampung ini?” tanya Om Robert meminta kepastian teman-temannya.

“Kalau bukan dia siapa lagi!” tegas tante Nece.

Tidak hitung jam, kesimpulan itupun langsung menjadi pendapat umum warga sekampung. Cepat sekali beredar cerita itu. Dan, ini langsung menyulut kemarahan massa. Mereka seolah-olah menemukan musuh baru yang harus segera dilenyapkan.

Sekelompok laki-laki datang ke pastori gereja. Mereka meminta pertimbangan pendeta mengenai kesimpulan mereka itu. Warga lain menyusul kemudian. Tapi mereka hanya di luar pastori menunggu hasil percakapan tersebut. Warga yang datang itu tampak sudah bersiap-siap mencari Yopi. Parang, pisau dapur, tombak, dan benda apa saja yang bisa memukul di tangan masing-masing orang. Berni, remaja adik Eby kebagian ditugaskan membawa gallon berisi bensin. Mereka seperti sedang bersiap-siap maju ke medan perang melawan musuh.

Percakapan perwakilan warga dengan pendeta selesai. Om Robert yang akan mengumumkannya kepada warga yang sudah menunggu di halaman pastori.

“Saudara-saudara, kami sudah bercakap-cakap dengan pendeta perihal adanya mariara baru di kampung kita ini. Pendeta menyetujui tindakan kita untuk segera mengeksekusi Yopi, sebagai mariara di kampung ini!”

Sorakan warga pun menggema menyambut pernyataan Om Robert. “Bunuh dia! Bakar Yopi! Lenyapkan mariara di kampung kita!” warga berteriak histeris sambil mengacungkan benda-benda tajam yang mereka bawa.

Om Robert pun bertindak seperti panglima perang. Di bawah komandonya massa bergerak mencari Yopi di kebun. Sesampai di kebun mereka langsung menuju ke sebua (pondok) kecil yang sudah dipastikan milik Yopi. Massa mengepung sabua kecil itu. Massa berteriak memanggil nama Yopi. Berni sudah siap menyiram sabua dengan Bensin. Beberapa laki-laki lainnya secara hati-hati masuk ke dalam sabua.

“Yopi tidak di dalam,” kata seorang laki-laki yang ikut masuk ke dalam sabua setelah mereka memeriksa seisinya.

“Bakar saja sabua ini!” teriak warga.

“Iya, bakar saja!” sambut yang lain.

Berni yang membawa gallon berisi bensin sudah tahu tugasnya. Ia pun segera menyiram dinding dan atap sabua itu. Tak berapa lama, ketika api disulut, sabua yang dindingnya terbuat dari bambu itu terbakar. Asap hitam mengepul ke udara. Nyala api yang tiba-tiba membesar mengusir sekelompok burung yang sedang bertengger di dahan-dahan pohon cengkih di sekitarnya. Warga berteriak histeris, senang. Seperti ritual merayakan kemenangan warga mengeilingi sabua yang sementara terbakar itu. Mereka terus berteriak.

Sementara “ritual” berjalan, Alo, komandan Hansip kampung melaporkan kepada Om Robert, bahwa mereka melihat Yopi berada di dekat mata air di kaki bukit yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat mereka berada sekarang

“Yopi sedang berada di mata air itu. Mari kita ke sana!” kata Alo.

Massa pun bergerak. Mereka berlari dan terus berteriak. Tak lama kemudian mereka mendapati Yopi dengan parang di tangan sedang ketakutan. Agaknya dia sudah tahu bahwa dia sedang dicari massa. Tapi, Yopi tidak melarikan diri. Dia berdiri di dekat mata air itu. Masih tampak rumput dan beberapa pohon kecil yang baru dia potong. Dia memang baru sementara membersihan mata air ketika massa datang.

Jarak massa dengan Yopi tinggal kurang lebih 5 meter. Mereka hanya dipisahkan oleh sungai kecil yang airnya mengalir dari mata air itu. Untuk menuju ke tempat Yopi bediri massa harus melewati pipa-pipa besar yang dipakai untuk mengaliri air dari mata air ke kampung.

Yopi tampak ketakutan sekali. Tapi ia tidak bicara. Orangnya memang pendiam. Tapi dia dalam keadaan waspada. Parang di tangannya di arahkan ke tanah. Sementara tangan kirinya tampak dua ekor tikus mati yang basah. Dengan ketakutan Yopi mengangkat tikus-tikus mati untuk ditunjukkan kepada warga. Seolah ada yang ingin dia katakana dengan tikus-tikus mati kepada massa.

Tapi massa tidak mengerti atau tidak mau peduli. Mereka terus berteriak. Om Robert yang berada di baris paling depan mencoba berkomunkasi dengan Yopi.

“Yopi, kamu harus pertanggung jawabkan perbuatanmu kepada kami! Sudah dua korban meninggal akibat ulah nenek Omi dan kamu. Kalian telah meracuni anak-anak kami dengan ilmu-ilmu hitam kalian. Dulu nenek Omi, sekarang kamu, Yopy. Cepat serahkan dirimu!”

Meski warga telah berteriak-teriak marah, tapi Yopi tetap tidak bicara. Dalam keadaan takut dia masih berusaha “bicara” dengan menunjukkan tikus-tikus mati yang dia pegang itu kepada warga. Sambil sesekali dia menatap ke mata air itu. Untuk meyakinkn warga, dia mengambil lagi tikus mati dari dalam mata air. Yopi seolah ingin merespon kemarahan massa dengan menghubungkan tikus-tikus mati itu dengan mata air, yang mengalir ke kampung dan sehari-hari dijadikan sebagai air bersih, mencuci dan termasuk untuk memasak dan diminum.

Tapi belum satupun massa yang mengerti isyarat Yopi. Mereka bahkan menganggap Yopi orang sinting atau idiot. Massa pun semakin marah dan hendak mengejar dia. “Bunuh saja dia kalau tidak mau mengakui perbuatannya. Mari kita tangkap dia. Lenyapkan dia dari kampung kita!!” suara kemarahan itu terdengar dari antara massa.

“Benar. Kita bunuh saja dia!” Sambut massa yang lain.

Lima orang lelaki berbadan kekar melompat melewati pipa-pipa itu. Dengan sikap hati-hati mereka mencoba mendekati Yopi. Tombak dan parang di tangan mereka. Yopi yang melihat gerakan mereka semakin ketakutan. Tapi dia tidak lari. Parang yang dia pegang ditancapkan ke tanah. Tikus-tikus mati tetap dipegangnya. Para lelaki yang akan menangkap Yopi tidak mendapatkan perlawanan. Mereka dengan mudah bisa melumpuhkan Yopi. Yopi pun pasrah. Tapi dengan sekuat tenaga dia berusaha memegang tikus-tikus mati itu.

Merekapun berhasil membengkuk Yopi. Massa yang lain ingin Yopi segera dieksekusi. Tapi Om Robert menolaknya. “Eksekusi nanti akan kita lakukan di kampung, di hadapan pendeta dan hukum tua!” tegasnya kepada massa.

Massa segera menggiring Yopi ke kampung untuk dieksekusi. Seperti penjahat kelas kakap, Yopi diikat dengan rantai, mulutnya dibungkam dengan kain. Di sepanjang perjalanan massa berteriak-teriak senang seperti baru mendapat hewan buruan. Sampai memasuki kampung, sepanjang jalan mereka terus berteriak. Di kampung, para perempuan dan anak-anak di pinggir jalan menyaksikan dengan penuh perhatian arak-arakan massa itu. Yopi sebagai terdakwa ditarik seperti hewan. Sesekali wajahnya tampak kesakitan ditarik dan dicaci oleh massa. Namun, pria yang berambut panjang dan berbaju kumal itu sepanjang jalan hanya diam saja. Tikus-tikus mati tetap dipegangnya.

Di sebuah tanah kampung massa berhenti. Di situ Yopi akan dieksekusi. Rencananya dia akan dibakar hidup-hidup. Menurut Om Robert Yopi akan diikat di pohon pinang yang tertancap di tempat itu. Pohon pinang ini waktu tujubelasan dipakai untuk lomba panjang pinang warga sekampung. Seketika warga sekampung, dari anak-anak sampai kakek nenek telah berkumpul di tanah itu.

Beberapa lelaki ditugaskan mengikat tubuh Yopi di pohon pinang itu. Yang lainnya menyiapkan kayu bakar.

Sementara warga sibuk dengan persiapan untuk mengeksekusi Yopi, pendeta dan hukum tua kampung datang ke lokasi itu. Mereka tampak terlibat percakapan serius dengan om Robert. Ketika Om Robert bicara, pendeta dan hukum tua tampak mengangguk-angguk. Begitu sebaliknya. Agaknya, percakapan itu tinggal membicarakan teknis eksekusi, yaitu dibakar hidup-hidup. Soal alasan eksekusi mungkin menurut mereka sudah jelas, bahwa Yopi bersalah karena telah membunuh Aldy dengan cara sihir. Alasan ini sama dengan yang mereka pakai kepada nenek Omi sebulan yang lalu.

Yopi, kini siap diesekusi. Tubuhnya telah diikat di pohon pinang. Kayu bakar telah menutupi tubuhnya. Warga yang mengitari tanah kampung itu tampak tegang menunggu waktu eksekusi.

Dan, setelah Om Robert selesai bercakap-cakap dengan pendeta dan hukum tua, eksekusipun akan segera dimulai. Menyambut eksekusi itu, Hukum Tua menyampaikan beberapa kata.

“Saudara-saudara. Sudah dua warga kita yang menjadi korban sihir. Pelakunya sudah kita ketahui. “Nenek sihir”, nenek Omi sudah kita lenyapkan. Tapi masih juga ada korban yang berjatuhan. Ternyata, ilmu sihirnya telah diturunkan kepada lelaki yang sebentar lagi kita akan bakar ini, yaitu Yopi…”

“Bakar dia! Lenyapkan mariara dari kampung kita!” warga berteriak sambil tangan mereka mengepal ke udara.

“Iya, kita akan membakar dia. Tidak boleh ada mariara di kampung ini,” sambung Hukum tua. “Hari ini, kita akan membakar hidup-hidup mariara yang telah meresahkan kampung kita. Ini menjadi pelajaran bagi warga yang akan menjadi mariara. Tidak ada yang bisa lolos…”

Setelah hukum tua selesai berpidato, pendeta diminta untuk mendoakan kampung mereka agar dijauhkan dari gangguan kuasa-kuasa setan, seperti mariara. Dia mengakhiri doanya dengan berkata, “Dalam nama Yesus, kami akan melenyapkan kuasa jahat itu. Amin.”

Tubuh Yopi tak tampak lagi. Kayu bakar yang sudah disirami bensin telah menutupinya. Ketika tubuh Yopi masih tampak tadi, tangan kirinya kelihatan masih memegang tikus-tikus mati itu. Sampai selesai pendeta berdoa, tak satupun warga yang menyoal tikus-tikus mati itu.

Sebatang korek api ditangan om Robert mengeluarkan percikan api. Kemudian korek itu dilempar ke tumpukan kayu yang sudah disirami bensin. Seketika tumpukan kayu yang membungkus tubuh Yopi berubah menjadi nyala api yang besar. Lidah-lidah apinya seperti tangan-tangan iblis yang menari-nari. Sesekali keluar bunyi kayu yang retak. Tapi, tidak terdengar suara teriakan minta tolong dari dalam tumpukan kayu. Padahal sebuah kematian tragis sementara terjadi, kematian yang disengaja dan diiyakan dengan hukum kampung dan doa seorang pendeta. Warga kampungpun tampak menikmati pertunjukkan eksekusi mati terhadap Yopi, terdakwa mariara.

Matahari mulai miring ke Barat. Kira-kira pukul 2 sore nyala api baru padam. Tinggal tumpukan arang hitam yang tampak. Warga sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Hukum tua dan pendeta juga sudah pergi. Tinggal Om Robert dan beberapa laki-laki yang masih tampak di situ. Jasad Yopi hangus terbakar. Tak tampak lagi jenasah manusia. Namun masih kentara tangan kirinya memegang tikus-tikus mati yang juga sudah menjadi arang itu.

Om Robert dan beberapa lelaki yang bersama dengannya, setelah sejenak mengais-ngais bekas pembakaran itu, merekapun pulang ke rumah. Jasad Yopi yang sudah berubah menjadi arang yang hitam dibiarkan begitu saja. Dan, matahari semakin terbenam di ufuk Barat. Malampun segera menyelimuti kampung itu. Langit menjadi hitam dan suasana kampung tampak mencekam. Entah kenapa, malam itu warga lebih suka tinggal di rumah daripada bercerita di warung, di perempatan jalan, atau nonton liga Italia di beberapa rumah warga. Mungkin saja kengerian akibat peristiwa sadis tadi siang baru dirasakan setelah malam tiba atau setelah suara gonggongan anjing bersahut-sahutan.

Tapi, beberapa hari dari eksekusi itu, warga dihebohkan dengan kematian lagi secara berturut-turut beberapa warga kampung. Gejalanya sama persis yang dialami oleh Eby dan Aldy. Mulai dengan menggigil, panas tinggi, cuma 3 atau 4 hari lalu meninggal. Seminggu jumlah warga yang meninggal mencapai 10 orang. Satu di antaranya Om Robert.

Warga sekampung menjadi bingung. Hukum tua berpikir keras mencari penyebab kematian warganya. Sebab dua mariara sudah mereka lenyapkan tapi mengapa masih ada kematian misterius. Pendetapun, di ibadah hari minggu di gereja bahkan mendoakan secara khusus kematian-kematian yang sedang menimpa jemaatnya. Hingga kematian ke-100 di waktu sekitar 1 bulan itu, belum ada satupun warga yang bisa mengungkapkan penyebabnya. Dugaan masih disekitar bahwa roh-roh sihir nenek Omi dan Yopy belum hilang semuanya.

Kematian beruntun akibat penyakit misterius itu akhirnya heboh sampai di kabupaten. Pemerintah pun segera menyuruh dinas kesehatan kabupaten untuk turun ke kampung itu menyelidiki sebab kematian massal itu. Setelah seminggu petugas kesehatan dan para ahli melakukan penelitian, mereka mendapat kesimpulan penyebabnya. Kampung itu terserang wabah penyakit pes mematikan, sejenis penyakit mematikan yang di sebabkan oleh sebuah bakteri yang ditularkan oleh kutu tikus.

“Jadi saudara-saudara, kami telah menemukan penyebab penyakit misterius yang telah membunuh ratusan warga di sini sejak beberapa bulan terakhir ini,” ujar ketua tim peneliti dari Dinas Kesehatan Kabupaten. “Di Indonesia dan negara-negara Asia penyakit ini menular lewat gigitan kutu tikus, gigitan atau cakaran binatang yang terinfeksi bakteri dan dengan kontak tubuh binatang yang terinfeksi. Kematian di kampung ini adalah akibat penyakit pes yang memang mematikan.“

Mendengar itu, sejumlah warga teringat tikus-tikus mati yang dipegang oleh Yopi sampai dia dieksekusi. Mereka juga masih mengingat tikus-tikus itu diambil oleh Yopi dari mata air, sumber air bersih warga kampung itu.

“Apakah itu maksud dari Yopi dengan tikus-tikus mati dari mata air yang dipegangnya sampai dia hangus terbakar? Dia mungkin bermaksud menyampaikan pesan dengan tikus-tikus mati itu. Kalau karena penyakit pes, berarti dia dan nenek Omi bukan mariara? Tapi, mereka telah mati dibakar??” Tante Nece bertanya entah kepada siapa.


Bukit Inspirasi, 22 Maret 2010

0 komentar: