Minggu, 15 Agustus 2010

Melawan Dengan Sastra: Sepenggal Kisah Veronica Franco


“Aku mengaku memilih memjadi pelacur yang bebas, daripada menjadi istri yang terpenjara,” sebuah kalimat pembelaan keluar dari mulut Veronica Franco di sidang Inkuisisi kota Venesia.

Kalimat itu adalah salah satu cuplikan dialog dalam film Dangerous Beauty (1998) yang dirilis dengan judul A Destiny of Her Own. Film ini diangkat dari buku The Honest Courtesan, karya Margaret F. Rosenthal yang menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan dari Fenisia bernama Veronica Franco. Kisah Veronica benar-benar ada. Seorang perempuan cantik, pinter dan pandai berpuisi di Venesia abad ke-16.

Venesia, sebuah kota modern di abad 16. Pelacuran menjadi pilihan untuk bertahan hidup di tengah feodalisme kaum bangsawan. “Cinta bukan soal hati, tapi politik,” kata Marco seorang pemuda dari keluarga berkelas yang jatuh cinta kepada Veronica. Di kota ini pelacur juga terbagi kelas: pertama, yang disebut dengan cortigiana onesta atau pelacur intelektual, dan yang kedua cortigiana di LUME, pelacur kelas bawah. Pelacur kelas kedua ini sering melakukan prakteknya di dekat Jembatan Rialto. Veronica Franco masuk di pelacur kelas pertama, yang dicari-cari dan dikagumi oleh laki-laki dari kelas bangsawan. Tapi, Veronica memiliki beberapa kelebihan di banding sejawatnya yang lain. Selain cantik, cerdas, ia juga berbakat di bidang sastra dan seni.

Di usia muda, Veronica belajar seni dari ibunya (yang juga bekas cortigiana onesta). Ibunya melatih dia memgembakan bakat-bakat alamiah dan kemampuan untuk memperoleh pernikahan yang menguntungkan secara finansial. Tak heran, ketika memilih menjadi pelacur kelas atas, Veronica dapat memikat hati banyak lelaki bangsawan di Venesia. Bahkan ia pernah berhubungan dekat dengan Henry III, Raja Perancis, meski hanya sesaat.

Veronica Franco menulis dua buku puisi: Terze terbit pertama kali tahun 1575 dan Lettere Familiari pada 1580. Dia mengumpulkan karya-karya penulis terkemuka lainnya ke dalam antologi. Sukses dengan karya-karya sastranya itu, Veronica juga mendirikan sebuah badan amal untuk pelacur dan anak-anak mereka.

Veronica mungkin mewakili banyak perempuan yang berprofesi sebagai pelacur sebagai cara untuk melawan kerasnya hidup akibat struktur-struktur yang tidak adil dalam masyarakat. Pilihan yang terpaksa ketika perempuan berada di bawah kuasa kaum feodalis.

Pada tahun 1575, ketika wabah melanda kota, Veronica terpaksa meninggalkan Venesia. Ia juga kehilangan banyak kekayaannya ketika rumah dan harta bendanya dijarah. Dia kembali pada tahun 1577 di kota itu. Di kota itu ia diadili dalam sidang Inkuisisi dengan tuduhan ia telah melakukan kejahatan sebagai seorang penyihir. Namun dengan penuh keyakinan, ia membela diri. Tuduhan-tuduhan terhadap dirinyapun akhirnya dibatalkan. Kemungkinan, hidup Veronica di masa-masa jelang tutup usia dalam keadaan yang sangat sederhana, kalau tidak disebut miskin.

Film “A Destiny of Her Own' menceritakan kehidupan Veronica yang penuh gejolak. Cinta, nafsu, kekuasaan politik dan agama, meminggirkan banyak kaum perempuan di Venesia waktu itu. Namun, lewat puisi-puisinya yang sering dibaca di hadapan para lelaki bangsawan, dia menyindir feodalisme yang dilegitimasi oleh agama tersebut. Perempuan, dalam dominasi kaum bangsawan di Venesia dihargai seperti barang untuk diperdagangkan. Cinta dan harga diri serta hak-hak hidup harus takluk di bawah sistem kelas dan kekuasaan patriakhi. Dan, Veronica melawan dengan caranya sendiri! Ini kisah tentang perempuan yang tak mau tunduk pada kuasa ideologi, teologi dan sistem kelas yang hegemonik!

0 komentar: