Selasa, 10 Mei 2011

Menjadi Kaum Muda Pelopor Pembaharuan

(Renungan pada Ibadah Pembukaan Pertukaran Sepekan Mahasiswa STF Pineleng,STAIN Manado, dan Fakultas Teologi UKI Tomohon)

Bahan Bacaan: Yohanes 8: 30-36

Nabi bersabda bahwa Kebenaran telah dinyatakan:

"Aku tidak tersembunyi, tinggi atau rendah

Tidak di bumi, langit atau singgasana.

Ini kepastian, wahai kekasih:

Aku tersembunyi di kaibu orang yang beriman.

Jika kau mencari aku, carilah di kalbu-kalbu ini."

Demikian sebuah puisi dari sufi dan sastrawan Islam terkenal yang hidup di awal abad 13 Masehi, JALALUDDIN AR-RUMI, atau orang banyak kenal dengan Rumi saja. Judul puisi itu, ”Kebenaran”. Ada juga puisinya yang lain yang bertema sama:

Letak Kebenaran

Kebenaran sepenuhnya bersemayam di dalam hakekat,

Tapi orang dungu mencarinya di dalam kenampakan.

Banyak orang mengenal Rumi sebagai sufi dan juga sastrawan yang penuh keyakinan pada kedalaman Cinta, sebagai cara untuk memahami kehadiran ”Sang Kebenaran” itu. Kebenaran ada dalam hakekat, makna yang dikandung oleh Hati. Bukan dalam wujud yang terlembaga atau politis. Sebuah puisinya yang lain menegaskan keyakinannya itu:

jangan tanya apa agamaku.

aku bukan yahudi.

bukan zoroaster.

bukan pula islam

karena aku tahu,

begitu suatu nama kusebut,

kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.

Saudara-saudaraku,

Yesus juga sering bicara Kebenaran. Yohanes, salah satu penulis Kitab Injil berusaha memahami makna Kebenaran yang dimaksud Yesus dalam konteks terbebasnya manusia dari kungkungan dosa. Yesus menyampaikan Kebenaran dalam ucapan-ucapannya. Ia, dipahami oleh Yohanes sebagai yang merepresentasi Allah. Sehingga apa yang Yesus ucapkan adalah Kebenaran. Maka, untuk bisa hidup merdeka atau terbebas dari kungkungan dosa, orang-orang Yahudi, yang mendengar khotbah Yesus itu diajak untuk memahami dan meresapi betul ucapan-ucapan Yesus yang memuat kebenaran itu.

”Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”

Mari kita pahami ayat ini dalam logika berpikir Yohanes yang merepresentasikan Allah dalam kehadiran Yesus. Dan, Yesus memang dalam kesadaran itu. Yohanes, agaknya mampu menyelami Yesus sampai jauh ke dalam hakekat Kebenaran itu. Dan, seperti nabi-nabi lain, di peradaban dan waktu yang lain, juga hadir dan menyatakan dirinya sebagai yang merepresentasi Allah atau Yang Maha Kuasa itu. Sidharta Gautama mencapai pencerahannya dan berhasil memerdekakan diri, juga bisa dipahami sebagai yang mereprsentasi Yang Maha Kuasa itu. Meskipun, dia tidak mempersonifikasi yang Maha Kuasa itu dalam bahasa kebudayaan. Nabi Muhammad, hadir beberapa abad setelah Yesus, juga dalam kesadaran bahwa dia merepresentasi Allah lewat perjumpaannya yang akrab dengan Allah.

Saudara-saudaraku,

Sesungguhnya, ketika bicara ”dosa”, Yesus sedang berbicara sesuatu yang sangat dalam untuk menemukan inti permasalahan eksistensi manusia. Dengan memakai kata ”Hamba Dosa”, Yesus bermaksud mengungkap persoalan terjebaknya manusia pada hidup yang memutlakan kepuasaan material. Banyak orang berkorupsi karena mengejar kekayaan. Banyak orang menjadi jahat karena mengejar kekuasaan. Banyak orang sibuk dengan seremonial sosia-politik dan juga agama demi mengejar prestise untuk menyamarkan ketamakan. Menjadi manusia yang merdeka, dalam pikiran Yesus adalah menjadi manusia yang terbebas dari kemunafikan yang mengaburkan hakekat hidup. Maka, kebenaran adalah makna, nilai dan hakekat hidup yang mestinya mewujud dalam keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, cinta lingkungan hidup dan cinta kehidupan bersama.

Kebenaran itulah yang telah menjadi fondasi semua nabi pendiri agama-agama dunia. Kebenaran yang memerdekakan manusia dari kungkungan materialisme. Memang kita butuh makan, rumah dan pakaian, tapi tidak mestinya karena itu membunuh kemanusiaan sesama. Hakekat kebenaran akan sulit dijangkau jika kita hanya terjebak pada bentuk, bukan hakekat dari kepercayaan itu. Yesus, dengan Injilnya membongkar cara pikir yang seremonialistik dan berporos pada kekuasaan yang memenjara. Jadi, soalnya bukan karena saya beragama Kristen, Islam, Hindu, Budha, dll itu, melainkan terutama adalah bagaimana kita mewujudkan kebenaran itu dalam gerak kehidupan bersama.

Ketika Perang Teluk terjadi pada tahun 1991, Ibu Teresa mengirim surat kepada Presiden AS George Bush dan presiden Irak Saddam Hussein. Isi suratnya antara lain berunyi begini:

”Saya belum pernah terlibat dalam situasi peperangan, tetapi saya telah melihat kelaparan dan kematian. Saya bertanya dalam diri saya sendiri ‘ Apa yang mereka rasakan ketika mereka melakukan hal itu? Saya tidak mengerti, mereka semua anak-anak Tuhan, mengapa mereka melakukan hal itu? Saya sungguh tidak mengerti.” Tolong pilihlah jalan perdamaian…dalam jangka pendek mungkin ada pemenang dan kalah dalam perang ini, dan akhirnya kita semua akan sesali, tetapi tidak ada yang bisa menghitung rasa kehilangan, penderitaan dan kehilangan nyawa yang disebabkan oleh senjata kalian.”

Ibu Teresa, biarawati Katolik yang menghabiskan pengabdian hidupnya di Kalkuta - India, sesungguhnya juga sedang berbicara hakekat dari hidup itu, yaitu ”perdamaian.” Perang adalah wujud paling ekstrim dari ambisi berkuasa. Dan, sejarah telah mencatat, perang sepanjang sejarah telah memakan korban yang tak terhitung lagi jumlahnya. Ibu Teresa mengungkap kebingungannya, ”Saya tidak mengerti, mereka semua anak-anak Tuhan, mengapa mereka melakukan hal itu” Sebuah kontrdiksi!

Saudara-saudaraku,

Kita adalah generasi yang hidup di masa peralihan milenium yang masih terbeban dengan macam-macam persoalan warisan peradaban modern. Samuel Huntington bicara soal benturan peradaban Timur dan Barat. Tariq Ali, seorang ateis, bicara ”Benturan antara Fundamentalis”. Tapi, kita, terutama generasi di ruangan ini adalah generasi yang dididik oleh nilai-nilai keagamaan. Kita belajar banyak hal dengan spirit agama kita masing-masing. Kini, kita berjumpa di sini. Kita, generasi harapan peradaban baru yang tidak beragama secara seremonialistik yang hanya menekankan wujud material dari agama. Kita, belajar keras untuk menggali nilai-nilai pengetahuan yang hakiki dari agama-agama kita. Maka, mestinya kita tidak terjebak dalam benturan peradaban yang dikonstruksi oleh ambisi-ambisi menguasai dunia.

Sebab, dua peradaban ini dulunya pernah terjadi dialog pengetahuan yang memungkinkan lahirnya zaman modern. Sejarah menyebutkan, bahwa misalnya Thomas Aquinas (1225-1274), filsuf Kristen (Barat), dalam mengembangkan pemikirannya banyak menggunakan rujukan-rujukan pemikiran dari filsuf Islam, Ibnu Rusyd atau Averroes, dari Andalusia (Spanyol). Mereka, berbeda agama dan peradaban tapi bisa bertemu dalam usaha mencari ’kebenaran”.

Jika begitu, kita kini terpanggil untuk mewujudkan nilai-nilai hakiki dari agama-agama kita dalam aksi yang memerdekakan dan menghidupkan. Perjumpaan semacam ini, sangatlah baik untuk melakukan refleksi bersama mengenai apa wujud dari panggilan bersama itu. Kemiskinan, diskriminasi, ketidakadilan gender, kerusakan lingkungan hidup, kekerasan (atas nama agama atau kekuasaan) menjadi realitas masyarakat kita. Kita, generasi terdidik mestinya tidak terpisah dengan realitas itu. Kita terpanggil karena memiliki kewajiban untuk mewujudkan ”kebenaran” itu dalam aksi membebaskan. Dalam bentuk gerakan spiritual juga boleh aksi advokasi, kita diharapkan dapat mengambil peran dalam membebaskan masyarakat kita dari penderitaan akibat dosa penguasa atau juga mungkin dosa institusi agama kita.

Saudara-saudara,

Kemarin saya menulis status di wall Facebook saya: ”Orang berbondong-bondong ingin bertemu dengan Tuhan. Ritual-ritual keagamaan padat dan sesak dengan manusia yang gelisah. Tuhan adalah Kebenaran itu, kata Gandhi. Maka, carilah Tuhan dalam Kebenaran hidup....”

Seorang teman di FB bernama Rahmi Hattani, mungkin alumni STAIN Manado berkomentar dengan berkata: “Jangan mencari Tuhan dengan ketakutan akan perbuatan dosa. Tapi carilah Tuhan dengan keberanian menegakkan kebenaran.”

Mari kita renungi makna “kebenaran” itu dalam usaha kita menjadi ”pemimpin yang handal”, yang bertintelektual dan berspiritual. “Yang Maha Kuasa” yang kita sapa dengan beragam nama itu, kiranya memberkati kita semua.

Wassalam, Amin.

0 komentar: