Sabtu, 14 Desember 2013

Teladan Opa dan Oma Saya: Dari Kisah Anggota Brimob asal Jawa, PPK hingga PKI


DULU, di sekitaran tahun 1980, semasa Opa dan Oma saya masih hidup, ketika makan malam mereka sering bercerita di meja makan - tentu usai makan-makan - pengalaman mereka di masa jelang, masa pergolakan Permesta hingga kekacauan akibat G30-S tahun 1965. Ada kisah yang saya masih ingat, dan kisah itu juga pernah diceritakan kembali oleh ibu saya. Kisahnya begini:

Di suatu hari di tahun 1956, opa dan oma saya mengantar anak-anaknya menuju ke Ongkaw di Selatan Minahasa. Perjalanan ini sebenarnya sekadar pesiar. Karena opa dan beberapa om saya sedang bekerja sebagai tukang gerobak (bas roda sapi) di Ongkaw.

Dari Kawangkoan mereka naik mobil angkutan umum menuju ke Amurang. Dari Amurang menumpang lagi semacam bus tempo doeloe. Di mobil menuju Ongkaw, selain keluarga Opa dan Oma, ada salah seorang penumpang yang ternyata ia adalah anggota Brimob yang bertugas di Kotamobagu. Ia seorang Jawa, mungkin juga muslim.

Setelah mobil penuh dengan penumpang, merekapun berangkat. Namun, di ujung Amurang, tepatnya di sebuah tempat yang disebut Mobongo (hingga sekarang orang masih menyebut lokasi itu dengan nama yang sama), sepasukan tentara Pasukan Pembela Keadilan (PPK) sedang berjaga-jaga untuk mencegat mobil-mobil atau kendaraan lainnya yang lewat.

Dari kejauhan sudah tampak pasukan PPK tersebut. Penumpang seisi mobil jadi ketakutan. Pasukan ini terkenal liar. Terlebih yang sangat panik si anggota Brimob tersebut. PPK sangat memusuhi baik tentara maupun anggota Polisi Indonesia dan tak tanggung-tanggung membunuh mereka. Untuk menyelamatkan nyawa si anggota Brimob tersebut, opa saya menyuruh dia bersembunyi di dalam tempat duduk, yang di masa itu dibuat semacam ”kas”  yang fungsinya antaran lain untuk menaruh barang. Untung kas itu bisa memuat tubuh si anggota brimob tersebut. Untuk sementara dia aman di situ.

Pas di tempat pencegatan itu, mobil pun berhenti. Tentara PPK menyuruh semua penumpang turun. Tak disangka, salah satu anggota PPK yang mencegat itu saling kenal dengan opa saya. Nama anggota PPK itu Alo Palit.

”Oh, Andries reen. Mange re ambisya ko?”, tanyanya kepada opaku.
”Mange pe ang Ongkaw. Ma tawoi eta ang Ongkaw.”
”Oh. Keitu reen ko ca tumumpa?” tanya si Alo.
”Yo eta tumumpa yaku. Ma’ali-a’li to’yang eta,” jawab opa saya.

Percakapan antara Opa saya dengan salah satu anggota PPK itu membuat pemeriksaan berlangsung tidak lama. Dengannya, mereka tidak sampai memeriksa isi mobil. Kalau sampai itu terjadi, entah bagaimana nasib si anggota Brimob yang orang Jawa itu.

Perjalananpun dilanjutkan. Tidak ada orang di mobil itu yang ditahan, termasuk si anggota Brimob tersebut. Semua selamat dari PPK. Di tengah perjalanan lanjutan, si anggota Brimob tersebut menyampaikan terima kasihnya kepada opa dan oma saya. Kalau tidak tindakan berani menyembunyikan dia di dalam kas dan kebetulan opa saya kenal salah seorang PPK itu maka nyawanya mungkin sudah melayang.

Sebelum pergolakan Permesta, di Minahasa sudah ada Pasukan Pembela Keadilan (PPK). Di kemudian hari, banyak anggota PPK yang bergabung dengan Permesta. PPK sudah lama eksis di Minahasa sebelum Permesta. Para pemimpinnya yaitu Sam Mangindaan, No Korompis, Jan Timbuleng, juga ada nama Goan Sangkaeng, yang adalah seorang berdarah Tionghoa. Para pendiri PPK ini kebanyakan terdiri dari tentara-tentara eks KNILdan gerilyawan sebelum kemerdekaan yang merasa didiskriminasi oleh TNI. Misalnya, Sam Mangindaan maup un No Korompis merasa sakit hati, karena merasa sudah berjasa secara militer maupun politik bagi kepentingan perjuangan Indonesia tapi diturunkan pangkatnya oleh Panglima Kawilarang. Kapten No Korompis diturunkan menjadi Sersan, begitu juga teman-teman mereka yang lainnya. Termasuk Goan Sangkaeng kena desersi.

Ada juga kisah lain dari opa dan oma sekeluarga.
Kisah ini terkait dengan gerakan G30-S tahun 1965. Opa saya dan keluarganya bukan anggota Permesta meskipun bersimpati dengan perjuangannya. Begitupula, opa saya tidak sampai masuk anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Opa pernah bercerita, dia bahkan pernah berdebat dengan seorang anggota PKI di rumah kopi di Kawangkoan.

Namun, adak eluarga oma saya yang bergabung menjadi anggota PKI, meskipun hanya simpatisan biasa. Nah, dampak dari G30-S, yang berlanjut hingga tahun 1980-an adalah usaha secara sistematis dari rezim Soeharto untuk membersihkan warga negara dan keluarganya yang menjadi anggota PKI. Sampai tahun 1980-an masih ada istilah yang saya ingat, ”wajib lapor” bagi mereka yang terlibat. Di tahun 1990-an saya masih mendengar orang memaki dengan berkata, ”dasar ontak PKI ngana!” Selain sejarah bikinan rezim yang menyebutkan bahwa dalang dari G30-S itu adalah PKI,tapi stigma yang kuat ditanamkan di masyarakat bahwa PKI adalah anti Tuhan. Anak-anak yang orang tuanya dulu anggota PKI mendapat stigma yang berat itu, sehingga diperlakukan secara diskriminatif di kehidupan sosial, politik dan kesempatan kerja.

Nah, di saat di Kawangkoan sedang panas-panasnya isyu PKI dan keluarga-keluarga yang terlibat di partai ini dipinggirkan oleh masyarakat, maka salah satu keluarga oma saya ini harus menyingkir ke Motoling, mungkin maksudnya untuk mencari aman dari perlakuan masyarakat di Kawangkoan. Dan, itu ternyata umum terjadi di mana-mana di masa itu.

Opa dan Oma serta keluarga mereka yang telah menetap di Motoling sejak masa pergolakan Permesta usai, kira-kira sejak tahun 1962, hidup mereka sudah lumayan baik. Opa dan om-om saya melanjutkan keahlian mereka, bekerja sebagai tukang roda sapi. Opa saya disapa oleh masyarakat Motoling dengan sebutan “Om Bas”. Bengkel opa saya lumayan maju. Opa dan oma sudah bisa bikin rumah besar.

Keluarga oma yang menyingkir ke Motoling gara-gara dampak G30-S itu ditampung oleh opa dan oma sekeluarga di rumah mereka. Anak-anak keluarga oma saya bekerja dengan opa, bantu-bantu di bengkel roda sapi. Opa saya yang mungkin bisa dikatakan anti komunis tokh bisa menerima mereka dengan lapang dada. Rumah panggung opa saya penuh dengan keluarga dari Kawangkoan yang PKI itu.

Hingga opa dan oma meninggal, saya tidak pernah tanya alasan atau setidaknya apa yang membuat mereka bersikap seperti itu. Baik terhadap anggota Brimob di masa jelang pergolakan Permesta atau terhadap keluarga oma saya yang anggota PKI di jelang tahun 1970-an itu. Mungkin tidak perlu ada pertanyaan, tokh, jawabannya sudah jelas dari perilaku mereka yang sangat manusiawi. Saya belajar banyak hal dari teladan opa dan oma saya ini. Ras, agama dan ideologi boleh berbeda. Bahkan secara ideologis boleh menolaknya, tapi di atas semua itu adalah kemanusiaan. Pada bulan Juli tahun ini, di Yogyakarta saya beli buku berjudul Compassion karya Karen Armstrong. Bukunya ini mengulas tentang ”belas kasih” yang digali dari nilai-nilai tua kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama. Opa dan Oma saya sangat Minahasa sekali. Meskipun, mungkin banyak orang meragukan kekristenan mereka.

”Opa dan oma saya serta keluarga mereka melakukan hal yang mereka inginkan agar apa yang mereka lakukan itu juga dilakukan oleh orang lain terhadap cucu-cucu mereka.” Saya akan berusaha mengajarkan teladan itu kepada anak-anak saya. Semoga.


Makapulu sama,

Kuranga, Sabtu,24 Agustus 2012

0 komentar: