Selasa, 17 Agustus 2010

GMIM, Mestinya Tetap Reformis

Pendahuluan
Panitia meminta kepada saya untuk membawakan materi dengan topik: “Apakah GMIM Masih Gereja Reformis?” Topik ini tentu dilatar belakangi dengan pemahaman bahwa, ”GMIM adalah Gereja Reformis”. Secara teoritis, yang antara lain berangkat dari sejarah gereja, Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) memang adalah gereja reformis. Kata ”reformis” ini, adalah kata sifat yang menunjuk pada sifat, karakter dan semangat GMIM yang reformis.

Dalam tulisan ini saya akan mencoba mengulas makna-makna reformasi atau sifat-sifat reformis dalam GMIM, yang mungkin oleh pengamatan terhadap kecenderungan praktek dan pemikiran bergereja GMIM dewasa ini memunculkan tanda tanya, ”Apakah GMIM masih gereja reformis”. Maka dengannya, terlebih dahulu saya perlu mengurai meski hanya singkat, apa arti kata ”Reformasi atau Reformis” yang dilekatkan dibelakang kata GMIM ini.

Makna ”Reformasi” dalam Gereja
Secara etimologi, kata ”reformasi” diambil dari kata Latin ”reformare”, yang kurang lebih berarti, ”pembentukan ulang,” atau ”penataan ulang,”. Kata ”reformare” ini sendiri dibentuk dari kata depan”re” (again, anew atau rebuild = membangun kembali) dan kata benda ”forme” (form = bentuk). Secara harafiah dan sederhana, kata ”reformasi” yang kita kenal sekarang diartikan, ”perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara.”

Dalam sejarah gereja, kata ”reformasi” ini menunjuk pada upaya pembaharuan terhadap gereja yang dilakukan oleh Martin Luther dengan mengeluarkan 95 dalil pada tanggal 31 Oktober 1517. Latar belakang adanya reformasi itu, seperti yang disebutkan oleh Eddy Kristiyanto, antara lain, di masa-masa itu ada persoalan dekadensi moral yang terjadi di dalam gereja (di kalangan para klerus), dan juga ekspansi Islam yang membuat khawatir pemimpin gereja (Paus) dan pemerintahan (Kaisar). Masa itu juga di mana gereja telah mulai menjauh dari akarnya di Asia dan telah berwajah Eropa.

Gerakan reformasi Luther ini terutama memang adalah untuk memprotes absolutisme institusi gereja dan ’perselingkuhannya”dengan kekuasaan. Namun, selain itu, Luther sebenarnya juga mengkritik sentralisme politik dan agama ke Roma. Dan ini rupanya juga menjadi aspirasi orang-orang Jerman sehingga reformasi Luther mendapat dukungan massal.

Penekanan pada makna ”reformasi” tersebut adalah pembaruan, dan kritik terhadap kemapanan doktrin ataupun ideologi gereja sebagai lembaga. Belakangan muncul semboyan di dalam gereja-gereja reformasi, yaitu: ”ecclesia reformata, ecclesia semper reformanda, yang berarti "Gereja yang telah direformasi adalah Gereja yang (harus) terus-menerus diperbarui.” Sehingga, jika kita menyebut GMIM sebagai gereja reformis, maka melekat di dalamnya adalah spirit dan semangat pembaharuan, kritik dan kemajuan yang merupakan hasil interpretasi terhadap makna Injil Yesus Kristus berhadapan dengan konteks yang dinamis atau terus berubah. Injil adalah abadi, tetap dan tak pernah berubah. Tapi, pemaknaan dan penerjemahan arti Injil itu akan fungsional jika dia kontektual.

GMIM, Gereja Yang Reformis
GMIM, adalah gereja yang mewarisi pemikiran para reformator, terutama Johanes Calvin. Sehingga, seperti gereja-gereja lain yang beratradisi sama, GMIM kerap disebut sebagai gereja Calvinis, atau juga gereja reformis. Berdiri pada tahun 30 September 1934, GMIM hadir sebagai upaya kemandirian berteologi lepas dari pengaruh pemerintah Belanda, yang dengannya memilih untuk menjadikan Tanah Minahasa sebagai basis pijakan. Burung Manguni sebagai simbol GMIM menegaskan kekhasan gereja Kristen ini, yang mengambil kebudayaan Minahasa sebagai lokus berteologi.

Ketika menyambut lahirnya gereja Kristen Minahasa, yaitu GMIM pada 30 September 1934, Ds. AZR Wenas dalam pidatonnya berseru, ”...dengan kegembiraan dan sjukur oleh sebab pada hari ini, 30 September 1934, tertjapailah maksoed jang telah lama dikandoeng di dalam batin Masehi Minahasa...terjtapailah maksoed jang telah kami percatja djoegapun dikehendaki Toehan Allah, ja’ni: Gereja Masehi Indjili Minahasa berdiri sendiri...” Ketika GMIM berdiri sendiri lepas dari campur tangan pemerintah Belanda, itu juga bentuk reformasi orang-orang Kristen Minahasa. Penekanannya adalah berdiri sendiri atau mandiri.

Dengan semangat reformasi itu, maka penginjilan atau Pekabaran Injil GMIM menyentuh pada persoalan pendidikan dan kesehatan. Soal hakekat kehadiran GMIM di Tanah Minahasa Ds. AZR Wenas juga berujar: “Tanah dan Bangsa Minahasa adalah Ciptaan dan Anugerah Tuhan. Gereja Tuhan di Tanah Minahasa harus men-jalankan Misinya lepas dari Kuasa Negara Sambil Melaksanakan Kesaksian Kenabiannya Melalui Perbuatan yang Nyata Dengan Mencerdaskan Manusia, Menolong Orang yang Sakit dan Mengangkat Derajat Kesejahteraan Bangsa Minahasa.”

“Tanah dan Bangsa Minahasa” menunjuk pada dunia di mana seorang Ds Wenas melakukan refleksi dan aksinya dalam berteologi. Tanah Minahasa, tentu menunjuk pada tanah pijakan, semangat dan manusia yang berproses di dalamnya. Minahasa adalah bangsa, yang akhirnya menjadi salah satu bangsa di Negara yang bernama Indonesia. Menurut saya ini pertama-tama tidak menunjuk pada sikap eksklusif seolah-olah hanya Tanah Minahasa yang diberkati. “Ciptaan dan Anugerah Tuhan” hendak menegaskan penghayatan atas kasih dan kebesaran Tuhan atas tanah pijakan, semangat dan manusia Minahasa. Ada suatu penghayatan yang sangat teologis, sekaligus ungkapan pengakuan atas kebesaran Tuhan atas Tanah Pijakan Manusia yang kemudian menjadi majemuk ini. Karena sekarang ini Tanah Minahasa akhirnya harus kita hayati sebagai ruang bagi manusia-manusia yang ingin mencari kedamaian hidup.

Tampak suatu semangat oikumenis dalam melayani di GMIM, ketika Ds. Wenas menyebut kata ”Gereja Tuhan”. Kata “Kuasa Negara” yang didahului dengan kata “lepas”, yang juga bisa kita artikan agar bebas dari pengaruh negatif kuasa politik negara, tentu harus dibaca dalam konteks di mana Ds Wenas mengungkapkan penegasan yang reflektif ini. Ini barangkali sebuah penegasan antisipasi bagi gereja di masa depannya (baca: sekarang), belajar dari masanya, untuk selalu mewaspadai kuasa politik negara yang kalau tidak diwaspadai bisa mengobrakabrik gereja. Poin kedua ini, menurut saya ingin menegaskan pada kita bahwa gereja yang menjalankan misi Tuhan haruslah selalu dalam kesadaran diri untuk tidak terjebak pada kuasa politik negara, yang bisa menumpulkan peran gereja untuk mendamaisejahterakan manusia yang selalu bersoal dengan kemiskinan, ketidakadilan atau bahkan penganiayaan, kebodohan dan diskriminasi dalam beragam bentuk.

“Kesaksian Kenabian” “Mencerdaskan Manusia”, “Menolong Orang yang Sakit” dan “Mengangkat Derajat Kesejahteraan Bangsa Minahasa.” Inilah tugas panggilan atau misi GMIM dalam kehadirannya di dunia ini. Inilah juga semangat GMIM atas kehadirannya di tanah ini. Semangat ini kemudian berwujud pada aksi, yaitu melakukan pelayanan kesehatan, lewat pendirian rumah-rumah sakit dan pelayanan di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Ini semua adalah bentuk ekspresi atau pemaknaan terhadap makna Injil Yesus Kristus dalam konteks Minahasa.

Dalam melaksanakan tugas panggilan tersebut, maka GMIM sebagai persekutuan orang-orang percaya (gereja sebagai tubuh Kristus) perlu untuk terus melakukan perubahan, kritik ke dalam dan terus menerus memahami makna kehadirannya di tengah dunia yang terus berubah. Di awal tahun 1970-an, Pdt. R.M. Luntungan, yang waktu itu sebagai Ketua Sinode GMIM, menuliskan dalam sebuah buku kecil yang berjudul ”Beberapa Tjatatan Ketatalajanan”, bahwa dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut, perlu bagi gereja dan jemaat untuk selalu meneliti pemahaman baru tentang tugasnya. ”Pemahaman baru tersebut di atas mengenai siapa, apa, pola, sasaran dan alat pelajanan, menuntut gereja/djemaat/warga2nja mempunyai pandangan baru atau visi menyeluruh lalu melihat keberadaan serta tugasnja dari padangan menjeluruh itu, sesuai hakikat gereja dan tugasnja.” Visi dari kehadiran gereja di tengah dunia, seperti kata Pdt. Luntungan adalah untuk mendirikan tanda-tanda syalom Kerajaan Allah.

Pemahaman-pemahaman ini sejalan dengan semangat gereja-gereja beraliran Calvinis yang tergabung dalam WARC (World Alliance of Reformed Churches), di mana GMIM salah satu anggotanya. Hasil pertemuan gereja-gereja anggota WARC dalam Calvin Consultation of Senior Pastors (CCSP) Jenewa, 13-18 Oktober 2008 yang merupakan interpretasi terhadap pemikiran salah satu Reformator, yaitu Johanes Calvin yang masih relevan dalam konteks dunia di abad 21 ini adalah: 1) Memanifestasikan karunia kebersamaan (Making manifest the gift of communion). 2) Berkomitmen untuk keadilan (Covenanting for justice). 3). Mengatasi kekerasan dan kerusakan akibat perang (Addressing violence and destruction in times of war and armed conflict.) .
Sebelumnya, berdasarkan pemikiran Calvin yang menekankan perlunya komitmen pada keadilan, pada tahun 2004 WARC mengeluarkan Konfensi Akra (Accra Confession) dalam Persidangannya yang ke-24. Didalamnya ditegaskan bahwa:
1. Gereja menolak tata ekonomi dunia yang dikendalikan oleh kapitalisme neo-liberal global atau sistem ekonomi lainnya yang tidak memikirkan kepentingan orang miskin dan pelestarian lingkungan.
2. Gereja menolak budaya konsumerisme dan kerakusan yang kompetitif dan egois dari sistem pasar bebas.
3. Gereja menolak akumulasi kekayaan yang berlebihan dengan mengorbankan hidup jutaan orang dan memusnahkan ciptaan Tuhan.
4. Gereja menolak ideologi apapun yang menempatkan keuntungan (profit) di atas manusia (people), juga ideologi yang tidak mempedulikan alam, dan menguasai sumber-sumber alam yang Tuhan berikan bagi semua orang untuk kepentingan diri sendiri.

Sebagai anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) GMIM juga berada dalam panggilan untuk menyatakan Injil Yesus Kristus yang membebaskan dan memerdekaan dalam konteks Indonesia yang majemuk. Dalam Sidang Raya XV PGI di Mamasa ditetapkan bahwa Visi PGI 2009-2014 adalah ” Menjadi Gereja yang merefleksikan kebaikan Allah di tengah-tengah masyarakat majemuk Indonesia.” Sementara rumusan misinya adalah: Gereja-gereja di Indonesia:
1. makin menguatkan persekutuan di antara gereja-gereja di Indonesia sebagai basis bagi pelayanan dan kesaksian;
2. makin lebih terbuka kepada lingkungan yang di dalamnya mereka hidup;
3. menggiatkan pelayanan yang komprehensip di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai wujud pemberitaan Kabar Baik;
4. ikut mewujudkan masyarakat majemuk Indonesia yang berkeadaban dengan memelopori berbagai upaya terciptanya nhubungan-hubungan yang baik dengan komponen-komponen masyarakat;
5. memberikan sumbangan berharga bagi terjadinya proses demokratisasi yang substansial di dalam Negara Indonesia.

Beberapa Gejala GMIM Mulai Menjadi Gereja Tidak Reformis
Apa yang saya paparkan ini adalah pengamatan secara umum, yang mungkin masih berbentuk fenomen-fenomen yang terkait dengan eksistensi GMIM. Kita masih perlu mendiskusikannya lebih serius dan mendalam, apakah fenomen-fenomen yang saya sebut ini adalah bukti bahwa GMIM sudah kehilangan orientasinya sebagai gereja yang reformis.

1. Di lima tahun terakhir ini, GMIM bersoal dengan konflik internal yang tidak bisa lagi disebut sebagai rahasia karena hal tersebut sudah mengemuka di ruang publik. UKIT terbelah menjadi dua, sejumlah pendeta GMIM dipecat, dan Auditorium Bukit Inspirasi (sebagai aset GMIM) disewakan kepada pihak swasta. Ada kecenderungan kepemimpinan GMIM di periode baru lalu telah berubah dari kepemimpinan yang melayani, menjadi kepemimpinan yang memperkuat lembaga untuk kepentingan sekelompok elit GMIM. Sampai sekarang, persoalan UKIT belum selesai, meski sebenarnya Sidang Majelis Sinode di bulan Maret lalu telah mengamanatkan rekonsiliasi.
2. Ada gejala pergeseran model dan paradigma berteologi yang semakin populer sebagai respon kian merebaknya gerakan-gerakan karismatik atau gereja-gereja Injili. Model berteologi (yang tampak dalam bentuk ibadah dan pemikiran teologinya) gereja-gereja karismatik yang hanya menekankan kepuasan psikologi juga mulai tampak dalam GMIM, mulai dari aras jemaat, BIPRA bahkan di level sinode.
3. Sebagai dampak dari terpengaruhnya GMIM dengan model dan paradigma berteologi gereja-gereja karismatik tersebut, maka doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran yang eksklusif juga mulai mengemuka dalam GMIM. Padahal, konteks Minahasa dan Indonesia adalah plural dari segi Suku, Agama, dan Ras. Teologi yang terbuka, yang terus dikembangkan oleh lembaga-lembaga gereja-gereja reformis nasional dan dunia, seperti PGI, Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) , dan WARC, di mana GMIM menjadi anggota aktifnya.
4. Komitmen pada pelestarian lingkungan hidup hanya tampak pada hal-hal praktis, seperti ikut mendukung program penanaman pohon dan kebersihan lingkungan. Namun, ketika daerah kita heboh dengan dugaan pencemaran Teluk Buyat oleh PT. Newmont Minahasa Raya pertengahan tahun 2000-an ini di Ratatotok, dan terakhir kontroversi Pengoperasian PT. Meares Soputan Mining (MSM) di Likupang, tidak tampak sikap kritis GMIM sebagai bagian dari komitmennya menyelematkan lingkungan hidup di Minahasa/Sulut.
5. Hubungan antara GMIM dengan Politik yang semakin relatif. Persoalan ini tentu memiliki sejarah yang panjang, dan rumit adanya. Tapi setidaknya, masuknya sejumlah politisi dalam BPMS GMIM yang sudah dari beberapa tahun terjadi menegaskan bahwa ketidakjelasan hubungan antara GMIM dengan kekuasaan politik bukanlah isapan jempol belaka. GMIM telah dijadikan sebagai batu loncatan sejumlah politisi untuk meraih kekuasaan di lembaga legislatif dan eksekutif adalah bukti tidak konsistennya GMIM menjaga hubungannya dengan politik/kekuasaan.

Beberapa hal ini merupakan antara lain fenomena yang sedang menggejala dalam GMIM. Silakan kita membandingkan femonena ini dengan semangat dan pemikiran-pemikiran reformis GMIM seperti yang diurai di bagian sebelumnya. Namun yang jelas, bila yang kita maksud dengan semangat reformasi dalam GMIM adalah komitmen pada keadilan, pencerdasan, kritis terhadap penyelenggaran kekuasaan oleh pemerintah, bertanggung jawab pada keselamatan holistik (manusia dan lingkungan hidup), peka pada persoalan-persoalan kemanusiaan seperti: diskriminasi, kemiskinan, eksploitasi, dan marginalisasi, maka GMIM memang sedang berada dalam situasi yang ”kritis” dalam kaitan dengan pertanyaan kita: ”Apakah GMIM masih reformis?”.

Penutup
Menjadi gereja reformis adalah menjadi gereja yang penuh komitmen pada pembaharuan. Tentu, komitmen pada pembaharuan ini tidak semata mengikuti trend, tapi terutama adalah sebagai komitmen pada amanat mengabarkan Injil/Kabar Baik Yesus Kristus. Yesus Kristus, ketika melakukan gerakan spiritualitas bersama murid-murid-Nya, juga membawa misi pembaharuan terhadap tatanan yang mapan tapi menjajah. Injil, pada dasarnya spirit dan nilai pembaharuan yang terus menerus demi hadirnya tanda-tanda kerajaan Allah di bumi, yaitu Damai Sejahtera, terbebasnya manusia (siapapun dia) dari segalah kuasa yang menjajah.

Sehingga, ketika gereja atau GMIM berhenti melakukan autokritik, berhenti meneliti dan mengusahakan pembaharuan dari dalam dan tidak melakukan usaha-usaha pembaharuan dalam kehidupan nyata; atau terjebak/menjebakkan diri pada lingkaran kekuasaan politik, maka disitulah GMIM benar-benar telah menjadi gereja yang tidak reformis. Namun, saya kira GMIM masih dalam siatuasi yang ”kritis”, yang jika tidak diingatkan makna reformasi dalam dirinya, maka GMIM akan benar-benar menjadi gereja yang pro status quo, pro kemanapanan dan dia akan berubah menjadi ideologi yang tidak teologis. Namun, dengan membicarakan kegelisahaan ini secara terbuka, saya kira kita sedang bermaksud agar GMIM benar-benar menjadi gereja reformis. ”GMIM, Mestinya tetap reformis”, karena GMIM ada untuk pembaruan yang terus menerus menuju visi damai sejahtera, sebagai implementasi Injil Yesus Kristus, kabar baik yang memerdekakan dan membebaskan. GMIM ada bukan terutama hanya untuk dirinya, melainkan untuk sekalian alam ini. Ini makna tema GMIM sekarang, ”Tuhan itu baik kepada semua orang” (Maz. 145:9a)


Tomohon, 20 Juli 2010
Catatan: tulisan ini disampaikan pada Perkemahan Karya Pemuda Gereja (PKPG) Pemuda GMIM Rayon Minahasa Selatan di Bumi Perkemahan Bukit Moria Tondei wilayah Motoling 20-24 Juli 2010.

0 komentar: