Senin, 07 November 2011

Jejak-jejak Makna Kehidupan


Kasih yang Menghidupkan

Suatu hari di Jepang:

Seorang tukang sedang merenovasi sebuah rumah. Si tukang itu mencoba merontokan tembok. Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong di antara tembok yang terbuat dari kayu. Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor kadal terperangkap di antara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah paku.

Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek paku itu, ternyata paku tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.

Apa yang terjadi? Bagaimana kadal itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikitpun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal. Si tukang itu lalu berpikir, bagaimana kadal itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada paku itu!

Tukang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan kadal itu. Dalam hati ia bertanya apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan hidup selama 10 tahun itu? Sesuatu yang tak terduga ia saksikan. Tak tahu dari mana datangnya, seekor kadal lain muncul dengan makanan di mulutnya. Melihat hal tersebut, si tukang itu merasa takjub. Ternyata kadal yang terperangkap mendapat perhatian dan bantuan makanan dari seekor kadal lain.

Kadal yang lain itu, ternyata telah menunjukkan kasihnya yang tak terhingga dan tak pernah menyerah serta tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. Sungguh sebuah inspirasi bagi kita manusia, betapa cinta dan kasih kepada sesama, mestinya adalah tanpa pamrih, sehingga menghidupkan.

Demikian sebuah kisah yang saya kutip dari situs http://kisah-ku.blogspot.com. Kata si penulis kisah ini, cerita ini adalah sebuah kisah nyata yang terjadi di Jepang.

Kisah tentang hubungan kasih dua kadal ini, seolah-olah mengoreksi cara hidup kita manusia yang semakin individualis dan konsumeris. Ketika kepentingan pribadi dan kelompok menjadi fokus hidup, maka penderitaan sesama manusia yang lain kadang harus diabaikan, bahkan banyak yang menyebabkan penderitaan. Kita memang masih sering saling menolong dan membantu orang lain, tapi kebanyakan di antaranya telah terjadi dalam sebuah hubungan dagang.

Memang, selain makhluk social, manusia adalah juga makhluk ekonomi. Kalau ingin bertahan hidup, maka manusia harus siap masuk ke dalam wilayah pasar yang kadang liar dan ganas. Itu fakta dalam kehidupan manusia modern. Tapi mestinya pada saat-saat tertentu, ketika kehidupan telah sangat terancam oleh kemiskinan dan ketidakadilan, panggilan kemanusiaan kita mestinya tak harus lagi memperdulikan soal untung rugi secara ekonomis untuk melakukan suatu kebaikan pada manusia di sekitar.

Kita memang tak bisa memungkiri kenyataan hidup ini telah dipenuhi dengan berbagai kepentingan ekonomi dan politik. Tapi setidaknya, kasih dan cinta yang terkandung dalam nurani kita mestinya melampaui kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi itu. Sebab, manusia pada dasarnya ada dan berada dalam hubungan yang tak terpisahkan dari kehidupan sosialnya. Manusia tak akan dapat bertahan hidup bila tak bersosialisasi, yang di dalamnya terjadi sinergi: saling memberi dan saling menerima. Kasih dan cinta terhadap kehidupan, menjadi dasar hubungan-hubungan itu.

Kadalpun bisa tergerak nalurinya untuk membantu dan menolong sesamanya yang sedang dalam keadaan sulit, apa lagi kita manusia yang hidup bukan hanya karena naluri tapi juga akal pikiran. Kita manusia mestinya tetap berproses dalam suatu tujuan yang mulia, yaitu kehidupan.

Hidup manusia, sejatinya tidak hanya untuk dirinya sendiri. Kita rajin bekerja, tentu tidak pertama-tama adalah untuk kekayaan kita sendiri. Selain memang adalah untuk melanjutkan proses hidup pribadi, tapi, dari proses gerak yang sementara kita kerjakan mestinya akan menjadi cahaya dan pengerak peradaban. Seorang pemulung sampah pun, dari kerjanya seperti itu, sadar atau tidak, sebenarnya sedang melakukan sesuatu untuk proses keberlanjutan hidup banyak orang. Bayangkan, kalau tidak ada orang yang memilih menjadi pemulung, seperti apa keadaan sampah kita? Sampah yang bertumpuk terus menerus, tanpa dikurangi dengan kerja pemulung tentu akan membawa dampak bagi lingkungan dan kerja pembangunan negara. Seorang pemulung, dari kerjanya, sebenarnya sedang dalam usaha memberi suatu bagi peradaban, yaitu demi keberlanjutan kehidupan banyak orang. Ini suatu contoh kepada kita betapa hidup ini sejatinya adalah untuk semua, untuk keberlangsungan kehidupan dunia ini.

Kasih sesungguhnya tak pernah berharap imbalan dan menembus batas-batas perbedaan. Kasih yang menghidupkan laksana lilin yang siap mengorbankan dirinya demi seberkas cahaya dalam kegelapan. Ketika semua di sekitar kita seolah-olah telah kesetanan berlomba untuk kekayaan dan kekuasaan diri sendiri, kasih sekecil apapun dari kita bisa memberi cahaya pengharapan bagi manusia-manusia yang menderita karena struktur yang tidak adil dan kerakusan sekelompok orang mengejar harta kekayaannya sendiri. Kasih yang sejati sesungguhnya menghidupkan dan membangkitkan gairah hidup. Tanpa kasih dunia pasti sudah lama hancur!

0 komentar: