Sabtu, 22 Agustus 2009

Alo, Merdeka dengan Terong Goreng (sebuah cerpen)

Alo masih tampak lelah. Keringat di dahinya masih mengucur. Kedua pipinya merah, seperti tomat Modoinding yang masak. Kerah kemeja seragamnya tampak bergaris coklat oleh daki keringat. Hari itu memang panas dan ramai.

Di tanah lapangan, jam 10 pagi tadi ada upacara bendera dalam rangka memperingati HUT RI. Pak Camat menjadi inspiktur upacara. Semua siswa sekolah diharuskan mengikuti upacara itu. Meski udaranya panas karena matahari seolah juga ikut merayakan hari nasional itu namun para siswa dari TK sampai SMA harus hadir di tanah lapang. Alo, adalah salah satu dari ratusan siswa SMP yang ikut upacara itu.

Meski tubuh Alo kurus kerempeng, tapi dia penuh semangat mengikuti upacara itu. Kulit Alo yang hitam, tambah hitam setelah kena sinar matahari yang menyengat. Sekitar dua jam, ia dan ratusan siswa lainnya berdiri tegap tak boleh banyak bergerak mengikuti upacara di tanah lapang. Tapi Alo ternyata lebih kuat dari Boni, anak Pak Beni, pengusaha kelas kampung yang kaya raya itu. Sebab, baru 30 menit berdiri di tanah lapang, Boni jatuh pingsan. Tubuh Boni yang pingsan itu akhirnya harus dibopong oleh petugas kesehatan yang telah bersiap-siap di tempat pelaksanaan upacara itu.

Alo, baru selesai mengikuti pawai tujuhbelasan. Kini ia sudah ada di rumahnya. Ibunya sangat bangga melihat Alo memakai seragam putih biru meski tubuh anaknya itu tampak semakin kering setelah hampir setengah hari berpanas-panasan di tanah lapang dan ikut pawai berputar ibu kota kecamatan.

“Alo, minum air putih yang banyak. Sana, di dapur airnya,” ibu Alo menyapa anaknya yang baru tiba di rumah.

“Iya, ma. Papa mana, ma?”

“Tadi di pinggir jalan, nonton pawai.”

“Oh. Ma, Alo makan, ya?”

”Ya. Ambil saja sendiri. Nasinya di belanga.”

“Ikannya, ma?”

“Mmm. Cuma terong goreng,” jawab ibunya dengan nada yang berat.

“Ini namanya sayur yang dijadikan ikan,” gumam Alo.

Ibunya pasti tak mendengar gumaman itu. Alo memang sengaja hanya bergumam. Dia tidak mau ibunya mendengar keluhannya itu. Dia sebenarnya kesal setiap hari lauk pauknya seperti ini. Padahal yang Alo tahu keluarganya baru saja menerima BLT beberapa hari lalu.

”Ah, tak apalah biar cuma makan terong goreng, yang penting Indonesia sudah merdeka”, Alo bergumam lagi sambil mengambil nasi dari belanga dengan sendok makannya.

Habis itu, Alo mengambil terong goreng yang di taruh di piring di atas meja kecil. Terong goreng itu tinggal dua potong. Kalau diperhatikan betul sebenarnya dua potongan itu hanya dari satu buah terong saja. Alo pun menyantap nasi dengan lauk pauk terong goreng buatan ibunya.

“Bayangkan, ya para pejuang itu. Di hutan, hujan panas, bergerilya melawan Belanda. Makan apa mereka? Pasti bukan terong goreng. Bisa babi hutan, tikus, talas, atau tidak makan sama sekali. Kasihan mereka,” ujar Alo kepada terong goreng yang sepotongnya tinggal setengah karena dimakan Alo.

”Tapi, kata pak Camat tadi, cita-cita dari kemerdekaan Indonesia adalah untuk kesejahteraan dan keadilan? Lha, terong goreng dengan nasi saja, apakah berarti kesejahteraan? Inikah cita-cita kemerdekaan itu?” Alo masih berbicara kepada temannya, terong goreng yang sementara di santapnya itu. Kali ini, terong goreng tinggal sepotong. Sepotongnya yang lain sudah masuk di kerongkongan Alo.

Nasi yang dipiringpun perlahan mulai habis. Alo memang sedang lapar. Sebutir nasi menempel di sebelah kanan bibirnya yang memble itu. Alo tak merasakan itu.

”Begitu juga iklan-iklan di TV. Semua bicara tentang cita-cita kemerdekaan untuk kesejahteraan. Tapi, kenapa anak tante Nelly, perutnya buncit, dan badannya kurus. Kata orang itu gejala penyakit busung lapar. Gizi buruk kata yang lain. Aku juga kurus, tapi untung bukan busung lapar. Inikah kemerdekaan itu? Tadi malam, di TV, para penjual di sebuah pasar digusur. Waktu lalu ada ledakan bom. Teroris pelakunya,” Alo semakin serius bercerita kepada terong goreng yang tinggal setengah potong di piringnya.

”Adu kamu terong goreng. Kamu tinggal setengah potong. Kamu juga nasi, tinggal dua sendok. Kalau aku makan kamu, maka habislah kamu. Hei, nasi, kamu juga. Kamu berdua kalau aku makan, besoknya jadi tahi. Tempatmu di wc, di belakang itu. Kasihan kamu berdua,” bibir memble Alo bergerak-gerak mengeluarkan kalimat-kalimat itu.

”Tapi, benarkah kamu terong kaya gizi, seperti kata guruku di sekolah? Katanya, kamu mengandung kadar kalori yang tinggi, sehingga bagus untuk kesehatan. Benarkah itu? Mudah-mudahan benar, ya? Nasi, kamu juga kata guru mengandung zat kapur yang dapat berguna untuk gigi dan tulang? Benarkah begitu? Mudah-mudahan saja benar, sehingga kamu tidak percuma aku makan setiap hari,” Alo berbicara kepada terong dan nasi yang tinggal hitungan detik habis di piring. Di tangannya tinggal terong secuil, sementara nasi tinggal beberapa butir yang bisa dihitung dengan jari.

Akhirnya, setelah semua dimakan, tinggal piring kosong di tangan Alo. Terong goreng dan nasi, tiada berbekas. Semua telah dimakan. Tapi, sebutir nasi yang tertempel di sebelah kanan bibir memble Alo belum juga pergi ke mana-mana. Bahkan dia semakin kentara karena bibir memble Alo basah atau barangkali mengkilat karena berminyak.

Alo mencari-cari air putih untuk diminum. Tapi, di bokor aluminium peninggalan neneknya kosong melompong. Tiada air barang setetes saja di bokor tua itu.

“Ma, air putihnya di mana?!!” Alo berteriak.

“Di termos!! Air dinginya sudah habis!! Balas ibunya dari ruang dalam rumah.

“Wah, gawat!! Jadi, minum air panas??” gumam Alo.

“Masalah air minum bukan hanya di kota, tapi juga di rumah ini ternyata,” kata Alo. Kali ini, teman bicaranya adalah piring kosong yang masih dipegangnya.

“Inikah artinya merdeka? Tapi, barangkali lebih baik hidup seperti ini di rumah sendiri, dari pada hidup dengan kamuflase merdeka di rumah orang lain. Tapi, rumah orang lain itu yang bagaimana, ya? Rumah sendiri itu juga yang bagaimana? Oh, maksudnya barangkali rumah orang lain, adalah rumah yang sebenarnya bukan milik sendiri, baik sejarahnya, tanahnya dan semuanya? Rumah sendiri adalah rumah yang sejarahnya adalah milik sendiri, tanahnya milik sendiri dan semuanya adalah milik sendiri. Indonesia adalah rumahku? Atau Minahasa yang benar-benar adalah rumahku sendiri?” Tanya Alo, lagi-lagi kepada piring kosong yang masih dipegannya itu.


Tomohon,
Sehari setelah hari kemerdekaan Rumah Indonesia ke-64 tahun

1 komentar: