Senin, 19 Desember 2011

Elang, Nuri dan Lelaki Pincang

Suatu pagi jelang siang di akhir November 2011.
Di sebuah lorong kecil, beberapa orang berjalan saling berpapasan. Seekor elang terbang rendah dengan bebas di atas sawah. Langit berawan, sepertinya hujan akan segera turun. Seekor burung nuri kecil kakinya terikat tali. Ia ditenggerkan di atas pagar depan rumah pemiliknya. Kicauannya menyedihkan. Ia ingin bebas, tapi ia tersandera.

Di lorong itu, seorang lelaki parubaya berjalan lambat. Kaki kanannya pincang. Ia memikul beberapa parang yang diikat untuk dijual. Ia sempat singgah di sebuah warung. Seorang kemungkinan bermaksud membeli parang yang dijualnya.

Kehidupan seperti elang yang bebas terbang. Tapi, sewaktu-waktu ia akan bernasib seperti nuri itu. Atau bahkan ia akan mati. Nuri yang indah hanya menjadi pajangan bagi si manusia. Lelaki pincang berjuang hidup. Lorong-lorong kehidupan menampilkan beragam wajah manusia.

Manusia dan kehidupannya, sesungguhnya paradoks. Bermula dari manusia itu yang paradoks adanya. Banyak orang berharap hidup damai dan sejahtera. Bersamaan dengan itu, manusia-manusia lain merusak harapan-harapan sesamanya. Entah apa tujuan hidup manusia-manusia perusak itu. Tapi, ego adalah aku yang selalu berhadapan dengan macam-macam godaan. Pada satu titik si aku harus memilih. Hidup benar, namun mungkin harus berhadapan dengan kesusahan-kesusahan. Atau hidup salah dengan segala kenikmatan yang semu.

Tapi tak terlalu baik menyalahkan si aku. Sebab, aku selain hadir bersama aku-aku yang lain, ia juga lahir dan terbentuk oleh alam ideologi dan kebudayaanya. Aku tidak bermain-main bebas di alamnya itu. Ia seperti nuri yang terikat. Kicaunnya tak lagi mendendangkan sukacita bersama alam. Aku terikat dan mengikatkan diri dengan tali-tali kebudayaannya. Aku tak bisa bebas seperti elang di udara. Pun elang yang bebas itu, entah kapan akan jatuh jua ke bumi.

Manusia memberadakan diri dalam alam hidup yang pada banyak hal dibuatnya. Anehnya, buatannya itu juga yang pada banyak hal kemudian mengontrol dia. Memaksa dia. Memerintah dia. Atau menyuruh dia membunuh. Atau bahkan membunuh dia. Alam hidup yang paradoks. Karena yang membentuknya, si aku adalah paradoks.

Manusia tak seperti elang yang bisa terbang bebas. Ia lebih mirip nuri yang terikat itu. Lorong-lorong kehidupan tak lurus. Ia berbelok-belok. Kadang-kadang buntu pada rumah penguasa. Atau juga buntu pada jurang. Manusia, si aku itu harus pandai-pandai menentukkan arah yang benar.

Elang terbang bebas di atas sawah yang padinya baru dituai. Padi yang menguning sudah tak ada lagi. Lumpur sawah telah merubah warna pemandangan menjadi kecoklat-coklatan. Keong-keong berjalan lambat. Ikan-ikan kecil bermain riang. Nanti malam kodok-kodok berpesta.

Lelaki berkaki pincang entah dari mana. Berjalan di lorong memikul parang berharga seliter beras untuk malam nanti. Berjalan tidak rata di atas aspal yang berlubang. Tapi, ia adalah manusia yang penuh semangat. Kentara dari tangannya yang berurat. Otot-otot tua menjadi saksi tentang hidup yang keras.

Nuri ditegenggerkan di atas pagar yang keras. Pagar yang membatasi aku dengan aku yang lain. Kicauannya tak seindah ketika menyanyi di hutan. Nuri masuk ke alam hidup manusia. Ia menyaksikan hiruk-pikuk manusia mencari arah hidup. Kalau ia masih sempat pulang ke habitatnya, mungkin ia akan bercerita kepada pohon-pohon. Cerita tentang dunia manusia yang terus bergerak. Dinamis. Tapi sering tanpa arah. Sebab, arah itu tidak lurus.

Cerita elang kepada anak-anaknya, saudara-saudaranya, atau kepada kekasihnya tentang dunia manusia yang penuh dengan kepalsuan. Saling sikut. Saling pukul. Saling tipu. Tapi ia mungkin masih akan jujur, ada seorang lelaki pincang yang berjalan tidak rata tapi penuh semangat. Atau cerita tentang seorang perempuan tua yang bangun pagi-pagi sebelum suami atau anak-anaknya tersadar dari mimpi. Pagi-pagi sekali ia pergi ke pasar. Tanah masih basah. Udara masih dingin. Ia akan pergi menjual apa yang dipetiknya di kebun kemarin sore. Cerita elang itu mungkin berjudul ”dunia manusia yang paradoks.”

Lelaki berkaki pincang mungkin akan bercerita kepada istri atau anak-anaknya tentang lorong itu. Di sana ada manusia-manusia yang menanyai dia tentang harga sebilah parang. Tapi mereka tidak membeli. Karena memang hanya ingin bertanya. Lain dengan si petani tua yang berjumpa dengannya di ujung lorong. ”Kalau kau datang lagi besok, saya akan beli parangmu. Hari ini, aku masih akan ke kebun. Semoga hari ini rejeki akan berpihak kepadaku,” ujar si petani tua itu. Atau cerita tentang sebuah mobil yang dikendarai oleh seorang berpakaian kantoran yang hampir menabraknya di lorong itu. ”Hei, kamu punya mata atau tidak!!” bentak si orang itu.

Ini akhir November. Besok bulan Desember. Udara akan semakin dingin. Elang dan Nuri akan menghangatkan tubuh dengan bungkusan sayapnya. Namun. lelaki berkaki pincang itu, justru akan semakin lama di jalanan demi seremoni agama nanti.

30 November (- 3 Desember 2011)

0 komentar: