Selasa, 10 Mei 2011

Mengapa Yesus (harus) Mati?

Oleh: Denni Pinontoan**



Pengantar
Tema diskusi ini menarik. Bukan hanya ini nanti akan berbicara sesuatu yang penting dalam iman Kristen, melainkan juga mengenai pengkalimatan judulnya. Antara kalimat ”Mengapa Yesus Mati?” dengan ”Mengapa Yesus (harus) Mati?” sepintas sama. Tapi, dengan ditambahkannya kata ”harus” kalimat kedua ini kemudian menjadi berbeda makna dengan kalimat pertama. Kata ”harus” di sini menyiratkan sebuah kesadaran bahwa Yesus tidak sekadar mati karena proses pengadilan yang keliru, tapi ini sebenarnya sebuah penegasan usaha mencari makna dari peristiwa kematian-Nya. Dalam kesadaran itulah rumusan-rumusan teologis tentang kematian Yesus dibangun oleh gereja sepanjang masa. Bahwa, kematian Yesus adalah bagian dari rencana Allah untuk menyelamatkan manusia dari kungkungan dosa. Sehingga, sepertinya, kematian itu adalah pilihan sadar yang harus diambil Yesus. Mati di Atas Kayu Salib sebagai terdakwa, oleh konsep teologis gereja, adalah bentuk pengorbanan Yesus untuk dunia dalam menyelamatkan manusia sebagai rencana agung Allah.

Setiap perayaan Jumat Agung makna itu yang menjadi inti pemberitaan firman oleh gereja. Itu benar, dan tidak salah secara teologis. Tapi, jika hanya itu, agaknya diskusi dengan topik ”Mengapa Yesus (harus) Mati” tidak perlu lagi dibicarakan dalam bentuk seminar atau apapun namanya yang serius melibatkan banyak orang. Sebab, mestinya makna itu cukup didapatkan saja dengan mendengar khotbah pendeta di rumah gereja. Menurut saya, peristiwa kematian Yesus atau pilihan Yesus untuk mati secara tragis di atas Kayu Salib selalu relevan dan perlu terus dibicarakan karena narasi ini ”subversif”. Mengapa? Sebab peristiwa kematian Yesus ini adalah historis (benar-benar terjadi), dan dengannya ini menjadi sesuatu yang luar biasa. Karena keluarbiasaannya itu, sehingga di masanya, berita tentang kematian Yesus adalah sesuatu yang menghebohkan, dan menantang kekuasaan dan kemapanan para petinggi agama Yahudi dan kekuasaan politik Romawi. Yesus memilih ”Jalan Salib” untuk meruntuhkan keangkuhan, arogansi dan kemutlakan kekuasaan buatan manusia yang banyak memakan korban.
Dalam cara berpikir inilah, diskusi mengenai ”kematian Yesus” menurut saya menjadi terus relevan. Dalam konteks kita, bagi saya alasan mengapa kita perlu lagi membicarakan tema ini, karena kita sedang berhadapan dengan beberapa persoalan, antara lain:
  • ketidakadilan terjadi di mana-mana dalam beragam bentuk
  • sikap individualistis semakin menggejala dalam masyarakat kita.
  • korupsi semakin hebat terjadi dalam berbagai tingkatan
  • Secara internal, gereja kita cenderung semakin dogmatis dan politis.
Berangkat dari persoalan-persoalan itulah kiranya kita dapat mendiskusikan lagi makna ”Kematian Yesus” di era kontemporer bergereja kita.

Yesus Mati Karena Dosa Kemapanan Agama dan Kemutlakan Politik
Memahami dan memaknai kematian Yesus bisa dengan sedikitnya, dua pendekatan. Pertama, dengan pendekatan sejarah atau melalui studi sejarah. Kedua, dengan pendekatan teologis. Pendekatan sejarah maksudnya adalah mengkaji aspek-aspek sejarah yang berdasarkan bukti-bukti sejarah mengenai kematian Yesus tersebut. Pendekatan teologis adalah memahami peristiwa kematian Yesus itu sebagai sebuah proses ilahi, sebagai bagian – dari apa yang selalu gereja ajarkan kepada umatnya – rencana Allah untuk menyelamatkan dosa-dosa manusia. Saya akan menggunakan dua pendekatan ini untuk berusaha memaknai peristiwa kematian Yesus yang hingga masih terus diimani oleh miliaran penduduk dunia.

Kematian Yesus di Kayu Salib adalah peristiwa sejarah. Stefan Leks (2002), mengutip sejarawan Yahudi, Flavius Yosefus, menuliskan bahwa hukuman berupa penyaliban sudah berkali-kali terjadi sebelum Yesus lahir. Artinya, penyaliban agaknya adalah cara menghukum orang yang dijatuhi hukuman mati yang sudah biasa di masa itu. Akibat dari persenkongkolan kelas atas antara elite Yahudi dengan penguasa Romawi, Yesus akhirnya menjalani proses hukum ini.
Keempat kitab Injil dengan cara pandangnya masing-masing menuliskan peristiwa sejarah itu. Sumber-sumber mereka berdasarkan apa yang menjadi cerita lisan di masa itu. Para penulis kitab Injil ini tentu tidak sekadar memasukan peristiwa ini dalam tulisannya. Ada sebuah maksud khusus ketika peristiwa ini diceritakan secara bersama-sama.

Proses hukum yang harus Yesus jalani, sampai penyalibannya sebagai vonis hukuman mati, disiksa, dipaku dan digantung di atas Kayu Salib bukanlah sebuah kenyataan yang tejadi begitu saja. Ada sebuah proses panjang terkait dengan kiprah Yesus dalam masyarakat Yahudi yang berada di bawah dominasi/penjajahan Romawi di masa itu. Pengajaran, mujizat, keberpihakan terhadap kaum tertindas dan terpinggir, sikap dan serta tindakan-tindakan-Nya yang tidak biasa di kalangan masyarakat Yahudi dan juga penguasa Romawi tentu telah menyebar luas. Khotbahnya di Bait Allah, tindakannya yang radikal membubarkan para pedagang di Bait Allah, cara Dia memperlakukan orang-orang Samaria (baik dalam bentuk cerita maupun tindakan langsung berbicara dengan perempuan Samaria), juga kepada orang-orang yang dipinggirkan oleh masyarakat umum, pengajaran-pengajaran kepada murid-murid dan orang banyak, bagaimanapun telah cukup membuat gelisah para petinggi Yahudi. Yesus, semasa berkiprah telah memikirkan dan melakukan sesuatu yang melampaui cara pikir masyarakat Yahudi pada umumnya di masa itu. Dengannya, kemapanan kekuasaan para tinggi Yahudi terganggu. Apa yang Yesus lakukan semua itu, itulah yang disebut dengan kabar ”Kerajaan Allah”, ”Pemerintahan Allah”, atau lebih sederhananya, itulah ”Injil”, ”Kabar Baik”.

Sampai suatu waktu, ketika Paskah - perayaan keagamaan besar di kalangan Yahudi di Yerusalem- sudah dekat, Yesus harus berhadapan langsung dengan konflik itu. Sudah lama para petinggi Yahudi memendam amarah terhadap Yesus. Konflik itu sesungguhnya sudah lama terjadi. Tapi, elite-elite itu menunggu waktu tepat. Yesus, sebagaimana orang-orang Yahudi lainnya, juga datang ke Yerusalem. Menurut Matius Yesus meninggalkan Galilea. Ia berjalan menuju Yerusalem, masuk ke daerah-daerah Yudea melintasi Yordan Di sanalah Yesus akan menjalani proses hukum manusia itu (Mat. 19:1 dan 20:17-19).

Yerusalem tentu menjadi penuh sesak dengan manusia yang datang dari berbagai penjuru di Palestina. Orang-orang Yahudi itu datang memenuhi ritual keagamaan yang mengingatkan mereka pada peristiwa pembebasan dari tanah perbudakan di Mesir. Jadi, boleh jadi sesekali perayaan keagamaan itu, dipandang oleh penguasa Romawi bisa meledak menjadi sebuah gerakan massa menggugat dominasi Romawi. Dan, kehadiran Yesus di sana, adalah sebuah usaha sadar untuk menunjukkan apa sesungguhnya Kerajaan Allah, yang menjadi tema pemberitaan-Nya selama ini. Bagi rakyat Yahudi pada umumnya, hadirnya seorang mesias politis untuk membebaskan mereka dari penjajahan Romawi adalah sebuah harapan besar. Tapi tidak begitu dengan para elite Yahudi yang dengan senang hati menikmati posisi dan kekuasaan mereka bersama penguasa-penguasa Romawi.

Menurut keempat Injil, ketika masuk ke Yerusalem, Yesus mendapat sambutan yang cukup antusias. Matius menuliskan: ”Dan ketika Ia masuk ke Yerusalem, gemparlah seluruh kota itu...” (Mat. 21:10). Bagian dari perjalanannya itu, Yesus kemudian melakukan sebuah tindakan radikal. Ia mengusir orang-orang yang melakukan jual beli di Bait Allah. (Mat. 21:12-17; Mark.11:15-19; Luk. 19:45-48; Yoh. 2:13-16). Apa yang Yesus lakukan itu sungguh sebuah tindakan subversif bagi elite-elit Yahudi.
Jadi alasanya sudah semakin jelas mengapa Yesus kemudian dijatuhi hukuman mati. Bahwa, para elit Yahudi tidak senang dengan cara berpikir dan bertindak Yesus yang progresif, yang secara tidak langsung telah mengancam kekuasaan mereka. Apalagi, seperti yang direkam oleh para penulis Injil, Yesus sempat menyebut mereka sebagai ”ular beludak” (Mat. 12:34). Ini mengingatkan apa yang juga Yohanes Pembaptis katakan kepada orang-orang Farisi dan Saduki (Mat. 3:7-10). Jelasnya, Yesus menggunakan julukan itu kepada para elit Yahudi dengan berkata: ”Hai kamu keturunan ular beludak, bagaimanakah kamu dapat mengucapkan hal-hal yang baik, sedang kamu sendiri jahat?...”. ”Ular beludak” adalah metafor yang dipakai oleh Yesus untuk mengatakan bahwa para elit Yahudi itu jahat!

Yesus berkonfrontasi secara pemikiran dengan elit-elit Yahudi itu. Karena gerakan Yesus dipandang berbahaya oleh mereka maka direncanakanlah sebuah cara untuk menghabisi Yesus, yaitu membunuh Dia. Tapi, mereka tidak punya kekuatan hukum untuk menghukum mati Yesus. Maka, berundinglah para elit Yahudi itu untuk memutuskan cara membunuh Yesus. Caranya adalah dengan menggunakan orang ”dalam”, yaitu Yudas. Berikut direncanakan pula tuduhan-tuduhan palsu kepada Yesus agar penguasa Romawi dapat membuat keputusan hukum mati kepada-Nya.
Tuduhan-tuduhan itu jelas digambarkan oleh Lukas. Untuk mendapatkan legitimasi hukum usaha membunuh Yesus, para elit agama Yahudi menghadapkan Yesus kepada Pilatus. Dari cerita Yesus dihadapan Pilatus, setidaknya dapat dirangkum sejumlah tuduhan sebagai alasan untuk menghukum mati Yesus (seperti yang tertulis, a.l. dalam Luk. 23:1-5), yaitu:
  1. Pengajaran Yesus dianggap telah menyesatkan bangsa Yahudi dan telah menimbulkan kebimbangan dan ketidakpastian di tengah masyarakat mengenai apa yang sebelumnya sudah diajarkan ahli-ahli Taurat.
  2. Adanya larangan untuk membayar pajak pada Kaisar Tiberius. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang berlaku pada saat itu dimana Pilatus sebagai wakil dari Kaisar harus memungut pajak untuk diserahkan pada Kaisar Romawi. Pajak menggambarkan loyalitas mereka kepada Kaisar. Semakin besar pajak yang mereka bayarkan kepada Kaisar, maka semakin tinggi pula kesetiaan mereka kepada Kaisar.
  3. Pengakuan Yesus yang menyatakan Dia adalah Raja.
  4. Memang ada tuduhan yang benar tapi juga ada yang sengaja dibuat-buat. Tuduhan yang benar, bahwa memang Yesus tampaknya mengajarkan sesuatu yang berbeda dan bahkan berlawanan dengan apa yang diajarkan oleh para ahli taurat. Yesus sering mengkritik secara tajam ajaran mereka. Dan, jika mengikuti apa yang diurai oleh kitab-kitab Injil, benar juga bahwa Yesus sering merepresentasi diri-Nya sebagai Mesias atau Raja. Tapi, hal ini hanya berbeda cara memahami. Tuduhan bahwa Yesus sering menyebut Raja dipahami dengan pendekatan politis, sementara maksud Yesus tidak demikian. Soal tuduhan bahwa Yesus melarang rakyat membayar pajak, agaknya itu hanya bualan. Sebab, menurut catatan Lukas, pernah Yesus berkata: “...Kalau begitu berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!.” (Luk.20:25).
Pilatus sebenarnya tidak mendapatkan satu bukti sekalipun sebagai alasan untuk menghukum mati Yesus (Luk. 23:22). Tapi, konteks waktu itu adalah sidang rakyat. Karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami maksud Yesus, rakyat banyak yang telah terindoktrinasi maksud jahat dari para elit Yahudi mendesak Pilatus untuk menjatuhi hukuman mati kepada Yesus. Pilatus terdesak. Takut terjadi keributan, Pilatus akhirnya menerima permintaan rakyat banyak itu. Yesus akhirnya dijatuhi hukuman mati. ”Yesus mati karena Dosa Kemapanan Agama dan Kemutlakan Politik!!!”

Yesus Mati untuk Menghancurkan Kekuasaan Duniawi
Rasul Paulus memaknai kematian Yesus dengan berkata: ”Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah” (Rom. 6:10). Yesus memang telah mati karena dosa kekuasaan manusia yang antara lain berwujud dalam kemutlakan dogma agama dan absolutisme kekuasaan politik. Ketika Yesus menantang semua itu dengan memberitakan ”Kerajaan Allah” atau Kabar Baik, Injil, maka konsekuensi yang harus Dia terima adalah ”kematian”. Jadi, kematian Yesus, secara teologis bukanlah sebuah tindakan bodoh. Sebab, orang bisa saja berkata, seperti ejekan para prajurit Romawi kepada Dia: ”Kalau Yesus benar Mesias, Anak Tuhan, mengapa ia harus membiarkan diri-Nya mati di kayu salib?”. Tetapi, kematian Yesus mestinya dipandang sebagai kritik tajam atau bahkan gugatan terhadap absolutisme kekuasaan manusia. Dosa, baik dipandang dari sejarah menurut alkitab maupun kenyataan hingga hari ini berakar dari terpusatnya ambisi berkuasa pada diri manusia, sehingga kekuasaan menjadi absolut dan memakan banyak korban.

Dari situasi seperti itu pemberitaan Kerajaan Allah adalah sebuah kabar yang memang menantang. Bukan cuma di masa Yesus, hingga hari inipun, berita Kerajaan Allah itu memang masih menantang! Sebab, ”Kerajaan Allah” (Yun. Basileia) ini tidak memakai logika kekuasaan manusia. Logika kekuasaan Kerajaan Allah adalah Allah yang mengasihi tapi tidak berkompromi pada kejahatan. Dan, Yesus sebenarnya sedang memberitakan itu. Katanya: ”Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Luk. 11:20). Hal ini sangat kontras dengan situasi kehidupan manusia sepanjang masa (sudah tentu dengan sekarang). Ketika hampir semua hal diukur dengan standar-standar menurut konstruksi penguasa, kekuasaan menjadi segala-galanya. Kekuasaan politik, ekonomi, dan juga kemapanan agama serta status sosial telah membawa kerusakan pada kehidupan bersama.

Yesus memang akhirnya tidak mengambil jalan seperti yang dipikirkan orang banyak pada zamannya (dan juga zaman kita). Di saat orang-orang Yahudi kebanyakan menanti-nantikan datangnya raja politis yang dapat membebaskan mereka dari penjajahan Romawi, eh Yesus hadir dengan gerakan tranformasi mindset. Atau bisa dikata Yesus melakukan gerakan perubahan cara pikir, dan terutama Dia masuk melalui pintu spiritualitas. Spritualitas ala Yesus adalah sebuah kesadaran jiwa akan keadilan, kebenaran, kedamaian dan kemanusiaan. Spiritualitas ini tentu sangat bertentangan dengan logika kekuasaan manusia yang sangat politis dan materialistis. Yesus berkata: ”Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah...Sebab sesungguhnya kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk. 17:20).

Kematian Yesus adalah cara untuk menggugat logika kekuasaan manusia yang politis dan materialistis itu. Tentu, kematian-Nya di atas Kayu Salib adalah historis. Tapi, kematian itu tak cukup hanya jika memahaminya secara historis. Peristiwa itu melampaui nalar manusia. Sebab, kematian Yesus adalah sebuah peristiwa yang luar biasa (sebab itu tidak biasa). Orang tidak bisa memahami peristiwa itu dengan perhitungan matematis atau ekonomis. Itulah cara kerja Kerajaan Allah.

Kemudian, secara teologis kita memahami bahwa kematian Yesus adalah bagian dari rencana Allah untuk membawa manusia pada kehidupan yang penuh keadilan, kedamaian, dan kesetaraan. Kematian Yesus adalah tahap peralihan yang mestinya radikal, dari kehidupan yang penuh kejahatan ke kehidupan yang penuh kebaikan. Palang salib, seumpama sedang memalang kehidupan yang jahat itu untuk beralih ke kehidupan yang baik. Yesus telah merelakan tubuhnya menjadi ”salib” yang membebaskan. Itulah alasan-alasan teologis mengapa Yesus memilih (harus) mati!

Makna Salib di Tengah Krisis Kemanusiaan
Kita kini berada di sebuah era di mana kemanusiaan ditekan hampir sampai di titik nol. Kekuasaan politik dan kerakusan berekonomi sedang menghancurkan harkat kemanusiaan manusia. Citra manusia sebagai Imago Dei dirusak oleh ambisi berkuasa dan kaya. Kehidupan kita diwarnai dengan ketidakadilan yang terjadi di mana-mana dalam beragam bentuk; semakin menggejalanya sikap individualistis; korupsi semakin hebat terjadi dalam berbagai tingkatan dan secara internal, gereja kita cenderung semakin dogmatis dan politis. Merenungkan peristiwa kematian Yesus agaknya membutuhkan perspektif baru. Yang tidak hanya mengatakan bahwa kematian Yesus itu untuk menebus dosa-dosa warisan Adam dan Hawa, tetapi berusaha untuk menemukan makna kehidupan dari peristiwa itu. Bahwa, peristiwa kematian Yesus adalah sebuah bentuk pengorbanan merendahkan diri untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah. Yaitu keadilan, kedamaian, kemanusiaan dan kesetaraan.
Gereja, dan kita orang-orang Kristen perlu merenungi itu ketika konteks kita memperlihatkan gejala penjajahan kekuasaan politik dan ekonomi serta kemutlakan dogma agama yang membutakan. Yesus mengalami kematian dan dengannya gereja dan kita terpanggil untuk melakukan aksi yang radikal tapi penuh kasih melawan ketidakadilan. Penghayatan atas kematian Yesus mestinya membawa gereja dan kita pada kesadaran bahwa menjadi pengikut Kristus adalah menjadi warga Kerajaan Allah yang siap mengabdikan hidup untuk kebaikan bersama. Makna kita mengakui Yesus sebagai Mesias dan sebagai Anak Tuhan, karena kita bersedia mengimplementasikan makna salib di tengah kehidupan rill yang penuh krisis. Menjadi gereja dan orang Kristen yang bagian dari Kerajaan Allah adalah menjadi hamba yang melayani dalam kerendahan hati, kesederhanaan dan penuh komitmen membaharui. Siapkah gereja dan kita sendiri menjadi warga Kerajaan Allah yang tidak politis dan materialistis demi komitmen kepada makna Salib Kristus???? Ini tentu panggilan yang menantang komitmen.
Dalam pemberitaan gereja, kematian Yesus tidak bisa dilepaskan dari kebangkitan-Nya. Kebangkitan sebagai pemberitaan (kerygma) bermakna kehidupan. Ada sebuah proses tranformatif yang didemonstrasikan Yesus melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Bahwa, proses ”kematian” sebagai bentuk peralihan hidup menuju ke kehidupan yang lain. Dan, kebangkitan adalah tujuan proses itu. Kebangkitan adalah kehidupan. Kehidupan dalam Kerajaan Allah, adalah kehidupan yang bermakna keadilan, kedamaian, kemanusiaan, dan kesetaraan. Itulah hidup yang ’syalom”. Kita, dengan peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus dipanggil untuk menghadirkan hidup dalam suasana Kerajaan Allah, yang damai sejahtera. Yesus berkata: ”Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh. 20:21)


Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi bertajuk ”Mengapa Yesus (harus) Mati?” yang dilaksanakan oleh Panitia Paskah Tahun 2011 Jemaat GMIM Sola Gratia Tikala, Jumat, 15 April 2011.

0 komentar: