Minggu, 08 Mei 2011

Sebuah Ziarah Kultural ke Halmahera Utara

Oleh: Denni Pinontoan

Sabtu (2 April 2011) pagi, sekitar pukul 06.45 aku meluncur dari Tomohon menuju ke Bandar Udara Samratulangi, Manado. Aku diminta oleh Dian/Interfidei, Jogya untuk bersama-sama dengan mereka dalam sebuah kegiatan lintas agama di Tobelo. Sekaligus, kata Ira Sasmita, belajar bersama mereka bagaimana melakukan kegiatan lintas agama.

Udara, Laut dan Darat yang Menantang

Kepulauan Halmahera (Foto: Wikipedia)
Menuju ke Tobelo aku menumpang pesawat kecil berbaling-baling milik maskapai Wings Air. Sekitar 45 menit perjalanan dari Manado ke Ternate. Baru pertama kali itu aku naik pesawat kecil. Jadi agak tegang juga. Apalagi keluar dari Bandar Udara Samratulangi cuaca agak berawan, bahkan sebelumnya dari Tomohon, hujan. Pesawat yang aku tumpangi mendarat di Bandar Udara Sultan Babulla, Ternate. Penumpang dijemput pake bus bandara menuju ke terminalnya. Di situ aku di jemput oleh seorang sopir bernama Iwan. Orangnya baik. Dia minta maaf kepada saya, karena dia mengantar istrinya yang baru dia jemput berbelanja sesuatu di pusat kota Ternate. Istrinya itu, pernah kuliah di salah satu akademi keperawatan Manado. Waktu kerusuhan tahun 1998 dia berhenti kuliah. ”Ya, begitulah.akhirnya saya tidak selesai kuliah. Saya harus pulang ke Ternate waktu itu,” ujar istrinya.

Kami melewati kota Ternate. Dia menunjukkan kepadaku kedaton Ternate. Tapi sayang hanya tampak dari kejauhan. ”Beberapa hari ini kedaton menggelar acara. Jadi, nanti malam ramai lagi di sini. ”

Mesjid Raya di Ternate (Foto: http://bumi-nusantara.blogspot.com)
Kota Ternate, yang pernah rusuh itu, kini tampak rapi dan bersih. Memang di beberapa bagian sisi jalan ada pohon yang tumbang karena diterpa angin kencang tiga hari lalu. Tampak geliat ekonominya. Sebuah kawasan pusat perbelanjaan yang kami lewati tampak ramai. Sebuah mesjid raya yang megah dengan artsitektur khas timur tengah berdiri pas di bibir pantai. Waktu itu kami akan menuju ke Pelabuhan Gamalama. Pelabuhan itu agaknya mengambil nama sebuah gunung yang menjulang tinggi di pulau itu. Perjalanan dari bandar udara Sultan Babulla ke pelabuhan itu kira-kira 15 menit.

Pelabuhan Gamalama (foto: Denni)
Di pelabuhan itu puluhan speedboat berjejer di pantai menunggu penumpang. Ramai orang waktu itu. ”Kemana om?” tanya seorang laki-laki yang bertugas mendaftar nama penumpang.

”Sofifi, dia bos. Tulis saja namanya, Denni” ujar Iwan, yang ikut membantu mencarikan saya speedboat untuk menyebrang ke Sofifi. Dari Sofifi nanti saya akan ke Tobelo. Di pelabuhan kecil Sofifi seorang yang bernama Onge akan mengantar saya ke Tobelo.

Sofifi kini adalah ibukota baru Provinsi Maluku Utara sejak 4 Agustus 2010. Sofifi berada di Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore dan merupakan bagian dari poros Pulau Halmahera, di seberang Pulau Ternate.

Saya agak sedikit khawatir. Jangan-jangan ombak di laut kencang. Tapi, menurut orang-orang di pelabuhan itu, laut hari ini baik-baik saja. Sehingga bagus untuk melakukan penyeberangan. ”Sekarang laut todoh (tenang). Tiga hari lalu dia kencang,” ujar seorang lelaki di pelabuhan itu yang sempat saya kutip.

Di speedboat penumpang duduk bersesakan. Di samping saya ada seorang anak laki-laki kecil dengan ibunya yang berjilbab. Agaknya mereka itu orang Jawa. Saya ingat, anak dan ibu itu yang waktu di pesawat tadi duduk di seberang saya. Waktu di pesawat anak itu bicara terus.

Penumpang lain di speedboat itu laki-laki, mungkin asli orang Halmahera. Crew speedboat berjumlah tiga orang. Satu yang mengemudi, satu yang mengatur mesinnya dan satu yang bertindak semacam navigator. Aku menikmati perjalanan itu. Sebagai ’orang gunung’ berada di atas laut yang sedikit berombak tentu sesuatu yang menantang. Speedboat terus melaju membela ombak. Para penumpang speedboat itu agaknya lagi malas bicara sehingga yang terdengar hanya bunyi ombak yang dihamtam speedboat.

Sofifi (Foto: Wikipedia)
Sekira 45 menit perjalanan kami pun sampai di pelabuhan kecil Sofifi. Di dermaganya ramai para sopir mobil komersil menawarkan jasa angkutan. ”Ke mana, mas? Tobelo.” ujar mereka. Saya jawab, sudah ada yang menunggu saya untuk diantar Tobelo.

Tiba-tiba datang seorang laki-laki muda. ”Pak Denni, ya?”

”Ya, saya Denni.”

”Oh, mari, pak.”

Saya langsung tahu bahwa dia yang bernama Onge meskipun saya lupa menanyakan namanya. Dia juga tidak memperkenalkan namanya. Tas yang saya pikul langsung diambilnya dan dimasukan ke bagasi mobil. Tak ada istirahat sejenak. Kami langsung berangkat menuju ke Tobelo. Di mobil itu hanya saya, dia dan ada satu laki-laki muda yang menurut Onge ikut ketika mobil lain datang dari Tobelo tadi pagi.

Perjalanan memang melelahkan tapi menyenangkan menikmati pemandangan yang masih hijau. Pohon kelapa, cengkih, dan coklat tumbuh subur di tanah Halmahera ini. Sebuah wilayah, saya lupa namanya, tampak tanahnya berwarna merah. Kami juga melewati teluk Kao. ”Anehnya, teluk ini bernama Kao, tapi Kao itu masih jauh dari sini,” ujar Onge menjelaskan.

Di salah bagian jalan trans Halmahera tampak sebuah papan nama Perusahaan Tambang Nusa Halmahera Minerals yang bergerak di pertambangan emas. Perusahaan tambang ini merupakan perusahaan patungan antara Newcrest Mining Limited dan PT Aneka Tambang. Tapi dari jalan Trans Halmahera ini, lokasi pertambangan tersebut masih jauh masuk ke dalam.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam, kami singgah di sebuah rumah makan di bagian Malifut. Di situ saya makan ikan cakalang yang dimasak dengan saus rica-rica. ”Namanya ikang pampis, Pak,” kata pelayan rumah makan itu. Kurang lebih setengah jam kami singgah di rumah makan itu.

Kini, perjalanan dilanjutkan. Dari Malifut menuju ke Tobelo, perjalanan ditempuh kira-kira satu jam lebih lagi.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, kami pun tiba di Tobelo. Kota ini, tampak lebih maju dari beberapa wilayah yang kami lewati, termasuk Sofifi yang sudah menjadi ibu Kota Provinsi Maluku Utara. Salib-salib yang ditaruh di pinggir jalan tampak menghiasi beberapa desa di wilayah Tobelo ini. Gedung gerejanya lumayan bagus. Didominasi oleh denominasi Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH).

Di Tobelo saya dan tim dari Interfidei menginap di Villahermosa. Sebuah hotel kecil, yang menurut Andreas Harsono yang datang ke sini tahun 2005, adalah hotel para aktivis ”NGO.”

Menikmati Pluralitas Kultur di Halmahera Utara

Gereja di Tobelo (Foto: Denni)
Tobelo adalah sebuah kota kecil yang juga ibu Kota Kabupaten Halmahera Utara. Nuansa kristiani di kota ini sangat kentara. Menara-menara gereja yang menjulang tinggi menghiasi kota tersebut. Tobelo memang adalah pusat dari Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH). Gereja ini adalah buah penginjilan dari Utrech Zendings Verenigeeng (UZV) dari Belanda. Salah satu zendelingnya adalah Hendrijk van Dijken yang berkerja di Halmahera sejak tahun 1816. GMIH kemudian menjadi gereja yang berdiri sendiri pada 6 Juni 1949 dalam Sidang Proto Sinode yang bertempat di Tobelo.

Gereja di Tobelo pada tahun 1924 (foto: wikipedia)
Tobelo sebenarnya adalah salah satu suku di Halmahera Utara. Suku yang lain adalah Galela, Kao dan Jailolo. Situs resmi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Halmahera Utara (http://www.halmaherautara.com/) menuliskan, secara geografis, Kabupaten Halmahera Utara berada pada posisi kordinat 10,57'-20,0' lintang Utara dan 128,17'-128,18' bujur timur. Kabupaten ini terbentuk pada tanggal 31 Mei 2003 dengan ibukota Tobelo. Sekarang Halhamera Utara memiliki 22 kecamatan dan 260 desa. Sensus tahun 2006 menyebutkan jumlah penduduk kabupaten Halmahera Utara berjumlah 221.169 jiwa. Sekitar 75% penduduknya adalah petani dan nelayan. Luas wilayah kabupaten ini sekitar 24.983,32 km2 yang terdiri dari 19.536,02 km2 (78%) wilayah laut dan 5.447,30 km2 (22%) wilayah darat.

Ada ratusan pulau di kabupaten ini. Tercatat sekitar 115 pulau yang tersebar di laut Maluku dan laut Halmahera. Hampir setiap pulau memiliki keindahan alam yang khas. Pulau-pulau kecil dengan panorama pantai pasir putihnya, keindahan taman laut yang sangat indah dengan aneka ragam ikannya, keanekaragaman flora-fauna dan budaya serta situs-situs sejarah masa perang dunia II dapat dijumpai di daerah ini.

Berjalan-jalan di kabupaten ini kita akan menikmati indahnya laut, nyiur melambai-lambai seolah memanggil kita untuk menikmatinya. Pala, juga cengkih banyak sini. Kulinernya sangat kaya dengan macam-macam jenis ikan hasil tangkapan para nelayan.

Tobelo, sebagai ibu kota kabupaten memang tampak nuansa kristianinya. Tapi, secara keseluruhan di Halmahera Utara, pemeluk agama Islam juga banyak. Situs The Free Encyclopedia (http://en.wikipedia.org/) menyebutkan, umat Muslim dan Kristen telah hidup secara damai di kota Halmahera Utara sejak abad ke-16. Berjalan-jalan di pesisir pantai dari Galela ke Tabelo akan tampak desa-desa yang penduduknya Muslim dan Kristen saling bertetangga. Secara kultural, hidup damai antara dua komunitas ini mengikuti tradisi budaya lokal yang disebut ”Lamo Hibua”, yaitu semacam pakta antara umat Muslim dan Kristen untuk hidup bersama secara damai.

Sayang sekali, keindahan perdamaian antara komunitas muslim dengan kristen di Halmahera Utara pernah ternoda dengan kerusuhan yang menelan korban jiwa cukup banyak. Kerusuhan yang melibatkan simbol-simbol agama di Halmahera Utara terjadi pada tahun 1999. Jan Aritonang dalam bukunya ”Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia” (2004) menuliskan, kerusuhan tersebut terjadi dalam tiga babak. Babak pertama terjadi mulai 18 Agustus, babak kedua dimulai 24 Oktober dan babak ketiga terjadi 26 Desember tahun 1999. Kerusuhan ini melibatkan suku Makian yang mayoritas beragama Islam dengan suku Kao, Galela, Tobelo dan Jailolo yang mayoritas beragama Kristen. Korban jiwa selama kerusuhan tersebut diperkirakan mencapai 3000 jiwa, sementara secara keseluruhan di kepulaun Maluku, menurut sosiolog Universitas Indonesia yang berasal dari Galela, Thamrin Amal Tomagola, korban jiwa mencapai 8000 jiwa.

Ketika saya di sana, tokoh-tokoh agama dan masyarakat dari Halmahera Utara yang mengikuti kegiatan yang difasilitasi Dian/Interfidei, merefleksikan konflik tersebut sebagai masa kelam Halmahera Utara. Kini, sejarah kerusuhan ini memang tidak dilupakan sebagai pembelajaran bagi generasi muda, namun berangkat dari masa kelam itu, mereka berkomitmen untuk membangun kehidupan bersama secara baik. Hj.Umar Pono, tokoh pendidikan Halmahera Utara mengatakan, kerusuhan tersebut memang sangat disesali, sebab yang berkelahi itu meski berbeda agama tapi berasal dari satu keturunan, satu sejarah. ”Kami di sini, di Halmahera Utara ini, di Tobelo, Kao, Galela, Jailolo berasal dari satu keturunan. Jadi satu keluarga. Namun sangat disesali kerusuhan yang terjadi beberapa tahun lalu itu. Peristiwa ini mungkin dipicu oleh orang-orang tertentu untuk mendapatkan popularitas demi kepentingan politik, sehingga terjadi kerusuhan. Sebarnya tidak ada permusuhan antara orang-orang Islam dan Kristen di sini. Sebab kita ini satu suku. Jangan lagi terulang kerusuhan semacam itu,” terang Hj. Pono.

Halmahera Utara memang majemuk dari segi agama dan suku. Orang-orang keturunan Tionghoa yang tinggal di Tobelo, meski pada waktu kerusuhan banyak yang ikut mengungsi ke Manado dan Minahasa, Sulawesi Utara, tapi sebagian masih tetap bertahan di sana. Suatu malam, kami (saya dan tim Dian/Interfidei) pergi ke sebuah rumah makan yang pemiliknya keturuan Tionghoa-Minahasa. Rumah makan itu bernama ”Orion”. Kami pesan ikan goreng. ”Nama ikan ini, sikuda,” ujar pelayan rumah makan itu. Pernah juga suatu kali, di Gorua Selatan, seorang ibu berkata kepada saya, ”Pisang ini depe nama pisang Manado.” Saya langsung teringat dengan pisang Ambon di Minahasa. Segera saya menulis status di facebook: ” Di Minahasa ada 'pisang ambon', di Tobelo, Halmahera ada 'pisang Manado.” Tentu, ini adalah hasil dari sebuah perjumpaan antara kultur.

Di Tobelo, kata orang sana banyak orang Manado. Di pusat kota Tobelo ada toko handphone yang bernama ”Manado Seluler”. Di ruas jalan Tobelo menuju ke Galela ada juga rumah makan Tinoor yang menyediakan menu khas Minahasa, seperti Tinoransak, RW dan Tinutuan. Bahkan, di ruas jalan yang sama ada orang-orang Leilem, Minahasa yang berprofesi sebagai tukang kayu. ”Dorang di sini so lama. Dorang biasa bikin lemari, kursi deng barang-barang meubel yang lain,” ujar sopir yang mengantar kami ketika jalan-jalan mengelilingi Tobelo.

Tobelo dan juga kabupaten Halmahera Utara pada umumnya kini sedang menatap masa depan hidup bersamanya. Ada keinginan untuk melakukan sebuah transformasi pasca peristiwa kelam beberapa tahun lalu. Di Tobelo kini berdiri Universitas Halmahera (UNIERA) milik GMIH. Sejarah UNIERA seperti yang tercantum pada situs resmi UNIERA (sumber: http://www.uniera.ac.id/ ) disebutkan bermula dari Akademi Teologi yang didirikan pada 1 September 1967 di Ternate oleh Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH). Perkuliahan perdana dimulai 28 Januari 1968 dan momen inilah yang kemudian diperingati sebagai hari ulang tahun lembaga. Awalnya, Akademi Teologi menerima para lulusan SMP atau yang sederajat untuk dididik menjadi tenaga pelayan di lingkungan gereja. Pada tahun 1985, Akademi Teologi berubah menjadi Sekolah Tinggi Teologi (STT) GMIH. Rencananya merubah STT ini menjadi univesitas diputuskan pada Sidang Sinode GMIH XXIII tahun 1992 di Daruba-Morotai. Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Halmahera sebagai penyelenggaran pada tahun 2006 mulai merancang usaha-usaha pengembangan STT GMIH menjadi universitas. Usaha itu kemudian mendapatkan hasil dengan dikeluarkannya Surat Keputusan bernomor 200/D/O/2008 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan Program-Program Studi Baru dan Perubahan Bentuk STT GMIH menjadi Universitas Halmahera dari Menteri Pendidikan Nasional pada tanggal 22 September 2008.

Universitas Halmahera memulai kuliah perdana pada 1 September 2008 sedangkan acara peresmian pembukaan universitas dilaksanakan pada 11 Oktober 2008 oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI yang diwakili Kopertis Wilayah XII.

Berdamai Demi Masa Depan

Bersama menatap masa depan. (Foto: Denni)
Kedatangan saya ke Tobelo bersama-sama dengan Dian/Interfidei dari Yogyakarta adalah untuk melaksanakan kegiatan bertajuk Studi Bersama Agama-agama “Peran Agama dalam Pembangunan Masyarakat” kerjasama Universitas Halmahera, Nadhlatul Ulama Cab. Halmahera Utara yang berlangsung dari dari tanggal 4 – 7 April 2011. Kegiatannya diselenggarakan di kantor desa Gorua Selatan. Hadir dalam kegiatan tersebut sejumlah tokoh agama, baik dari Islam maupun dari Kristen serta tokoh masyarakat dari tiga wilayah di Kabupaten Halmahera Utara, yaitu Tobelo, Kao dan Galela.

Elga Sarapung, Direktur Dian/Dian Interfidei memfasilitasi peserta untuk menggagas aksi bersama demi masa depan Halmahera Utara (Foto: Denni)
Selama empat hari peserta aktif berdiskusi mengenai beberapa persoalan pasca kerusuhan di daerah itu. Elga Sarapung dari Dian/Inrerfidei dan KH. Dian Nafi', dari Pondok Pesantren Al Muayyad, Solo menjadi fasilitator dari kegiatan itu. “Maksud dari kegiatan ini adalah untuk memfasilitasi peserta dalam usaha merancang sebuah kerja bersama lintas agama dalam merespon berbagai persoalan aktual di Halmahera Utara,” ujar Elga Sarapung yang juga direktur Dian/Interfidei.

Peserta juga berdialog dalam keterbukaan soal prasangka-prasangka yang ada selama ini. Mereka dengan kejujurannya mengungkap apa yang selama ini dicurigai, dianggap tidak baik dan juga yang baik. Kemudian ditambah dengan acara kunjungan ke gereja bagi yang muslim, dan ke mesjid atau pesantren bagi yang Kristen. “Setelah berdialog dan juga berkunjung ke Mesjid atau ke komunitas muslim, kesimpulan yang kami peroleh, bahwa banyak hal yang kami tidak tahu kini menjadi tahu dan dengannya membantu kami untuk menghilangkan prasangka-prasangka selama ini dari kami yang Kristen,” ujar Pdt. Manasye Ngongira salah satu tokoh Kristen Tobelo.

Haji Mansyur Yoba, imam Desa Gorua Selatan yang juga sebagai peserta dalam kegiatan tersebut, mengatakan kegiatan ini sangat bagus. Sebab, kegiatan ini memberi ruang bagi kami yang berbeda agama tapi hidup bersama di Halmahera Utara untuk bisa secara terbuka berbicara mengenai hal-hal yang selama ini kami anggap tabu untuk dibicarakan. “Keyakinan itu kan sifatnya pribadi. Jadi, mestinya itu tidak membuat kita yang berbeda agama saling berbenturan,” ujar Haji Mansyur.

Kegiatan ini kemudian membuahkan sejumlah komitmen dari peserta untuk melakukan aksi bersama lintas agama bagi Halmahera Utara dengan berbagai persoalannya. “Diharapkan komitmen ini tidak hanya sampai di kegiatan ini. Namun, mudah-mudahan kita bisa merealisasikan komitmen bersama itu dalam aksi bersama demi masa depan Halmahera Utara,” tandas Elga Sarapung.

Pulang ke Minahasa Membawa Sejuta Makna

Kegiatan bersama Dian/Interfidei berakhir pada tanggal 7 April dengan diselenggarannya seminar di Kampus UNIERA. Saya dan tim harus pulang pada keesokan harinya tanggal 8 April. Semula, direncanakan kami akan pulang melewati Bandar Udara Ternate dengan perjalanan darat selama 4 jam. Tapi, ternyata di Bandara Udara Galela ada pesawat yang melayani rute penerbangan Galela-Ternate. Di kabupaten Halmahera Utara ini ada dua bandara, yaitu di Kao dan di Galela. Tapi dari Tobelo menuju ke bandara Kao waktu perjalanan sekitar 2 jam, sementara ke Galela hanya sekitar 1 jam. Agar lebih cepat, kami memilih melalui Bandar Udara Gamar Malamo, Galela.

Waktu perjalanan ke Ternate dengan pesawat jenis Dornier 328 milik Express Air berpenumpang 33 itu hanya sekitar 30 menit. Kami tiba di Ternate sekitar pukul 12.00 WIT. Tim Dian/Interfidei, sesuai jadwal keberangkan lebih dulu dari saya. Mereka terlebih dahulu akan ke Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Sedangkan saya sesuai waktu penerbangan berangkat pukul 13.30 WIT langsung ke Manado. Tapi, pesawat berbaling-baling milik maskapai penerbangan Wings/Lion yang akan saya tumpangi mengalami keterlambatan dari Manado sekitar 2 jam lebih. Saya nanti berangkat sekitar pukul 16.15 WITA.

Di ruang tunggu Bandara Sultan Babullah Ternate saya merenungi kenangan selama di Halmahera Utara, khususnya di Tobelo. Betapa, sebuah wilayah kepulauan yang kaya dengan sumber daya alam, beratus-ratus pulau, dan beragam suku itu, ketika mereflesikan sejarah kelam tentang tanah pijakan mereka yang pernah porak-poranda akibat kerusuhan, akhirnya harus kembali dalam kesadaran “ke-Halmahera-an” mereka. Itu tampak jelas ketika mereka yang dulunya bermusuhan – mungkin anak, suami atau istri mereka adalah korban dari kerusuhan itu – duduk bersama dalam keterbukaan untuk bicara masa depan hidup, tanah pijakan bersama akhirnya menjadi penting untuk direfleksikan kembali. “Kitorang samua satu keturunan, kitorang basudara. Kiapa musti bakalae?”, ungkapan itu setidaknya mencerminkan kesadaran hidup bersama dalam kepelbagaian tapi diikat oleh sejarah dan ingatan kolektif yang sama.

KH. Haji Dian Nafi', sudah beberapa kali ke Tobelo. (Foto: Denni)
Saya ingat KH. Dian Nafi bicara soal narasi kolektif di hadapan ratusan mahasiswa UNIERA di Tobelo dalam rangkaian kegiatan kami di sana. Narasi kolektif menjadi penting digali dan dikembangkan ketika masyarakat kita sering dijadikan objek demi kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi para elit lokal atau Jakarta (sebagai pusat kekuasaan NKRI). Tanah pijakan Halmahera, dengan kehidupan yang bertumpuh pada kekayaan alam di darat dan laut, dengan sejarah dan kebudayaannya sebagai orang Halmahera, barangkali bisa menjadi narasi kolektif masyarakat Halmahera Utara untuk menatap masa depannya.

Sambil menunggu pesawat datang dari Manado, masih di ruang tunggu itu, saya teringat Minahasa, di sana kami juga sedang berbicara tentang narasi kolektif sebagai orang-orang Minahasa. Dan, kami memang punya itu. Tapi, “apa narasi kolektif Indonesia, sebagai sebuah nation state?” Ah, saya belum atau mungkin tidak akan menemukan sama sekali narasi kolektifnya. Sebab, sejarah negara ini terlalu politis, dogmatis dan sentralistik! Mudah-mudahan saya tidak keliru merenung.

Tobelo-Ternate-Minahasa, April 2011

0 komentar: