Sabtu, 14 Desember 2013

Kaum Tua dan Kaum Muda Minahasa


I
Sering terdengar dalam forum-forum diskusi yang bertemakan kebudayaan Minahasa, baik dia intelektual, budayawan maupun aktivis yang sudah sepuh atau usianya sudah mendekat apa yang disebut ”kaum tua” berkata kepada kaum muda, ”Kami sudah tua, sekarang saatnya tongkat estefet diserahkan kepada kaum muda.” Atau juga sering terdengar kalimat dari ”kaum tua” ini, ”Apa yang kita lakukan sekarang tentu adalah untuk generasi di masa depan.”

Terdengar sungguh baik. Bahwa, persoalan generasi di masa depan, adalah juga persoalan generasi kemarin dan hari ini. Para intelektual dan budayawan tua ini berbicara seolah-olah apa yang mereka lakukan, termasuk pendekatannya kemarin, hasilnya untuk kelangsungan kebudayaan Minahasa hari depan. Termasuk di dalammnya, tentang konteks dan cara pikir kaum muda di hari ini, yang akan menjadi generasi tua di masa depan dan mereka-mereka yang akan menjadi kaum muda dimasa depan itu akan menikmati hasil capain mereka.

Namun, kaum tua mereka - di masa kaum tua ini masih sebagai kaum muda - mungkin juga punya pandangan begitu, bahwa mereka telah melakukan dan menghasilkan sesuatu untuk dinikmati generasi sekarang ini. Tapi, apa yang terjadi? Para kaum tua itu hari ini masih sibuk juga memikirkan apa yang akan mereka tinggalkan untuk generasi mendatang. Para kaum tua ini tidak sedang menikmati hasil sambil berpangku kaku peninggalan kaum tua mereka terdahulu. Mereka masih harus melakukan sesuatu, berpikir keras, masih hadir dalam diskusi-diskusi, menulis, mengorganisir kaum muda, memberi ceramah kebudayaan kepada yang dianggap muda. Pokoknya, mereka masih dibebankan dengan segala persoalan hari ini. Hal ini sebetulnya sebuah proses dan dinamika biasa dalam berkebudayaan.

Namun, apa yang kita sering sebut ”kaum tua” dan ”kaum muda”, perlu dibedakan dengan, ketika digunakan istilah ”generasi masa kini” dan ”generasai masa lampau”. Kaum tua yang masih eksis hingga hari ini dan kaum muda yang sedang semangat-semangatnya sebetulnya keduanya masih tergolong ”generasi masa kini”. Keduanya masih ada dan mengada. Sementara apa yang kita sebut ”kaum tua” dan ”kaum muda”, semestinya tidak hanya menunjuk pada perbedaan usia dan juga fisik tapi terutama pada cara dan orientasi berpikir. Keduanya adalah generasi masa kini. Generasi masa lampau mungkin sudah hidup sejak awal abad 20, sementara generasi masa kini terbanyak mungkin hidup sejak kira-kira tahun 1950an. Itu kalau kita ukur tarikan waktunya mundur dari masa-masa awal abad 21 ini. Yang kaum tua sudah punya pengalaman hidup yang panjang. Mereka selalu bercerita, ”Om so pernah rasa kamari tu masa penjajahan. Kong masa pergolakan Permesta, rezim orde baru, sampe sekarang.” Kaum muda berkata, ”Ya, kasiang torang da tahu kamari orang tu Presiden so Soeharto, masa orde baru, kong datang di masa reformasi sampe sekarang.”

Persoalan yang dihadapi oleh kaum tua itu semasa mereka masih segar bugar, masih aktif di organisasi-organisasi berlebel kebudayaan Minahasa tentu tidak lagi sama dengan yang dihadapi oleh kaum muda hari ini. Perubahan adalah keniscayaan yang bersamaan dengannya adalah bentuk-bentuk tantangan, yang selalu mendorong lahirnya inovasi dan kreasi kebudayaan.

II
Generasi Minahasa di akhir abad 19, berhadapan dengan kondisi di mana penjajahan kolonial begitu kuat. Generasi awal abad 20 sampai jelang pertengahan bergulat dengan perjuangan bagaimana bisa bersama-sama dengan bangsa-bangsa lain di nusantara untuk memerdekakan diri. Generasi pertengahan abad 20 ada dalam situasi perjuangan ideologi melalui organisasi politik bernafasan keminahasaan maupun partai-partai politik. Berikut adalah masa pergolakan Permesta. Ada generasi di abad 19 yang masih melewati masa awal abad 20, masih aktif dalam perjuangan, begitu juga masih ada generasi awal abad 20 yang hingga masa pertengahan abad 20 dan seterus yang aktif dalam kerja-kerja kebudayaan tersebut.

Di masa kini, kaum muda masih sering bertemu atau bergiat bersama-sama dengan generasi yang sudah aktif sejak pertengahan hingga abad 20. Generasi yang lahir tahun 1970-an, pada akhir abad 20 dan awal abad 21 ini masih sering mendengar cerita dari”kaum tua” ini tentang idealisme mereka semasa menjadi pegiat budaya, aktif di dunia politik, di bidang seni-sastra dan lain sebagainya di abad yang baru lewat. Sebagai bagian dari berkebudayaan, ini tentu sesuatu yang baik sekali.

Zaman terus bergerak, usia bertambah, masalah-masalah kebudayaan yang dihadapi di satu pihak adalah akumulasi dari persoalan yang terjadi di masa-masa sebelumnya, bertumpuk dan kemudian mewujud dalam persoalan yang seolah baru sama sekali, tapi yang lain memang adalah persoalan yang benar-benar baru.

Permasalahan-permasalahan kebudayaan ini tentu menjadi bagian dari kebudayaan itu sendiri. Itu sebuah keniscayaan. Satu hal yang sudah pasti, bahwa generasi ”hari ini” kemudian ditantang oleh, apakah persoalan yang terakumulasi itu atau yang sama sekali baru tersebut. Mereka melakukan refleksi, mengusahakan terobosan-terobosan, dan melakukan usaha-usaha yang melampaui apa yang dulu dilakukan oleh kaum tua untuk menjawabnya. Nah, bagaimanapun situasi kebudayaan hari ini tanggung jawab terbesarnya ada pada generasi hari ini, yang di dalamnya kebanyakan kaum muda dan selebihnya adalah kaum tua.  Kaum muda inilah yang harus tegas untuk mengatakan, bahwa kamilah yang harus bertanggungjawab dengan eksistensi bangsa Minahasa hari ini! Karena kami masih akan hidup lama dengan bangsa ini. Kaum muda inilah yang harus melakukan kerja-kerja kebudayaan untuk merespon dan mengatasi berbagai persoalan masa kini, yang termasuk di dalamnya mungkin adalah persoalan yang ditinggalkan oleh kaum tua, karena kekeliruan atau karena kegagalan mereka di masa mereka masih sebagai kaum muda.

Karena tanggungjawab bangsa ini tanggung jawab terbesarnya ada di tangan  kaum muda, maka mereka butuh cara pikir baru. Percuma menyandang gelar ”generasi baru” kalau cara pikirnya mengekor pada cara pikir kaum tua. Pendekatan maupun warisan-warisan pemikiran kaum tua adalah referensi dan itupun harus dipahami secara kritis, tidak boleh diterima secara mentah-mentah. Yang terutama adalah bagaimana kaum muda Minahasa hari ini merekonstruksi sejarah pemikiran, pendekatan masa lampau, dan kemudian terutama adalah merumuskan pendekatan atau cara berpikir yang baru di ”hari ini” untuk merespon persoalan-persoalan kebudayaan aktual.

III
Pendapat umum mengatakan, apa yang ada hari ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan masa lampau, yang semuanya mengarah ke masa depan. ”Masa kini” adalah ”masa depan” dari ”masa lampau”. Begitu seterusnya. Generasi “masa lampau” adalah generasi ”masa kini” di masa lampau itu. Generasi “masa kini” adalah generasi “masa lampau” di masa depan. Artinya, setiap konteks waktu ada generasinya, dan generasi inilah yang bergulat dan bertanggung jawab dengan kemasakiniannya: dengan segala persoalan kebudayaanya.

Persoalan kebudayaan masa kini, jelas adalah tanggung jawab dari kaum muda, intelektual, budayawan, aktivis, dan semua yang masih eksis pada masa ini. Kaum muda Minahasa butuh, bukan cuma semangat yang menggebu-gebu dan sering membabi-buta, melaikan pengetahuan, kesadaran dan tentu komitmen serta keberanian dalam usahanya merespon situasi kebudayaan. Karena tanggung jawab terbesarnya ada pada kaum muda, maka kaum muda Minahasa masa kini, perlu tahu dan memahami mitologi Karema-Lumimuut-Toar, apa watu tumotowa dan waruga itu, sejarah bangsanya, dan lain sebagainya. Kaum ini harus berpijak pada akar.Tapi, apakah sekadar akar yang “mati”? Hanya sebatas cerita yang indah didengar? Tentu tidak! Akar itu harus bertumbuh. Harus diinterpretasi agar dia mengalirkan air-air kehidupan, semangat baru.

Sejarah mengajarkan kepada kaum muda Minahasa hari tentang pengetahuan kebudayaan. Ada pengetahuan tentang bagaimana cara berkebudayaan. Itu yang penting. Kaum muda memilih jalan berbeda dengan jalan yang ditempuh kaum tua, sah-sah saja, dan bahkan itu yang harus dilakukan. Tapi, nilai serta visi dalam melalui jalan, itu yang diperlukan dalam merekonstruksi sejarah masa lampau dan dalam menginterpretasi warisan-warisan leluhur, termasuk melakukan kreasi dan inovasi pemikiran untuk menjawab persoalan masa kini.

Cara berpikir kaum tua yang menghasilkan rumusan-rumuan pemikiran dan pengetahuan tentang bagaimana melepaskan diri dari kolonial di akhir abad 19 dan awal 20 yang perlu dipelajari adalah semangat dan sistem nilai yang ada. Kita tidak perlu mengikuti, misalnya jalan mereka untuk beroerientasi hanya pada politik saja, perjuangan fisik saja. Sebab, situasi masa kini sudah jauh berbeda. Begitu pula dengan masa orde lama dan orde baru, kaum tua kita ada yang harus mengambil langkah praktis, menerima dengan sukarela sentralisme politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan ke Jakarta. Kaum muda Minahasa masa kini sudah harus berbelok dari jalan itu, menemukan jalan alternatif atau bahkan mengusahakan jalan baru. Kalau kaum tua Minahasa di masa lampau itu terpesona dengan investasi ekonomi dari asing sehingga sumber daya alam dieksploitasi, tata sosial dan budaya ikut mengalami degradasi yang katanya demi modernisasi, maka kaum muda Minahasa hari ini perlu memikirkan alternatif-alternatif lain dalam hal ekonomi dan kemajuan tersebut. Kalau dulu, kaum tua Minahasa tidak kritis atau bahkan menjadi bagian dari pembelokan dan pemanipulasian sejarah bangsa Minahasa atas nama nasionalisme Indonesia, maka kaum muda di masa kini perlu menulis ulang sejarah Minahasa.

Deskripsi paragraf di atas bermaksud memberi gambaran tentang masalah yang ada pada ”kaum tua.” Dan, fakta-fakta itu sungguh tidak membatalkan keminahasaan mereka. Tapi, biarlah itu menjadi bagian dari masa lampau bangsa ini. Sekarang ini, terpenting bagi kaum muda Minahasa adalah keberanian dan konsistensinya menempuh  jalan yang dipilih serta komitmennya pada usaha menjaga dan memeliharan agar bangsa Minahasa dapat terus berkembang.

Kaum muda Minahasa masa kini tidak perlu menerima ”tongkat estafet” dari kaum tua, sebab bisa saja ”tongkat estafet” itu sudah tidak diperlukan di jalan yang dipilih sekarang ini. Kaum muda Minahasa membutuhkan cara baru, dan perangkat baru, tapi sistem nilainya  berasal dari akar kebudayaan Minahasa dalam usahanya melakukan gerakan kebudayaan di masa kini.


Talete,29 Juli 2013

0 komentar: