Minggu, 15 Agustus 2010

Teologi Sejarah: Teologi yang Berpihak Pada Sejarah Masyarakat Lokal

(sebuah catatan awal)

Menyebut teologi sejarah, pertama-tama saya tidak bermaksud untuk mengkaji pendekatan studi sejarah gereja atau kajian terhadap sejarah gereja itu sendiri seperti lazimnya di sekolah-sekolah teologi. Tapi, teologi sejarah ini menyangkut perspektif teologis terhadap sejarah kehidupan rakyat yang mengalami ketertindasan, keterpinggiran dan diskriminasi di bidang politik, ekonomi, budaya dan agama. Sederhananya, dengan menggunakan kata “teologi” di depan kata “sejarah”, maka “teologi sejarah” berbicara bagaimana kehendak Allah yang mengamanatkan keadilan, kebenaran dan pembebasan memberi perspektif bagi sejarah. Artinya, studi sejarah hanyalah alat untuk mendapatkan informasi atau pemetaan mengenai masa lalu yang pada banyak hal merupakan akar persoalan dalam kekinian. Dari hasil studi sejarah itulah maka kerja berteologi diarahkan pada usaha pemaknaan kehendak Allah yang mengamanatkan keadilan, kesetaraan, dan pembebasan bagi rakyat yang menderita. Dengannya, kerja berteologi tidak hanya mengkhotbatkan teks pada konteks, tapi ikut mengubah dan berpihak pada penderitaan rakyat.

Sesungguhnya, situasi hidup manusia hari ini adalah dialektika antara kelampauan sejarah, dengan cita-citanya untuk hidup di keakanan. Maka, teologi sejarah memberi perspektif rohaniah atas proses dialektika itu. Sejarah, kata para bijak adalah milik pemenang. Penguasa adalah pemegang kendali sejarah sehingga sejarah tak selamanya benar menurut semua golongan manusia. Sebab, dalam hal wacana dan doktrin, sejarah bisa dipakai oleh pemenang untuk membius rakyat dalam suatu sikap ketertundukkan. Maka, tugas teologi sejarah adalah membebaskan manusia secara rohani dan jasmani dari doktrin dan wacana sejarah yang dikonstruksi rezim tersebut.

Teologi sejarah adalah refleksi teologis atas sejarah kehidupan manusia dalam segala dimensinya. Dalam konteks yang rill hari ini, kita berhadapan dengan berbagai persoalan. Politik semakin berorintasi pada kekuasaan kelompok (mayoritas). Ekonomi semakin kapitalistik, dan dengannya semakin membuat jurang yang lebar antara yang miskin dengan yang kaya. Alampun semakin hancur. Budaya-budaya lokal hampir kalah berhadapan dengan globalisasi yang berkecenderungan membuat penyeragaman. Dalam hal beragama, manusia Indonesia semakin tampak saleh, tapi justru orientasinya ke dalam dan seolah-olah menganggap dinamika kehidupan di luarnya atau yang lain adalah kafir dan sesat sehingga harus diperangi.

Saya memahami yang kita disebut sejarah itu dalam dua hal. 1). Sejarah sebagai kenyataan objektif yang di dalamnya berisi peristiwa, waktu, pelaku dan nilai-nilainya. 2). Sejarah pemaknaan atau interpretasi terhadap sejarah yang objektif tersebut. Contoh sejarah sebagai kenyataan objektif adalah apa yang menjadi kehidupan para leluhur kita di masa silam yang jejak-jejaknya bisa kita lihat dari tulisan, artefak, dll yang merupakan hasil karya para leluhur kita. Contoh sejarah pemaknaan terhadap sejarah objektif itu adalah dokumen-dokumen berupa laporan atau tulisan-tulisan dan artefak-artefak lainnya yang dikonstruksi oleh kolonial, yang dalam studi sejarah justru sering dijadikan sebagai acuan data. Atau seperti ketika Soekarno mengatakan bahwa sejarah Indonesia telah dimulai sejak zaman Majapahit. Padahal sejarah objektifnya menegaskan bahwa sebelum negara ini berdiri, masing-masing bangsa di nusantara memiliki sejarahnya masing-masing. Ini menurut saya sebuah penyimpangan terhadap sejarah objektif. Baik para kolonial maupun Soekarno misalnya, menurut saya sama-sama telah membiaskan sejarah objektif yang sebenarnya menjadi rujukan identitas kita sekarang ini. Indonesia telah dibangun dari penyimpangan terhadap sejarah objektif bangsa-bangsa di nusantara ini.

Studi sejarah secara konvensional bermaksud merekonstruksi fakta-fakta masa lalu untuk mendapatkan suatu gambaran atau sketsa yang denganya kita mendapatkan makna atau nilai. Penggalian makna terhadap sejarah itulah yang disebut dengan interpretasi sejarah. Dalam proses ini, ilmu-ilmu sosial, antropologi, politik, dan lain-lain penting untuk digunakan sebagai alat bantu dalam usaha interpretasi tersebut. Proses ini bersifat objektif dan subjektif. Bersifat objektif karena sebagai studi ilmiah, studi sejarah membutuhkan objek studi, kekritisan, metodologi, koherensi dan alat-alat bukti. Tapi dalam hal pemaknaan, subjek sebagai penafsir memegang peranan penting. Subjek yang berdiri dalam kekinian, tentu dengan subjektivitasnya memiliki kepentingan atau maksud atas hasil interpretasinya.

Sejarah sebuah negara, saya kira memang tidak bisa dipisahkan dengan proses perkembangan politik, ekonomi dan budaya global. Namun soalnya lokalitas kita sering tenggelam dalam pengkonstruksian sejarah nasional ketika negara harus memperkokoh bangunannya ketika berhadapan dengan ekspansi politik dan ekonomi global. Saya belum tahu apakah itu proses alamiah atau bentukkan kekuasaan. Namun yang jelas, kepentingan politik nasional dewasa ini telah mengorbankan kesadaran lokalitas. Ketika ekspansi ekonomi-politik global datang menyerbu kembali dalam manisnya doktrin dan wacana kesejahteraan, masyarakat lokal menjadi gagap dan shock. Soalnya lagi, negara lemah, karena lembaga politik besar ini dibangun dari penyimpangan-penyimpangan terhadap sejarah objektif lokal di masa lalu itu.

Kenyataan-kenyataan ini membutuhkan sebuah teologi yang memberi perspektif pembebasan atas penindasan, diskriminasi dan marginalisasi terhadap rakyat yang hidup melintasi ruang dan waktu (sejarah) dalam konteks Indonesia. Pemahaman saya bahwa masalah-masalah yang timbul sekarang ini pada banyak hal diakibatkan oleh tercabutnya masyarakat lokal pada identitasnya. Hal ini merupakan dampak dari keberhasilan politik hegemoni negara yang membuat rakyat lokal lupa pada sejarahnya, sehingga dia juga lupa siapa dirinya. Setelah kolonialisme hampir berhasil meluluhlantakan masyarakat lokal, persoalan berikutnya adalah politik penunggalan oleh rezim untuk kepentingan ”kokohnya” sebuah abstraksi yang bernama ”Indonesia”. Indonesia sebagai negara, oleh yang memenangkan perebutan kekuasaan menjalankan politik kontrol untuk mengendalikan jiwa dan raga rakyat. Politik kontrol tersebut melalui usaha penunggalan atau sentralisasi sejarah.

Sehingga, paradigma pendidikan teologi di sekolah-sekolah teologi dan juga rumusan-rumusan teologis gereja-gereja dalam konteks Indonesia menurut saya perlu untuk memberi perspektif yang baru dan lebih berani dalam mendekonstruksi sejarah Indonesia. Paradigma teologi kontekstual memang telah berani secara terang-terangan mengkritik warisan teologi gereja Barat yang bercorak kolonial. Teologi gereja-gereja dalam hal wacana juga telah memberi perhatian yang besar terhadap masalah-masalah diskriminasi terhadap perempuan. Teologi yang memberi suasana yang dialogis dalam perjumpaan agama-agama juga sudah dan sedang diusahakan. Namun, saya belum melihat adanya sebuah rumusan teologis yang tegas dan berani berpihak pada korban kriminalisasi aspirasi politik oleh negara. Belum juga tampak bagaimana sikap teologis gereja pada penderitaan rakyat akibat korban marginalisasi akibat kepentingan ekonomi global yang berselingkuh dengan negara. Berikut, belum tampak bagaimana refleksi dan aksi teologis gereja yang bersama-sama dengan masyarakat lokal merekonstruksi sejarahnya untuk menemukan jati diri atau identitas yang khas lokal. Pendek kata belum ada atau belum tersusun secara baik sebuah teologi yang berpihak pada sejarah kehidupan rakyat lokal. Ini bisa saja karena karena gereja-gerjea di Indonesia belum merdeka dari kungkungan doktrin yang dibangun oleh penguasa negara ini. Malah ketika sektarinisme, primodialisme dan fundamentalis agama merebak, rumusan teologis gereja kebanyakan berlindung di balik sayap garuda. Dan, rumusan teologis gereja-gereja kita pun akhirnya semakin memperkuat mitos konstruksi para rezim tersebut.

Rumusan teologis atau paradigma berteologi yang berpihak kepada sejarah masyarakat lokal sangat penting dan mendesak, sebab selain karena kondisi objektifnya memperlihatkan sebuah ”kekacauan”, tapi juga teks-teks alkitab yang ditulis di masa lampau itu memperlihatkan nilai dan semangat rekonstruksi atas sejarah lokalitas (dalam hal ini bangsa Israel). Hal ini merupakan respon terhadap kondisi kehidupan yang berada dalam dominasi dan hegemoni politik yang menjajah (misalnya ketika rakyat Israel Raya berada di Babel dan Asyur sebagai buangan). Ini memberi pesan kepada gereja saat ini, bahwa rekonstruksi terhadap sejarah asal usul bangsa-bangsa di nusantara ini sangatlah penting untuk membangun kembali identitas yang hampir hancur akibat kolonialisme dan hegemoni politik rezim-rezim republik ini. Yesus yang secara historis telah hadir dengan gerakan spiritualnya, juga berada dalam konteks dominasi dan hegemoni politik Imperium Roma. Dalam konteks inilah Yesus hadir dengan pemikiran-pemikiran dan aksi-aksi-Nya yang berpihak pada penderitaan. Dalam refleksi kita, Injil bukanlah istilah suci tanpa makna. Injil adalah nilai dan spirit yang membebaskan dan memerdekakan. Gereja yang berpijak pada dasar itu, memiliki kewajiban untuk mengusahakan pembelaan terhadap rakyat yang menderita karena ketidakadilan politik dan ekonomi yang dilakukan oleh negara. Berikut gereja juga wajib bersama-sama dengan masyarakat lokal yang bersoal dengan krisis identitas setelah sejarah dan kebudayaannya dipaksa menjadi seragam dengan pusat atau dengan yang mayoritas. Ini semua bisa dilakukan ketika gereja telah memiliki kesadaran atas penyimpangan-penyimpangan sejarah yang dilakukan oleh penguasa ketika mengkonstruksi negara ini. Maka, teologi sejarah sebagai paradigma atau pendekatan berteologi merefleksikan keberpihakan Allah terhadap manusia-manusia yang menderita dalam sejarah politik, ekonomi dan budayanya.

Tomohon, 4 Juli 2010

0 komentar: