Minggu, 15 Agustus 2010

Vuvuzela di Piala Dunia Menggugat Hegemoni Kebudayaan

(Fri 18 Jun 2010)
tulisan ini dimuat di harian Jurnal Nasional edisi Jumat, 18 Juni 2010 (http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=134606&pagecomment=1)


BUNYINYA seperti terompet biasa. Begitu serentak dibunyikan oleh ribuan orang, menjadi bising. Seperti suara sekawanan lebah. Vuvuzela, begitu nama alat sejenis terompet yang terbuat dari plastik yang ikut meramaikan ajang Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan (Afsel). Vuvuzela kini menjadi ciri khas supporter sepak bola Afsel. Kontroversi kebisingan pun ramai dibicarakan.

Melarang vuvuzela, mungkin hampir sama dengan membatalkan Piala Dunia diselenggarakan di negara yang disebut Nelson Mandela sebagai “negeri pelangi” itu. Sebab, vuvuzela adalah bagian penting dari budaya sepak bola Afsel.

Vuvuzela telah lama menjadi bagian sepakbola negara yang punya sejarah diskriminasi ras itu. Namun, vuvuzela naik daun mungkin sejak Piala Konfederasi dihelat tahun 2009. Sejak saat itu pula vuvuzela menjadi kontroversi karena kebisingan yang mengganggu pendengaran.

Meski sempat ditolak, namun vuvuzela tetap bisa menjadi peramai di stadion-stadion tempat pelaksanaan pertandingan Piala Dunia di Afsel. FIFA membela vuvuzela. Alasan pembelaan itu, seperti dikemukakan Presiden FIFA Sepp Blatter, vuvuzela adalah ikon sepak bola Afsel.

Juru bicara panitia penyelenggara Piala Dunia 2010, Rich Mkhondo menegaskan, vuvuzela tidak akan pernah dilarang. Semua orang di dunia menyukai vuvuzela. Hanya sebagian kecil yang menentang. “Tidak pernah ada pemikiran panitia melarang vuvuzela selama turnamen."

Vuvuzela adalah kebudayaan Afsel. Ini bentuk ekspresi kebudayaan warga Afsel dalam meramaikan ajang akbar Piala Dunia yang diselenggarakan di negara mereka. "Lihatlah vuvuzela sebagai kebudayaan Afsel dan cara mereka memeriahkan Piala Dunia 2010. Tolong hormati vuvuzela sebagaimana anda menghormati budaya kami," kata Mkhondo.

Begitulah ketika vuvuzela bagian dari kebudayaan Afsel bertemu kebudayaan lain di lapangan hijau. Ekspresi kebudayaan, tentu tak tak lepas dari konteks sosial, politik, juga spiritualitas pengungkapnya. Kontroversi kehadiran vuvuzela di Piala Dunia tahun ini, sepertinya merepresentasi kebudayaan Afsel dalam ruang majemuk: ditolak dan diterima. Vuvuzela sepertinya juga mengungkap masa lalu negara ini: ditindas oleh bangsa kulit putih dan “dibebaskan” oleh Nelson Mandela, seorang asli Afrika pertama yang menjadi presiden di negara itu. Bersama dengan Mandela ada seorang yang berkulit kulit putih, Frederik Willem de Klerk. De Klerk merupakan Presiden kulit putih terakhir di Afrika Selatan. De Klerk serta Mandela dianugerahi hadiah Nobel

bidang perdamaian pada 1993 atas usaha gigih mereka mengakhiri rezim aparheid di negara itu.

Afsel punya sejarah benturan “hitam” dan “putih”. Padahal “hitam” dan “putih” mestinya tak harus menjadi dua kutub yang tidak bisa bertemu. Keberagaman budaya hanya fenomena yang seolah bertentangan. Namun pada banyak hal nilai yang di dalamnya mengandung makna-makna kehidupan. Itulah mungkin makna “negeri pelangi” bagi Afsel, seperti yang dicita-citakan Nelson Mandela. “Negeri Pelangi” adalah metafora untuk mimpi menjadikan Afsel sebagai negeri yang menghargai perbedaan dan hidup dalam kesetaraan.

Novel Sejarah karya Bryce Courtenay berjudul, The Power of One (1989), seolah ingin bercerita tentang persoalan apartheid di Afsel yang mulai menguat di sekitar tahun 1930-an, bukan hanya soal kaum kulit putih (bangsa Eropa) menindas kaum berkulit hitam (bangsa Afrika). Politik apartheid lebih dari itu. Bahwa, diskriminasi ras adalah hal penguasaan dan penaklukan.Ini melampaui soal hitam dan putih. Diskriminasi ras adalah soal penaklukan yang memakai legitimasi superioritas warna kulit yang referensinya adalah mitos-mitos konstruksi “monisme moral”. Itulah hegemoni! Kini hegemoni itu menjadi makin buas di wilayah politik dan ekonomi global.

“Monisme moral” sebuah istilah yang dipakai oleh Bikhu Parekh dalam bukunya Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, untuk menjelaskan cara pikir, paradigma atau pandangan bahwa hanya ada satu jalan hidup benar, sungguh manusiawi, atau paling baik, hingga menganggap yang lain tidak utuh. Para pengkontruksi kebenaran tunggal ini tampil sebagai yang merasa paling benar dan bermoral.

Sejarah kolonialisme di Afrika, bersamaan dengan kolonialisme di nusantara. Bangsa Barat datang untuk melakukan ekspansi dan penundukan wilayah sejak abad 16 pada banyak hal dilegitimasi oleh cara pandang monisme moral itu. Menurut Parekh, monisme moral bangsa barat berakar dari filsafat-filsafat klasik Yunani, lalu superioritas doktrin Kristen dan pemikiran-pemikiran para monis liberal klasik.

Superioritas doktrin Kristen yang di masa kolonial bergandengan dengan kolonialisme barat adalah bentuk pengejawantahan terhadap cara pandang. Demikian juga dengan pemikiran John Locke, salah satu filsuf yang disebut Parekh sebagai monis liberal klasik. Locke mendukung kolonialisasi Inggris terhadap Indian. Alasan Locke, seperti yang diurai Parekh, karena Inggris adalah bangsa unggul yang bisa membantu melakukan perubahan untuk Indian, pun dengan cara kolonialisasi.

Monisme moral, oleh siapapun dengan dasar apapun, kini di mana-mana mendapat gugatan dan perlawanan. Penunggalan kebenaran berdasar doktrin keunggulan ras, agama dan kebudayaan mendapat gugatan keras dari kesadaran hidup dalam kesetaraan. Vuvuzela adalah simbol gugatan itu. Dan, ini momen tepat sebab ia hadir dalam sebuah peristiwa besar, Piala Dunia. Kebudayaan lokal, vuvuzela, menang! Inilah awal yang baik untuk gerakan perlawanan terhadap imperialisme kebudayaan global di ranah-ranah lokal.

Kini, Afrika Selatan ramai dengan warna-warni bendera negara-negara peserta Piala Dunia. Juga makin berwarna dengan keragaman corak dan warna kostum para supporter. Di lapangan hijau 22 orang berlari ke sana kemari, menendang dan menyundul si kulit bundar. Di ajang Piala Dunia ini, vuvuzela, bagian dari kebudayaan lokal Afrika Selatan bertemu dengan beragam kebudayaan dunia. Piala Dunia benar-benar menjadikan Afrika sebagai “negeri pelangi” seperti cita-cita Nelson Mandela itu. Dari sini, saya hanya bisa bertanya, kapan Indonesia benar-benar menjadi ruang bagi yang beragam dalam kesetaraan seperti itu?


Penulis, Dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT), Pegiat di Mawale Cutural Center, Minahasa.

0 komentar: