Minggu, 15 Agustus 2010

GMIM Berubah Dan Berbuah

Lima tahun periode pelayanan Badan Pekerja Sinode (BPS) itu hampir berlalu. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) seperti melewati setengah abad perjalanan sejarah. Lima tahun ini badai mengamuk dengan ganas. Seperti bahtera di tengah samudera luas yang terombang-ambing badai. Gelap, menyeramkan, dan sunyi. Doa-doa pertolongan hilang begitu saja di telan ombak yang mengamuk. Tapi, di minggu-minggu sengsara ini, seberkas cahaya tampak dari kejauhan. Aku menulis di status Facebookku: “Dari kegelapan itu, seberkas cahaya mulai tampak. Tapi dia masih kedipan, blum memberi terang untuk menutupi kegelapan itu. Sesekali dia menghilang, dan timbul lagi. Banyak orang berharap cahaya itu benar-benar untuk menerangi kegelapan ini....”
Pdt. Piet M. Tampi, STh, MSi terpilih sebagai Ketua Umum BPMS (Badan Pekerja Majelis Sinode) GMIM Periode Pelayanan tahun 2010-2014, dan sebagai Sekretaris Umum Pdt. Arthur Rumengan, M.Teol. Wakil-wakil ketua juga telah terpilih. Proses pemilihan, salah satu agenda Sidang Majelis Sinode (SMS) tanggal 22-27 Maret di Wale Ne Tou Tondano berlangsung panas. Hal ini tentu adalah konsekuensi logis dari usaha keras untuk keluar dari kemelut badai yang menyerang GMIM. Dalam sidang ini, kentara sekali kuasa-kuasa politik menyusup masuk dalam GMIM. Tak ubahnya seperti rapat atau sidang partai, manuver-manuver politis bermain hampir sempurna dalam agenda gerajawi itu. Tapi memang terlebih adalah bahwa sidang ini adalah ajang pertarungan antara arogansi atau sikap “ketuanan” elit-elit yang masih ingin melanjutkan kekuasaan di GMIM, dengan arus gerakan pembaharuan yang ternyata desakannya kuat baik datang dari baik dari luar maupun terutama dari dalam.

Arus yang menginginkan pembaharuan dan perubahan dalam GMIM akhirnya boleh dikata terepresentasi pada BPMS yang baru terpilih ini. Sebenarnya harapan itu telah hadir ketika Pdt. Dr. J.N. Gara, MA, yang bukan dari anggota BPMS periode 2005-2010 diusulkan oleh jemaat-jemaat dalam proses penjaringan. Tapi Pdt. Gara dieliminasi oleh Panitia Penjaringan dengan alasan beliau pernah kena disiplin dan sudah pernah mendapat SK Pensiun. Perihal ini sudah diprotes oleh Pdt. Gara dalam Surat Keberatan dan Somasinya. Sampai di SMS ini, segala cara dilakukan oleh kelompok yang tidak menginginkan pencalonan Pdt. Gara. Salah satu bukti dari usaha pencekalan itu adalah kebijakan pimpinan sidang yang tidak memberikan kesempatan kepada Pdt. Gara untuk menyampaikan pembelaannya. Bahkan, di hari ketiga pelaksanaan SMS, yaitu pada agenda pemilihan, Pdt. Gara tidak diberi kesempatan untuk hadir di dalam ruang sidang tersebut.

BPMS baru memang belum bekerja. Tapi, harapan pembaharuan memang akhirnya harus diletakkan pada pundak mereka. Selain bahwa tokoh-tokoh GMIM yang tampil ini memperlihatkan semangat pembaharuan, namun juga arus pembaharuan itu agaknya sedang mendesak pemimpin-pemimpin baru GMIM ini untuk melakukan yang terbaik bagi gereja terbesar di tanah Minahasa ini. Jika tidak, badai itu pasti belum mau akan berlalu. Dan, kita yakin mereka sudah cukup belajar dari pengalaman lima tahun terakhir ini. “Siapapun tidak ingin terantuk pada batu yang sama.”

Pekerjaan dari BPMS baru ini memang bakal tidak ringan. Selain bahwa gereja hadir untuk dunia (tapi dia bukan dari dunia), tapi juga lebih dari pada itu sejumlah persoalan yang berkecamuk di lima tahun teakhir ini adalah agenda-agenda mendesak untuk segera dituntaskan. Pekerjaan berat ini butuh tuntutan Roh Kudus yang termanifestasi dalam semangat keadilan, kebenaran dan kedamaian. Pembaharuan, yang antara lain berupa rekonsiliasi, penataan kembali manajemen, dan terobosan teologi yang membebaskan mau tidak mau harus menjadi agenda BPMS baru dalam masa pelayanannya di empat tahun ke depan.

Semangat pembaharuan itu secara kongkrit mestinya terjabarkan dalam perumusan program pelayanan, rumusan-rumusan hukum gereja (Tata Gereja), sikap teologis dan rekonstruksi bentuk pelayanan yang lebih kreatif dan kontekstual. Sebagai pelayanan, maka semua usaha pembaharuan ini mestinya dipahami sebagai ibadah, yang didalamnya akan bersentuhan dengan pembaharuan teologi.

Pembaharuan teologi ini, berdasarkan evaluasi pada perjalanan GMIM sebelumnya, setidaknya menyentuh aspek bentuk manajemen, posisi GMIM terhadap negara/politik, dan tidak kalah penting adalah pemikiran dan aksi teologi GMIM terkait dengan beragam persoalan konteks: kemiskinan, kebodohan, eksploitasi, diskriminasi, lingkungan hidup, kemajemukan agama dan kultur, dll.

Perlu ditegaskan lagi, bahwa dasar kesaksian, persekutuan dan pelayanan GMIM adalah Injil Yesus Kristus yang berpijak dan berakar pada kultur kebudayaan di mana GMIM berdiri. Kehadiran GMIM sedari awal dimaksudkan untuk berpihak pada penderitaan umat dan masyarakat akibat kuasa-kuasa politik dan ekonomi. GMIM harus menjadi bagian organik dari umat dan masyarakat yang majemuk yang memberitakan Kabar Baik, yang mengnandung nilai kebenaran, keadilan, dan kedamaian.

Hubungan GMIM dengan negara atau politik, perlu juga ditegaskan lagi. Bahwa negara atau pemerintah adalah mitra kritis GMIM. GMIM tidak harus tersubordinasi di bawah kuasa politik negara/pemerintah. Sikap GMIM berada pada posisi yang setara dalam kesadaran bahwa GMIM adalah identitas yang otonom. GMIM hadir dalam semangat panggilan suara kenabiannya untuk menggarami dan memberi terang bagi negara atau pemerintah.

Hal berikut yang perlu dipikirkan secara serius adalah keberanian untuk perubahan manajemen GMIM, dari yang tersentralisasi ke desentralisasi. Sebagai usaha untuk mengantisipasi pengalaman terpusatnya kekuasaan lembaga GMIM, maka desentralisasi dan debirokratisasi sistem kelembagaan GMIM dengan mempertimbangkan wilayah geografis dan demografis, barangkali perlu menjadi pertimbangan. Semangat otonomi sedang mengemuka sebagai protes terhadap sentralisme selain itu sudah hadir di ranah politik negara, namun juga sejarah gereja, memperlihatkan kecenderungan tersebut dalam setiap ruang dan waktu sejarah, misalnya Reformas Luther.

Bersamaan dengan desentralisasi itu, maka mungkin perlu dipikirkan bentuk kontrol terhadap BPMS sebagai pelaksana mandat Sidang Sinode. Lembaga kontrol ini tidak sebatas hanya memberi pertimbangan (seperti tugas Majelis Pertimbangan Sinode sekarang), tapi mestinya juga berfungsi sebagai yang mengawai, mengontrol, mengevaluasi dan bahkan memberi tindakan disiplin kepada BPMS yang jika dalam kerjanya telah melanggar Tata Gereja.

Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris Umum dan wakil-wakil ketua BPMS haruslah berkosentrasi pada kerja manajerial gereja sebagai ibadah dan pelayanan, dan dipilih baik dari kalangan awam maupun dari kalangan pendeta. Orang-orang yang terpilih menjadi BPMS haruslah berjanji di hadapan ALLAH pemilik gereja untuk mengabdikan dirinya pada pelayanan gereja, tegas menyatakan penolakan terhadap intervensi-intervensi politik (kekuasaan) negara dan para kapitalis.

Terkait dengan perubahan manajemen GMIM, ketua Jemaat dan Ketua Wilayah mestinya dipilih oleh jemaat secara demokratis yang terbuka bagi kalangan pendeta maupun non pendeta. Tugas dan pekerjaan utama/pokok pendeta jemaat adalah pelayanan dan penggembalaan serta pengajaran iman, sedangkan pekerjaan administrasi dan urusan kelembagaan diurus oleh Badan Pekerja Majelis Jemaat/Wilayah yang ketua dan keanggotaannya dipilih oleh jemaat.

Pemikiran-pemikiran tersebut mungkin terlalu ideal untuk segera dilaksanakan. Tapi sebagai wacana ini tentu bisa menjadi pokok-pokok pikiran dalam usaha membaharui demi mantapnya kerja pelayanan GMIM. Sebagai gereja reformasi pembaharuan demi kebaikan tentu bukan sesuatu yang aneh dalam GMIM. Kalau GMIM sudah tidak punya semangat pembaharuan, maka di situlah kekuasaan bersarang. Pengalaman sudah membuktikannya. Selain itu, pembaharuan berteologi dan aksi adalah sesuatu yang terhisab dalam semangat kehadiran GMIM di Tanah Minahasa (atau di mana saja gereja ini hadir). GMIM, bahkan harus berubah menjadi ‘rumah bersama”, atau ekklesia dalam usaha-usaha pembebasan dan pemerdekaan dari segala kuasa yang menindas. GMIM akan disebut benar-benar “ekklesia” kalau dia sudah menjadi ‘rumah kedamaian” bagi orang-orang miskin, korban diskriminasi (korban penzaliman); pelayanannya melintas agama dan kultur, dan bersikap tegas pada kuasa-kuasa politik negara yang menindas. “GMIM harus BERUBAH dan BERBUAH.” Semoga saja.

Tomohon, 26 Maret 2010

0 komentar: