Minggu, 15 Agustus 2010

“Yang Lain”

Oleh Denni Pinontoan


Film Front of The Class, bercerita tentang seorang laki-laki, yang sejak umur 6 tahun menderita tourette syndrome. Sindrom ini adalah salah satu penyakit akibat kelainan pada saraf. Brad Cohen, begitu namanya. Ia, ketika masih di sekolah dasar banyak mengalami diskriminasi, baik dari gurunya, maupun teman-teman sekelasnya. Betapa tidak, selagi sekelas serius belajar, Cohen mengeluarkan suara-suara aneh. Kepalanya juga ikutan bergerak. Suara-suara aneh ditambah dengan gerakan-gerakan leher Cohen, membuat teman-temannya tertawa. Kelas menjadi ribut. Guru yang berada di depan kelas tak merasa senang.

Bagi teman-temannya, atau siapa saja yang melihat dia – kecuali orang tua dan adiknya - Cohen adalah manusia aneh. Dia adalah ”yang lain” bagi mereka. Tapi, yang mengharuhkan bahwa ternyata Cohen punya kenginan kuat untuk menjadi seorang guru. Ibunya yang paling mendukung cita-cita Cohen itu.

Setelah lulus sarjana pendidikan, Cohen dewasa, dengan penuh kegigihan berusaha mencari pekerjaan untuk menjadi seorang guru. Tapi, sudah 24 sekolah ia datangi, puluhan kepsek telah mewawancarainya, belum satupun yang bisa menerimanya. Bukan karena Cohen bodoh, melainkan karena suara-suara aneh yang tiba-tiba keluar dari mulutnya dan goyangan lehernya yang membuat orang terganggu. Hampir di semua tempat publik, ia juga ditolak, dianggap aneh. Cohen dianggap ”yang lain” bagi banyak orang.

Tapi, Cohen tak putus asa. Ia terus berusaha menjadi guru. Dia pun mendatangi sebuah sekolah. Diwawancarai hampir dua jam oleh kepala sekolah dan guru senior di sekolah itu. Yang terakhir ini agaknya sedikit berbeda dengan sekolah-sekolah yang pernah dia datangi. Meski harus melewati seleksi sama dengan guru-guru yang lain, tapi agaknya sekolah ini tertarik dengan Cohen. Cohen pun menjadi guru kelas 2. Menariknya, di kelas ini Cohen diterima oleh murid-muridnya. Selain karena Cohen pinter, tapi juga sejak hari pertama mengajar, dia telah jujur dengan tourette syndrome-nya. Keterbukaan itu yang membuat murid-muridnya mejadi terbiasa dengan suara aneh dan goyangan lehernya. Cohen pun sampai mendapat penghargaan sebagai guru terbaik.

Film tentang kisah Cohen ini aku tonton di HBO TV. Tapi, Brad Cohen memang ada di Amerika. Ia benar-benar hidup, dan memang sebagai guru yang berhasil menerima tourette syndrome dan akrab dengannya. Dia menjadi guru di Mountain View Elementary School in Cobb County, Georgia.

Brad Cohen, selain guru, juga sebagai pembicara dan penulis yang sekarang hidup berkeluarga di Atlanta Amerika. Cohen menjelaskan pengalamannya tumbuh dewasa dengan kondisi seperti itu dalam buku yang dia tulis bersama Lisa Wysocky. Buku itu berjudul Front of the Class: How Tourette Syndrome Made Me the Teacher I Never Had (St. Martin's Griffin, New York) terbit tahun 2008.

Cohen dibesarkan di St Louis, Missouri, dalam sebuah keluarga Yahudi. Orangtuanya bercerai ketika dia masih kecil. Cohen lulus dari Parkway Central School pada tahun 1992.

KISAH hidup Cohen, yang pernah mengalami diskriminasi akibat “kelainannya” sebetulnya menunjukkan model kehidupan yang banyak terjadi di berbagai tempat, termasuk di sini dan kini. “Yang lain”, yang hadir di antara kita, pada banyak hal memang dianggap aneh. Terutama, jika ”kelainan” itu adalah sesuatu yang dalam gambaran masyarakat kita sebagai ”keburukan”, atau ”kekurangan”.

Fakta, bahwa memang kehidupan ini tersusun dari berbagai pola, model, corak, warna, sikap, keyakinan dan bentuk fisik yang berbeda. Tapi, adalah juga fakta, bahwa, pembedaan berdasarkan konstruksi pikiran, sistem nilai sosial dan budaya telah ikut meminggirkan, mendiskriminasi ”yang lain” itu. Dan, kebanyakan ”yang lain”, yang dianggap sebagai ”yang buruk” ”yang tidak benar”, ”yang lemah”, ”yang tidak wajar” adalah minoritas dalam sebuah masyarakat yang multikultur. Padahal, tidak semua yang masyarakat kita sebut”yang baik”, ”yang cantik”, yang wajar”, ”yang benar” adalah sebagai yang benar-benar ”baik”, ”cantik”, ”wajar,” ”kuat” dan ”benar”. Sebab, sebuah sistem nilai dan rujukan penggambaran dan penilaian terhadap sesuatu terbentuk dari proses ”evolusi” yang panjang. Dan, kebanyakan rujukan-rujukan untuk mengatakan benar dan salah, adalah berasal dari ideologi yang berkuasa, pemenang dalam evolusi itu.

”Yang lain”, yang kerap dipandang sebelah mata itu, terbentuk dari rekayasa untuk mengatakan bahwa ada subjek ada objek. Ada penguasa ada jelata. Ada yang merasa diri paling benar dan ada didikte sebagai yang salah. Dan, ’yang lain” bagi subjek, bagi sebagai yang merasa pemegang norma, adalah objek, dan kerap dipandang sebagai ”sesuatu” bukan ”aku”. Sejarah dunia, sebetulnya berproses dalam rekayasa-rekayasa itu. Dan, barangkali begitulah sehingga selalu ada yang termarjinal, terdiskriminasi, menjadi korban, dan menderita.

Padahal, ”yang lain” bukan siapa-siapa. ”Yang lain” sebenarnya subjek, karena dia adalah ”kita”. ”Yang lain” mestinya bukan soal ”benar-salah”, ”cantik-buruk”, ”kuat-lemah” dan ”penguasa-jelata”, melainkan adalah subjek-subjek yang memiliki keunikan. Subjek-subjek inilah yang mestinya saling mendukung dalam mengusahakan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraaan bersama. Juga subjek-sujbjek ini yang harus terus menerus mengusahakan kelestarian keberagaman hidup dalam kesederajatan. Inilah masyarakat multikulturalisme.

0 komentar: