Senin, 19 Desember 2011

Agama dan Agama yang Bernama Negara

Dua institusi ini sering berkelahi. Atau juga sering berselingkuh. Padahal, mereka adalah kembar. Agama dan Negara. Agama adalah juga negara. Dan, negara, sebenarnya adalah juga agama. Agama-agama itu sesungguhnya, bukan hanya, misalnya agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Sikh, dan lain-lain. Tapi, sekali lagi, ada agama yang bernama negara.

Kalau agama-agama pada umumnya menyembah Tuhan sebagai yang Maha Kuasa, maka bagi negara, Tuhannya adalah kekuasaan. Nabi agama negara adalah para pahlawan atau pendiri negara. Korban persembahannya adalah pajak dan sering juga bahkan nyawa rakyatnya. Umat agama negara adalah rakyat. Ritualnya dilaksanakan setiap hari raya kenegaraan, semisal agama negara Indonesia adalah setiap tanggal 17 Agustus atau setiap hari Senin di kantor-kantor pemerintah atau di sekolah-sekolah. Lalu, rumah-rumah ibadahnya? Ada. Istana negara sampai kantor-kantor pejabat pemerintah. Para pemimpin umatnya juga ada. Yaitu, presiden mungkin mirip Uskup atau Ketua Sinode. Lalu para kyai, pendeta, gembala, bikhunya agama negara adalah pejabat-pejabat negara, bupati, gubernur. Hari-hari raya keagamaan agama negara adalah hari-hari raya peristiwa bersejarah, heroik, hari kelahiran negara, hari kematian seorang pahlawan, dll. Kitab sucinya adalah dasar negara, seperti Pancasila di Indonesia atau Undang-Undang Dasar.

Agama negara juga memiliki doktrin. Pada umumnya, doktrinnya adalah nasionalisme. Setelah itu, muncul doktrin-doktrin keselamatan, seperti kesejahteraan, keadilan, perdamaian. Kalau agama negara Indonesia, doktrin tunggal yang telah berhasil mengubah kesadaran umatnya sejak agama negara ini berdiri adalah Pancasila. Dulu, hak menafsir kitab suci yang bernama Undang-undang Dasar 1945 hanya terbatas pada kaum ”klerus” agama negara ini, yaitu para elit politik dan intelektual. Reformasi 1998, sebenarnya mendesentralisasi hak tafsir, tapi manipulasi hukum dan ideologi terus saja terjadi. Buntutnya adalah kondisi benegara yang tidak menentu.

Seperti umat beragama pada umumnya yang menerima dibuai dengan iming-iming sorga di sana, umat agama yang bernama negara juga demikian. Meskipun sering disadari, harapan itu semakin menjauh, tapi doktrin nasionalisme kadang membuat umat agama negara ini tidak mampu keluar dari agama negara itu. Tetap saja umatnya mau beragama negara. Meski memang, seperti halnya agama pada umumnya, situasi seperti itu memunculkan individu atau kelompok-kelompok terbatas yang melakukan kritik tajam.

Tuhan agama negara, apalagi kalau bukan kekuasaan. Kekuasaan seperti roh yang mampu merasuk para klerus atau elit negara. Kekuasaan yang adalah tuhannya agama negara ini bisa menjadi kekuatan untuk meminggirkan, mendiskriminasi atau bahkan membunuh umat. Atas nama negara, kekerasanpun menjadi halal. Bukankah begitu juga dengan agama?

Ini sebenarnya konsekuensi dari institusionalisasi atau rasionalisasi hidup bersama. Bahwa, hidup bersama dalam institusi yang dogmatis dan politis macam agama dan negara itu sesungguhnya hanya bicara soal bagaimana institusi buatan manusia itu langgeng. Doktrin keselamatan, hidup bahagia adalah mitos yang sengaja dikonstruksi untuk memanipulasi kesadaran diri umatnya. Apakah harapan hidup selamat, bahagia dan damai hanya akan tercapai karena manusia berinstitusi? Kita memang akan sulit menjawab ”tidak” selagi kerangkeng besi bernama rasionalitas masih kuat memenjarakan pikiran dan kesadaran kita.

Nyaku mengamati itu dalam diskusi-diskusi mengenai agama-agama dan relasinya dengan negara, yang nyaku sebut negara itu adalah juga agama. Diskusi berputar-putar pada soal bahwa negara telah menyebabkan kekacauan pada hubungan agama-agama. Namun anehnya, selalu saja berharap negara dapat menyelesaikan kekacauan itu. Bagaimana torang bisa membedah orang yang kena infeksi dengan pisau yang sama yang menyebabkan orang itu sakit?

Doktrin nasionalisme agama yang bernama negara ini telah begitu merasuk hingga ke dalam jantung kesadaran manusia. Begitupula dengan doktrin agama-agama pada umumnya. Sehingga, siapa saja yang melakukan kritik atau memberontak terhadap dominasi dan hegemoni dua institusi itu harus siap mendapat stigma makar, separatis, sesat dan kafir. Agama-agama ini, baik agama wahyu maupun agama negara, selalu berusaha memenjarakan manusia dalam kesadaran semunya.

Sejarah kelahiran dua institusi penjara ini, pada awalnya mungkin karena ketertindasan atau kerena penderitaan. Sejumlah nation state produk modernitas adalah buah dari pemberontakan terhadap kolonialisme. Begitu juga agama-agama semit atau agama-agama timur. Terkecuali mungkin agama-agama lokal pramodern, yang meski hanya terbatas pada suku-suku atau klan-klan tertentu tapi relatif tidak dogmatis dan politis. Kegelisahaan terhadap tujuan hidup melahirkan nabi-nabi atau para bijak yang mengkhotbahkan kebahagian sebagai tujuan hidup. Kondisi yang terjajah melahirkan patriot-patriot dengan pidato-pidato yang heroik. Setelah semua itu, apa? Setelah semua itu, adalah institusi yang memenjarakan. Institusi modern ini adalah karengkeng rasionalitas.

Waktu nyaku ke Yogyakarta 12-15 Oktober lalu, nyaku sempat bacirita dengan tiga teman, Rony Chandra Kristanto dari Semarang, Silo Abraham Wilar dari Jakarta dan Nelti dari Padang. Dua teman, Rony dan Silo adalah teolog muda yang aktif di Asosiasi Teolog Indonesia (ATI). Torang bacirita di sebuah kafe. Silo, yang sudah akrab dengan Jogja bilang, kafe itu namanya ”Ginseng”. Tempat para bule menghabiskan malam sambil minum bir dan menyanyi. Kami sempat bacirita soal beragama yang tak terikat lagi dengan institusi. Dan, ini kemudian menjadi isu hangat dalam diskusi malam itu. Ada pemikiran bahwa, gereja misalnya, bisa menjadi tempat bertemunya manusia-manusia, siapapun dia. Menjadi ruang refleksi. Tapi, tidak harus dogmatis dan struktural. Pikiran saya, mungkinkah pula kita mewacanakan agama yang bernama negara menjadi ruang terbuka yang nyaman, bebas polusi kepentingan-kepentingan politik bagi siapa saja?

Apa yang kami perbincangkan itu sesungguhnya adalah ideal-ideal, yang sangat jauh dengan realitas dan maksud dari banyak orang beragama dan beragama yang bernama negara itu. Memang, ide atau gagasan itu subversif. Karena wacana itu masih akan berhadapan dengan banyak orang yang mau dan senang hati pikirannya dijajah oleh mitos-mitos surga dan neraka kedua institusi itu. Terlebih, wacana ini akan berhadapan dengan tuhan yang bernama kekuasaan itu.


19 Oktober 2011 (Rabu: 21:37 wita)

0 komentar: