Sabtu, 14 Desember 2013

Membaca Ulang Sam Ratulagie


BUKU GSSJ Sam Ratu Langie, terbit pertama kali di Batavia tahun 1937 dalam bahasa Belanda berjudul Indonesia in den Pacific– Kernproblemen van den Aziatischen Pacific. Diterbitkan ulang dalam bahasa Indonesia pada tahun 1982 dengan judul Indonesia di Pasifik: Analisa Masalah-masalah Pokok Asia-Pasifik. Buku ini menganalisa mengenai kedudukan Indonesia (Hindia Belanda) yang dalam status jajahan di Asia Pasifik. Menganalisa posisi strategi Pasifik, Sam Ratu Langie, membuat kajian mendalam situasi ketika bergesernya atau beralihnya  pertarungan politik-ekonomi international ke Pasifik.

Indonesia Negara Pasif diPasifik
Perang Dunia Pertama dilatar belakangi oleh peristiwa penembakan Putra Mahkota Austria Erzherzog Frans Ferdinand di Sarajevo pada Juli 1914. Sebelum Perang Dunia I, Samudera Atlantik adalah lautan yang dipersengketan bagi hegemoni politik dan ekonomi dunia. Terutama sistem ekonomi yang bertarung disana adalah kapitalisme yang terdiri dari negara-negara kapitalis, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Perancis. Sam Ratu Langie menyebut kekuatan itu dengan poros London-Paris-New York.

Tentang sistem ekonomi yang menguasai pertarungan di Samudera Atlantik, Sam Ratu Langie menyebutnya dengan, “...mengabdikan seluruh dunia kepada aturan kapitalisme.”

Tapi begitu terjadi Perang Dunia I, ekonomi Eropa berantakan. Sementara Amerika Serikat justru memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kemampuan industrinya. Kedudukannya berubah, dari dari negara yang berutang menjadi negara pemberi pinjaman yang berjumlah besar kepada seluruh Eropa, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang swasta. Jepang, setelah terlebih dahulu melakukan modernisasi, juga mendapat untung dari perang tersebut. Jepang membangun industri-industrinya. Antara lain yang disebutkan Sam Ratu Langie adalah semakin bertambahnya kapal-kapal yang menjelajahi pelabuhan-pelabuhan dunia. Kedua kekuatan ini punya ciri atau semangat imprealis.

Pasifik menjadi penting bagi-bagi negara industri, baik yang berada tepat di tepi Pasifik maupun yang berada di luarnya. Negara-negara agraris, termasuk Indonesia (di masa itu) yang hanya memproduksi bahan-bahan mentah, lemah dalam hal posisi tawar dunia internasional, adalah pihak pasif dalam percaturan ekonomi internasional. Pun,ia berada di jalur perdagangan global yang semakin penting bagi negara-negara industri sehingga ramai. Sam Ratu Langie menegaskan, “Perjuangan perebutan pasaran dunia pada tahap pertama merupakan perjuangan pusat industri untuk menjual barang-barang dagangan mereka dengan cara yang paling menguntungkan.”(hal. 89)

Tentang persaingan antara negara-negara penghasil bahan-bahan mentah pertanian maupun bahan mentah mineral, semacam Indonesiadi masa itu (dan juga masa kini), Sam Ratu Langie menegaskan, “…dikalahkan oleh persaingan kotor pasaran negeri-negeri industri.” (hal. 89). Modernisasi, rasionalisme telah melahirkan sistem industri, semacam Revolusi Industri diInggris, yang kemudian melahirkan pula kapitalisme dan imprealisme.

Negara-negara yang memiliki kemampuan masuk ke dalam percaturan politik-ekonomi global yang menggunakan Pasifik sebagai konteks geografi menurut analisa Sam Ratu Langie, adalah negara-negara yang telah memiliki kemandirian dan kedaulatan secara politik, ekonomi dan budaya. Negara-negara ini yang mampu mengurangi intervensi asing.

Di masa itu, setidaknya menurut Sam Ratu Langie ada empat aliran politik di Pasifik: 1. Penetrasi yang berasal dari negeri-negeri kapitalis tua Eropa Barat dan Amerika. 2. Arus penentang nasional – yang berasal di negeri-negeri dan bangsa-bangsa di Pasifik itu sendiri, serta yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Barat – yang langsung diarahkan terhadap penetrasi Barat itu. 3. Propaganda komunis yan diprakarsai oleh Soviet Rusia. 4. Pan-Asiatisme, Asiatisme Baru. Dia juga menyebut Pan Islamisme di Asia Barat Laut yang meliputi Turki, Iran, Iraq, Afghanistan, Surya, negara-negara Semenanjung Arab serta menyebar ke Afrika Utara melalui Trans-Yordania dan Mesir (hal. 123, 127))

Lalu,bagaimana posisi Indonesia?

“Letak Indonesia di Asia Pasifik merupakan yang sangat istimewa,” tulis Sam RatuLangie. Indonesia berada pada posisi yang sangat penting dan menentukan dalam lalulintas ekonomi dan budaya dunia. Indonesia berada di antara dua kawasan produksi dan konsumsi.

Namun, Indonesia di Pasifik di masa itu yang adalah negeri jajahan (mungkin juag hingga sekarang dalam status jajahan pasar) seperti yang digambarkan oleh Sam Ratu Langie sebenarnya dalam wajah yang buram. Indonesia di Pasifik sebagai negara pasif dalam percaturan perdagangan internasional. Bahwa meski berada di pusat pertarungan ekonomi-global yang sangat penting, tapi negara jajahan ini dalam posisi lemah: 1. Hanya sebagai negara konsumen karena tidak memiliki kemampuan industri. 2. Indonesia hanya mampu mengekspor bahan-bahan mentah. 3. Malah, Indonesia menjadi incaran negara-negara industri untuk kepentingan investasi dan objek perdagangan. (hal. 137-149).

Lengkapnya, Sam Ratu Langie menulis begini, “Di dalam ketiga hal ini, Indonesia berlaku pasif. Indonesia adalah negeri jajahan di dalam bentuknya yang modern dan termurni.” (hal.149). Agaknya gejala ini bertahan terus hingga awal abad 21 ini.[1]

Sam Ratu Langie sadar dengan keadaan yang tidak menguntungkan itu. Tapi, dia memang tidak membahas bagaimana mengatasi itu. Dia tidak membuat prediksi, ramalan bagaimana Indonesia apalagi Sulawesi Utara/Minahasa harus maju. Dia menulis begini,  ”Dengan menandai fakta-fakta ini, maka persoalan yang sedang dibicarakan ialah – apakah posisi ekonomi yang tak syak lagi tidak menguntungkan bagi negeri ini, mesti dilanjutkan? Namun, jawaban atas pertanyaan ini, terletak di luar batas-batas jangkauan karya ini.” (hal. 149). Karyanya ini, sebagaimana dia mengakui sendiri, “hanya untuk memberikan suatu ikhtisar ringkas mengenai soal-soal yang menjadi pokok-pokok pemikiran.”(ibid).

Pesan Bagi Generasi Sekarang
Membaca pemikiran Sam Ratu Langie dalam karyanya itu pertama-tama haruslah memperhatikan konteks waktu. Sam Ratu Langie menulis pikiran-pikirannya itu dalam konteks konsolidasi politik nusantara menuju kemerdekaan sebagai suatu gejalaumum negara-negara jajahan di masa itu. Dengan menjadikan Pasifik sebagai temapokok, bukan berarti ia sedang memprediksi sesuatu yang akan datang, melainkan ia bermaksud membuat deskripsi dan analisa kekuatan-kekuatan yang sedang memperebutkan Pasifik dan ikhtisar mengenai posisi negara-negara Asia-Pasifik, seperti Indonesia dalam dunia internasional. Posisi pasifik secara geografi adalah faktual dan tetap. Sam Ratu Langie tidak sampai pada rumusan-rumusan pemikiran geopolitik, yaitu bagaimana negara-negara di Pasifik, Indonesia misalnya membangun kekuatan politik dengan mengambil untung dari posisi geografis tersebut. Dengan menyebut bahwa Pasifik di masa itu “...telah terbentuk sebuah kawasan politik tersendiri” (hal. 21) – yang menjadi kalimat pembuka bukunya itu – Sam Ratu Langie bermaksud merumuskan sebuah argumen untuk membangkitkan rasa nasionalisme (yang juga umum di masa itu) untuk keluar dari situasi terjajah bangsa Eropa, dalam hal ini Belanda. Delapan tahun setelah karyanya terbit, Indonesia merdeka

Kedua, Sam Ratu Langie bicara tentang sesuatu yang faktual di masanya. Kekuatan Amerika dan Jepang memang sedang dalam gejala yang jelas, bahwa mereka telah  menjadi dua kekuatan besar dalam perkembangan di masa itu. Seperti kata Sam Ratu Langie sendiri, dimulai ketika terjadi Perang Dunia Pertama. Anehnya, analisa dan pemetaan berdasarkan kondisi faktual itu, di kemudiaan hari disebut sebagai “pemikiran yang futuristik.” Saya kira, Sam Ratu Langie dalam karyanya itu tidak bicara sesuatu yang akan datang, tetapi sesuatu yang sudah benar-benar nyata. Begitu pula, secara geografis benar-benar dalam posisi jalur perdagangan, sudah dari dulu ketika bangsa-bangsa Eropa mulai menginjakkan kakinya di negara-negara Asia, termasuk Indonesia.[2]

Ketiga, yang sering diabaikan dalam membahas karya Sam Ratu Langie ini adalah cara pandangnya terhadap kekuatan modal. Ia memandang dengan sinis ideologi akumulasi modal yang dijadikan sebagai tujuan politik-ekonomi oleh negara-negara kapitalis Eropa Barat dan Amerika, termasuk tampak juga ketidak senangannya terhadap doktrin imprealisme-Kwodo Jepang, seperti yang dia kutip dari apa yang dikatakan oleh Jenderal Araki.(hal. 29)

Sam Ratu Langie, setidaknya seperti yang tampak di bukunya itu adalah seorang yang memiliki kesadaran besar pembangunan peradaban dan kebudayaan yang berdaulat: merdeka dari intervensi asing, mampu mengimbangi penetrasi modal asing, dan punya kemandirian dalam politik dan ekonomi. Ini sebenarnya adalah strategi kebudayaan, bukan sebagai sikap politik-ekonomi saja.

Dengannya, kalau pikiran Sam Ratu Langie mau direlevensikan sekarang, maka menurut saya sumbangannya yang terpenting adalah pesannya bagi generasi sekarang untuk pembangunan kebudayaan menuju kedaulatan semua dimensi. Untuk masuk pada percaturan politik-ekonomi internasional, bagi suatu bangsa diperlukan kemandirian berpikir, kebudayaan. Berikut, ia mengajarkan kepada kita hari ini tentang kemampuan dalam melakukan analisa politik-ekonomi global untuk suatu gerakan kebudayaan. Gerakan kebudayaan itu adalah sebuah proses, memerlukan strategi kebudayaan yang mampu menggerakkan segala sumber daya kebudayaan: tradisi, sejarah, sastra, seni, dan ilmu pengetahuan. Terutama adalah kepercayaan diri untuk menjadi setara dengan bangsa-bangsa lain. Sam Ratu Langie menutup karyanya ini dengan kalimat, “Inilah garis evolusi – yang melalui pasang surutnya, melampaui hari gelap dan hari cerah – tertera sebagai garis kekuatan keliling di lembaran-lembaran sejarah.”

© Denni H.R. Pinontoan

Talete, 24 Juli 2013



[1] Sekitar42 juta hektar daratan telah dialokasikan untuk izin pertambangan mineral danbatu bara, 95 juta hektare untuk eksploitasi migas, 32 juta hektare untuk HakPengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Hutan Tanaman Rakyat(HTR), dan 9 juta hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Ini berarti sekitar 178juta hektar bumi Indonesiadikuasai swasta yang sebagian besar asing (sumber: http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1979411/indonesia-dalam-cengkeraman-asing#.Ueh9udKEzU0).Mengenai ulasan padat tapi ringkas tentang dampak dominasi asing bagi ekonomisuatu negara, baca Coen Husain Pontoh, “Enam Mitos Keuntungan Investasi Asing”,http://indoprogress.com/enam-mitos-keuntungan-investasi-asing/(akses, 24 Juli 2013)
[2] Mengenaipembahasan sejarah perkembangan ekonomi Amerika, Rusia, Jepang dan Indoensialihat buku J.A.C. Mackie, SedjarahPembangunan Ekonomi dalam Dunia Modern, (Jakarta: Pustaka Sardjana, 1963). 

0 komentar: