Senin, 19 Desember 2011

Minahasa dalam Facebook



Situs jejaring sosial temuan Mark Elliot Zuckerberg, Facebook, adalah ruang diskusi publik yang murah tapi meriah. Manusia dari beragam ras, agama, dan status sosial bisa berjejaring dalam kata, suara dan gambar. Dalam canda, marah ataupun, bisa berujung dendam. Facebook, adalah dunia maya, yang matematis, tapi bisa membangkitkan emosi. Facebook adalah produk budaya digital. Di mana manusia tak lagi ditentukan oleh ruang dan waktu.

Ada sebuah grup Facebook yang nama belakangnya menggunakan nama Minahasa. Memang, grup itu dimaksudkan sebagai forum diskusi tentang Minahasa dan keminahasaan. Jumlah anggota grup itu telah mencapai 5000-an. Tidak semua akun menggunakan nama asli. Bahkan mungkin ada yang sudah punya dua, atau tiga nama akun yang berbeda-beda. Bermacam-macam orang dengan latar belakang keilmuan serta profesi, saling mengadu argumen di grup ini. Yang pada banyak hal, sering tidak berkenaan dengan Minahasa dan keminahasaan. Dunia maya, memang dunia maya. Siapa saja boleh menyamar.

Topik diskusi bermacam-macam. Memang namanya grup Minahasa. Tapi, di grup ini didiskusikan juga sains, iman atau agama dan beberapa pendapat yang menunjukkkan kebodohan dalam menanggapi ateisme. Minahasa, direduksi sedemikian rupa dalam cara pandang yang simplistik dan konservatif. Memang, banyak juga yang tampak kecerdasan dan keterbukaannya. Tapi yang liberal, progresif dan bahkan revolusioner ini sering mendapat makian, cercaan dan stigma negatif. Grup ini, akhirnya menjadi ruang ajang saling mendesktruksi, sedikit saja yang saling mencerdaskan.

Minahasa dalam Facebook, menggambarkan sebuah dinamika dan pergulatan intelektual. Orthodoksi, status quo, fundamentalis versus liberal, progresif dan revolusioner. Tapi, sebuah akun, tidak statis dalam satu posisi. Hari ini liberal, besok fundamentalis. Atau, hari ini berkawan dalam berkomentar, namun besok bisa berbeda pendapat. Ada juga seperti beronani, karena pernyataannya ditanggapi dengan komentarnya sendiri. Dan, banyak pula yang narsisitik. Yaitu, men-like komentar sendiri. Facebook, seolah berhasil membawa dinamika intelektual manusia-manusia berbudaya Minahasa dalam sebuah pertarungan yang tiada henti. Sebuah pertarungan yang tiada ujung, tiada kata sepakat dan bahkan tiada arti. Ada bahaya nihilistik!

Itu tentu dugaan saya, yang bisa salah. Dugaan saya berangkat dari kenyataan bahwa Facebook adalah dunia bentukan matematika. Dunia angka-angka yang sejatinya tanpa rasa. Dan, semua semu adanya. Sangat beda dengan diskusi di perampatan jalan, rumah kopi atau di lobby hotel. Di mana pribadi-pribadi saling berjumpa. Dengan wajah yang senang, marah atau kecewa karena bersepakat atau berbeda pendapat.

Facebook, membuka hari-hari manusia dengan pertanyaan ”What’s on Your Mind?”, Apa yang Anda Pikirkan? Facebook memperlakukan manusia sebagai makhluk pemikir. Seolah, Facebook tidak diperuntukkan bagi manusia yang tidak berpikir, manusia yang hanya berhalusinasi. Teringat adigium RenĂ© Descartes, ”cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Status keberadaan seorang manusia, sangatlah rasionalistik. ”Aku” berada hanya jika ”berpikir”. Atau, adanya ”aku” kalau menyangsikan semua hal. Saya tak tahu, kalau Mark Elliot Zuckerberg, dengan Facebooknya, bermaksud mengantar manusia pada metode kensangsian. Kalau ya, bisa saja Facebook adalah jejaring sosial bagi manusia-manusia yang saling menyangsikan. Manusia Facebook, adalah manusia yang harus berpikir. Karena, tulisan pintu rumah Facebook ”What’s on Your Mind?” Maka, Facebook, adalah rumah bagi perjumpaan kebenaran yang tiap hari mestinya diverifkasi.

Bahasa Facebook, adalah bahasa tulis, yang ringkas dan padat. Untuk membuktikan bahwa seseorang adalah makhluk berpikir, cuma dibutuhkan 240 karakter. Memang, ada untuk tempat catatan, yang panjangnya bisa 1000, 2000 karakter atau lebih. Maka, untuk menegaskan rasionalistiknya Minahasa, cuma dibutuhkan 240 karakter. Tapi, berbeda dengan dinding grup. Grup Facebook meminta untuk ”tuliskan sesuatu,” yang bisa panjang, lebih dari 240 karakter. Minahasa dalam Facebook, adalah manusia yang matematis, tapi anehnya ia bisa membangkitkan emosi. Facebook juga menyediakan ruang untuk memaki dan memfitnah dalam bentuk tertulis. Sehingga terdokumentasi dan menyimpan dendam yang lama. Inilah Minahasa dalam budaya digital.

Tentu, Facebook, adalah juga ruang berbudaya. Bagi Tou Minahasa, ya, adalah ruang untuk berbudaya Minahasa. Facebook, atau situs jejaring sosial lainnya adalah media berbudaya karena dia menjadi alat saling berbagi informasi, pikiran dan mungkin juga alat propaganda. Konon, situs jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter telah berperan dalam revolusi di Mesir. Di Indonesia pengorganisasian massa untuk menolak atau mendukung sesuatu atau sesorang, juga menggunakan situs jejaring sosial. Misalnya, Gerakan "Koin Peduli Prita." Situs jejaring sosial telah menjadi media untuk mengajak masyarakat khususnya para pengguna internet mengumpulkan uang koin untuk disumbangkan kepada Prita Mulyasari. Uang ini untuk membayar denda Prita kepada RS OMNI Internasional Alam Sutera yang bernilai Rp 204 juta.

Minahasa dinamis. Seperti Facebook yang terus dimodifikasi. Dinamika di dalamnya dalam bentuk kata-kata, gambar dan suara. Setiap hari, ada warta yang baru di Facebook. Ada gambar yang baru. Terkadang, ada juga video yang baru. Namun, bahayanya, selain akun bisa palsu sehingga komentarnya juga palsu, informasi yang ditulis dan ditautkan di Facebook, juga sangat beragam. Terkadang, sulit menyeleksi, mana informasi yang benar-benar fakta.

Informasi mengenai Minahasa, dalam bentuk berita, pikiran dan apapun itu, juga sulit ditentukan mana yang benar-benar asli. Kebenaran absolut memang tidak bisa ditemukan di Facebook. Tapi, mestinya, interaksi atau dialog yang terbuka dan kritis serta beretika, bisa melahirkan ”kebenaran”, yaitu kesadaran bersama, atau juga kesadaran kritis. Kebenaran Facebook adalah kebenaran rasionalistik, khas modernitas yang tak harus didikotomikan dengan posmodernitas. Kesadaran akan pentingnya berpikir yang harus kritis. Minahasa dalam Facebook, adalah Minahasa yang setiap harinya bertanya, dan terus berusaha mencari jawab. Minahasa yang belum final, karena dia hidup, dan terus berubah.

0 komentar: