Minggu, 08 Mei 2011

Ada Rasa Damai di Tepi Danau Poso

(catatan perjalanan pluralisme di Palu-Poso dan Siuri Tentena)

Oleh: Denni Pinontoan

Saya sekali lagi mendapat kesempatan melakukan study tour, maksudnya belajar sambil pesiar. He...he.... Kali ini diudang oleh Dian/Interfidei, sebuah NGO yang konsern dengan usaha-usaha dialog antar agama yang berpusat di Jogyakarta. Saya dan beberapa teman dari sejumlah daerah di nusantara diundang untuk mengikuti kegiatan Capacity Building Jaringan Gerakan Antariman Tahap II. Kali ini dilaksanakan di Siuri – Tentena, Sulawesi Tengah. Sebelumnya, tahap I sudah dilaksanakan di Manado, Banjarmasin dan Bali. Kegiatan di Tentena ini kerjasama antara FKUB Kabupaten Poso, Al-Khairat Kabupaten Poso, Institut Mosintuwu, Sinode GKST, Institut Dialog Antariman di Indonesia (Institut DIAN/Interfidei), Yogyakarta.

Siang itu, saya ke Bandar Udara Samratulangi Manado. Jam keberangkatan sesuai yang tercantum di tiket pukul 14.45 Wita dan tiba di Makassar pukul 16.20 Wita. Dian/Interfidei yang mengatur perjalanan rencananya bermaksud akan mempertemukan kami sebagian peserta di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makasar. Nanti dari sana, kami akan bersama-sama menuju ke Palu kira-kira pukul 20.00 malam dengan pesawat terbang.

Tapi, di bandar udara Sultan Hassanudin pesawat yang akan mengantar kami ke Palu mengalami keterlambatan sekitar dua jam. Jadinya, kami nanti akan berangkat pukul 10.00 malam. Di bandar udara itu saya bertemu dengan teman-teman jaringan gerakan antariman yang akan ke Tentena. Ada yang dari Jayapura, Sorong, Merauke, Gorontalo, Tarakan, dan dari Makassar sendiri.

Sambil menunggu keberangkatan, ditemani secangkir kopi khas Makassar, kami bercakap-cakap banyak hal. Kelompok kami itu awalnya hanya ada seorang perempuan. Namanya Jeane Derdanela Puasa. Dia dari Gorontalo. Saya tertarik bercerita banyak hal dengan dia. Kami bercakap dengan logat Melayu-Manado. Oma dan opa Jeane dari Minahasa. Dia sering pulang ke Manado. ”Cuma pasiar, lia keluarga,” ujarnya.

Oma, dan opanya serta papanya, menurut Jeane, sempat terpisah semasa pergolakan Permesta. Ayahnya kini seorang polisi. Jeane sendiri bekerja sebagai jurnalis dan penyiar di salah satu radio perempuan Gorontalo.

Teman dari Papua, namanya Marthen Luther Sesa. Awalnya, saya kira Marthen adalah seorang Kristen. Saya mengkaitkan namanya dengan Marther Luther tokoh reformator Kristen. Ternyata saya keliru. Marthen adalah seorang muslim yang taat. Di Papua, dia bergabung dengan Majelis Muslim Papua (MMP). Menurut Marthen, MMP berdiri pada tahun 2007. ”Ini bagian dari partisipasi umat muslim Papua untuk memajukan Tanah Papua, termasuk membangun hubungan antar agama di sana,” ujar Marthen.

Kami berangkat ke Palu jam 10.00 malam. Tiba di Bandara Mutiara Palu jam 11 malam. Di Palu kami menginap di mess Pemda Poso. Di tempat itu sudah ada beberapa peserta yang tiba lebih dulu. Di lantai dua mess itu tampak lampu warni-warni di salah satu bagian kota Palu. Nanti keesokan paginya, saya terpesona dengan keindahan teluk Palu. Meski hanya dari kejauhan, tapi saya cukup merasakan keindahannya.

Mess Pemda Poso, tempat kami menginap di Palu. (Foto: Denni)
Sebelum berangkat menuju ke Poso dan Tentena, saya menyempatkan diri ke salah satu warung di depan mess itu. Beli rokok. Di samping warung ada sebuah pangkalan ojek. Seorang laki-laki hampir tua duduk sendiri. Saya tidak sempat tanya namanya. Tapi kami sempat bercakap. Saya bilang saya dari Minahasa Dia bilang, anaknya sekeluarga kini berada di Kema, Minahasa Utara. Di Kema awalnya, anaknya bekerja sebagai nelayan tapi kini sudah punya perahu motor sendiri. ”Dia ke sana waktu kerusuhan lalu. Sekarang dia so punya perahu motor sandiri,” ujar bapak itu. Kema adalah sebuah pelabuhan tua di bagian utara Minahasa.

Bapak itu bercerita, waktu kerusuhan di daerah itu, kampung Maesa yang warganya kebanyakan dari Manado sempat dijaga oleh pihak kepolisian. ”Waktu itu memang suasana sangat tegang. Kampung Maesa yang banyak orang Manado itu, ada kabar akan menjadi sasaran para perusuh. Sehingga pihak kepolisian sempat berjaga-jaga di sana,” ujarnya.

Palu adalah ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Kerusuhan yang melibatkan kelompok Muslim dan Kristen di daerah itu pertama terjadi mulai 25-29 Desember 1998, kedua terjadi pada 17-21 April 2000 dan ketiga terjadi 16 Mei - 15 Juni 2000. Bersama dengan Poso, Palu beberapa kali menjadi target dalam konflik yang berlangsung di Sulawesi Tengah. Pada November 2005, sepasang warga beragama Kristen ditembak dan dicederai di kota ini. Sebuah bom juga meledak di sebuah pasar yang khusus menjual daging babi pada 31 Desember 2005 dan menewaskan delapan orang serta mencederai 45 lainnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Palu).

Laporan dari Institut Titian Perdamaian yang ditulis susun oleh Mohamad Miqdad dan Lian Gogali menyebutkan konflik bermula pada bulan Desember 1998, pas pada perayaan Natal dan dan bulan Puasa. Konflik pada awalnya dipicu oleh perkelahian pemuda di kelurahan Sayo, Kec. Poso Kota antara Roy Bisalemba bersama Tely Langingi yang beragama Kristen dengan seorang pemuda Muslim. Isu kemudian tersebar bahwa ada seorang pemuda Muslim dipotong-potong di dalam masjid Sayo. Pada tanggal 24 Desember 1998, pemuda Muslim merusak rumah Roy Bisalemba di kelurahan Kasintuwu dan rumah Tely Langingi di kelurahan Sayo. Pada hari berikutnya, tanggal 25 Desember 1998, konsentrasi massa Muslim terjadi di kelurahan Sayo menghadang warga Kristen untuk mengikuti ibadah Natal di gereja Piniel Poso. Tanggal 26 Desember 1998, pemuda Muslim membongkar toko-toko dan kios yang menjual minuman keras karena alasan bahwa Roy Bisalemba dan Tely Langingi dalam keadaan mabuk sehingga memicu perkelahian. Tindak kekerasan berlangsung di Kasintuwu, Bonesompe, Moengko Lama. Konflik terbuka tidak dapat dihindarkan, saling serang antar kelompok Islam dan Kristen berlangsung hingga fajar.

Sehari kemudian, pada tanggal 27 Desember 1998, warga Muslim berjaga-jaga di beberapa titik dalam kota Poso. Mereka mendengar isu bahwa Imam Sayo dibantai pemuda Kristen di dalam masjid. Meski isu itu hanya sekadar upaya provokasi. Ketegangan terjadi sangat cepat. Jajaran MUSPIDA kemudian berupaya untuk mengendalikan situasi dengan membuat serangkaian himbauan dan pertemuan. Tapi tidak berlangsung lama ketegangan terus memucak karena perkelahian secara sporadik

Tragedi kekerasan di Poso ditandai dengan terjadinya peningkatan penggunaan instrumen kekerasan dari senjata tradisional ke berbagai jenis rakitan dan senjata organik. Diperkirakan ribuan orang meninggal sepanjang konflik di Poso berlangsung.

Geliat warga Kota Palu di pagi hari (Foto: Denni)
Namun, pagi itu saya melihat sebuah geliat kehidupan yang luar biasa dibanding dengan cerita kerusuhan yang saya dengar dari Minahasa sebelumnya. Sungguh pagi yang mempesona di Kota Palu.

Kami berangkat menuju ke Poso dan Tentena sekitar pukul 07.00 pagi. Informasi yang kami dengar dari panitia lokal, perjalanan dari Palu ke Tentena menuju ke Poso dan Tentena memakan waktu sekitar 6 sampai 7 jam. Jarak Palu ke Poso sekitar 250 km. Waw, sebuah perjalanan yang pasti melelahkan. Memang benar, perjalananya melelahkan. Melewati jalan darat berkelok-kelok. Untung mobil yang kami tumpangi tergolong jenis mobil yang bagus. Ada AC, lagu khas Poso, Dero dan lagu-lagu khas Celebes lainnya terus menghibur kami sepanjang perjalanan. Semobil dengan kami ada Romo Francis Wahono Nitiprawiro, penulis buku ”Teologi Pembebasan” itu. Romo Wahono akan menjadi salah satu fasilitator kegiatan di Siuri-Tentena nantinya. Fasilitator lainnya, Noorhalish Majid dari LK3 Banjarmasin. Duduk di samping saya Muh. Luqman Arifin dari salah satu Pesantren di Solo. Kemudian disamping lagi ada Marthen Luther Sesa. Di kursi depan kami duduk Jeane dan Pdt. Lidia Natalia, dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Solo. Paling depan, di samping supir duduk manis Pdt. Setyo Budi Utomo juga dari GKI di Solo.

Kota Poso (Foto: Denni)
Kira-kira pukul 13.00 wita kami tiba di Poso. Perut sudah keroncongan. Rasa lapar menyerang. Panitia di sana telah menunggu kami untuk makan siang. Seorang perempuan yang ternyata panitia di sana, menjamu kami makan di rumah makan Surabaya, Jln. Pulau Sumatera, Poso. Keliatan betul rasa lapar kami. Rata-rata kami pesan Ayam Goreng. Lahap benar kami makan.

Jarak Poso ke Tentena kurang lebih 60 km. Selesai makan, sejenak beristirahat. Bagi yang merokok, masih bisa menghabiskan sebatang rokok. Udara Poso siang itu cukup panas. Tapi, agaknya emosi warganya sudah kembali sejuk, tidak sama waktu kerusuhan dulu.

Perjalanan dilanjutkan. Tak makan waktu dua jam kami sudah tiba di Tentena. Kami tiba di sana sudah Sore. Kira-kira pukul 4 lewat. Kalau perjalanan Palu ke Poso dominan Mesjid dan Pure, di Tentena gedung gerejanya menghiasi kota kecil itu. Di kota kecil itu ada Kantor Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST).

Dr. Th. Muller Kruger dalam bukunya ”Sejarah Gereja Di Indonesia” (Jakarta: BPK, 1966) menuliskan, ”Sedjarah Geredja Sulawesi Tengah amat erat hubungannja dengan dua tokoh pekabaran Indjil jang sepatutnja harus disebut disini, jaitu Dr. Alb. C. Kruyt dan Dr. N. Adriani, masing-masing diutus oleh NZG dan Lembaga Alkitab Belanda.”

Wilayah pelayanan GKST terutama meliputi meliputi beberapa suku di daerah Sulawesi Tengah. Sampai di Poso dan Poso pesisir ada gereja GKST. Pdt. Asyer Tandapai, salah satu pendeta GKST waktu menjadi pembicara di seminar antar agama di Poso yang serangkaian kegiatan ini mengatakan, waktu C. Kruyt pertama kali datang ke Posobdi sekitar tahun 1892/1893 ia disambut dengan ramah oleh keluarga Bugis Islam di sana. GKST sendiri berdiri sebagai sinode yang mandiri nanti pada tahun 1947. Pusat pelayanannya di Tentena. Pada masa awal penginjilan, zendeling C. Kruyt dibantu oleh sejumlah sejumlah guru sekolah dan pengindjil dari Minahasa (GMIM).

Sementara sejarah Islam di Sulawesi Tengah, seperti yang dipublikasi dalam situs http://www.sejarahbangsaindonesia.co.cc/, sangat terkait dengan ekspansi dari kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Terutama, mula-mula Kerajaan Bone dan Kerajaan Wajo yang sudah lebih dulu diislamkan. Daerah-daerah yang pertama kali diislamkan adalah daerah pesisir. Pada pertengahan abad ke 16, dua kerajaan, yaitu Buol dan Luwuk telah menerima ajaran Islam. Sejak tahun 1540, Buol telah berbentuk kesultanan dan dipimpin oleh seorang sultan bernama Eato Mohammad Tahir.

Dari Tentena menuju ke tempat pelaksanaan kegiatan kira-kira masih sekitar 1 jam. Tepatnya di Siuri Cottages. Kami akan menginap di sana selama kurang lebih empat hari.

Tiba di Siuri Cottages sudah sangat sore. Capek, letih tapi puas. Ibu Elga, Ira Sasmita, Eko dan Freandy dari Dian/Interfidei sudah lebih dulu dua hari dari kami.

”Wuih, ada danau. Ada pasir putih...” para peserta kesenangan. Siuri Cottages memang pas berada di tepi danau Poso. Pasirnya putih. Agaknya bagus untuk mandi-mandi. Memang, ini namanya belajar sambil pesiar.

Siuri Cottages.
Menurut seorang laki-laki yang mengurus cottages itu, pemilik Siuri Cottages adalah orang asing, yang kini tinggal di Toraja. Sesekali dia datang ke Siuri. Waktu kerusuhan lalu, cottages itu sempat menjadi pos Brimob untuk pengamanan. Karena itulah sehingga cottages itu relatif aman dari kerusuhan. Nanti dibuka lagi beberapa tahun pasca konflik. ”Waktu itu keadaanya sangat memprihatinkan. Rumput-rumput liar menutupi cottages. Namun, kerusakan hanya di bagian luar, bagian dalamnya masih bagus,” ujar laki-laki itu.

Sekira 30 menit jaraknya dari cottages itu ada air terjun saluopa yang memiliki 12 tingkatan. Kami sempat jalan-jalan ke sana. Airnya bening dan segar. Di sekitarnya ada hutan yang masih hijau. Menuju ke sana kami melewati perkebunan coklat milik warga. Ramai warga Tentena dan sekitar yang berkunjung ke sana waktu itu.

Danau Poso bersih. Tidak ada eceng gondok seperti di danau Tondano. Danau ini juga berombak, seperti pantai. Pasirnya putih. Kadang, kami tidak sadar spontan menyebut danau itu pantai. Tidak juga tampak pemeliharaan ikan semacam karamba. Hanya satu dua kali ada perahu yang tampak.

Angie Wuysang yang meneliti Danau Tondano untuk tesisnya di CRCS UGM berkomentar di status facebookku mengenai danau Poso. Tulisnya, ”Danau Poso termasuk 1 dari 9 danau di Indonesia yg berada dalam kelompok "urgent to be conserved", juga deng danau Tondano... Kiapa kang nda ada gulma eceng..? Apa penduduk sekitar danau nda pernah mandi-ba cuci baju dekat danau atau ba ternak sto kang? Sebab euthrophication danau terjadi kar'na habitus ekosistem manusia...”

Danau Poso yang tak terlupakan. (Foto: Denni)
Saya sempat menulis puisi mengenang keindahan danau Poso:

Pagi Kau Tenang

Siang kau beriak

Pernah menjadi saksi

Sebuah amarah dan perang

Aku di tepimu menikmati

Mentari pagi terbit dari timur

Aku hanya sejenak di tepimu

Tapi aku tak akan lupa

Jernihnya airmu...

Oh, danau Poso

Di cottages itu tidak ada listrik yang dipasok oleh PLN. Tapi pemilik cottage menyediakan mesin generator untuk melayani listrik untuk kebutuhan cottages. ”Padahal, tidak jauh dari sini ada Pembangkit Listrik Tenaga Air, milik Jusuf Kalla. Tapi, nda ketahu kenapa di Siuri ini dan beberapa kampung di sekitarnya tidak ada jaringan listrik PLN,” ujar pengelola cottages itu.

PLTA Sulwena milik keluarga Kalla tersebut terletak di Desa Sulwena, Pamona Utara, Poso. PLTA yang mulai dibangun sejak tahun 2003 ini menggunakan air dari danau Poso yang melalui sungai Poso. Namun, pembangunan tower SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) hingga kini mendapat penolakan dari warga desa Peure, Kec. Pamona Puselemba. Juru bicara Front Perjuangan Rakyat, Lian Gogali, seperti dilansir situs http://www.bisnis-kti.com/ mengatakan, alasan mereka menolak pembangunan tower itu karena dinilai membayakan keselamatan warga. ”Tower 51 dan 52 ini yang kami tentang karena berada tak jauh dari permukiman penduduk,” katanya.

Selama 4 hari kami belajar bersama di tepi danau itu. Kami memetakan beberapa isu aktual di daerah kami masing-masing. Di Papua, selain persoalan ketidakadilan dan pelanggaran HAM yang terus terjadi, persoalan aktual sekarang yang menjadi perhatian khusus adalah rencana program pemerintah yang disebut MIFEE (Merauke Integrated Food Energy Estate). Teman-teman dari Papua menjelaskan, program MIFEE ini dicanangkan oleh pemerintah setempat pada tahun 2010. Rencananya MIFEE ini akan mengembangkan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. ”Di khawatirkan program MIFEE ini akan meminggirkan masyarakat asli Merauke. Karena, menurut analisa kami nantinya para pihak inverstor yang kurang lebih berjumlah 32 akan mendatangkan tenaga kerja dari luar yang banyak. Selain nantinya dikhwatirkan MIFEE ini akan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup Merauke,” ujar Fransiskus Ciwe dari Merauke.

Di daerah lain, seperti Bali ada persoalan tata ruang. Di Minahasa saya menyebutkan persoalan politisasi agama akibat Pilkada serta kebijakan pemerintah kab. Minahasa yang berencana akan menjadikan tanah warisan milik warga Kampung Jawa Tondano sebagai Kebun Raya. Dalam diskusi, kami menyimpulkan ada persoalan memiliki akar yang sama, yaitu kebijakan pemerintah pusat dan lokal yang tidak memperdulikan nasib rakyat dan keragaman budaya dan agama. ”Dalam realitas ini, agama-agama mestinya memberi perannya. Agama-agama ini tidak hanya mengurus ajaran, seremonial, tapi juga harus mengambil peran dalam merespon persoalan masyarakat,” ujar Romo Francis Wahono yang bertindak sebagai fasilitator.

Kantor Pusat UNKRIT (Foto: Denni)
Tidak terasa 4 hari kami telah belajar bersama di tepi danau Poso itu. Tanggal 21 Maret kami harus kembali ke Poso, kemudian ke Palu dan pulang ke daerah asal masing-masing. Waktu menuju ke Poso, kami sempat singgah di Universitas Kristen Tentena (UNKRIT). Universitas ini milik GKST yang memulai kegiatan akademiknya tahun 2007. Kegiatan silahturahmi itu diisi dengan diskusi mengenai Agama-agama dan Konflik dalam Konteks Poso. Pak Thamrin Amal Tomagola, guru besar Fisip UI yang bergabung dengan kami di Siuri sejak tanggal 20 juga berbicara dalam diskusi itu.

Selesai diskusi kami kembali melanjutkan perjalanan ke Poso. Di Poso kami menginap di sebuah Hotel yang terletak di tepi pantai. Hotelnya lumayan baik. Kami memang berencana menginap satu malam di Poso karena masih akan ada seminar di sini.

Seminar yang dilaksanakan di Gedung Wanita Kompleks Kantor Bupati Poso bertajuk “Peran Agama-Agama di Poso dalam Mewujudkan Komitmen Kebangsaan”. Sejumlah tokoh agama dan masyarakat hadir dalam diskusi tersebut. Sempat juga mengemuka masalah Ahmadiyah dan hubungan Kristen dan Islam terkait dengan perayaan Natal oleh umat Kristen yang disebut-sebut sering melibatkan umat Islam dalam ibadahnya. Saling curiga memang masih ada di kalangan Kristen dan Islam di sana, terutama persoalan doktrinal. Tapi, dengan semangat Posintuwu dan Sintuwu Marosonya, warga Poso bertekad untuk maju bersama tanpa harus terhalang dengan masa lalu.

Tradisi Posintuwu dan Sintuwu Maroso berasal dari suku Pamona. Tradisi ini terkait dengan kebiasaan saling batu membantu antar warga dalam melaksanakan sebuah acara dalam masyarakat, baik suka maupun duka. ”Posintuwu” kemudian dimaknai sebagai budaya saling bantu, kerjasama dan gotong royong. Sementara istilah ”sintuwu maroso” bermakna persaudaraan dan persatuan yang kuat.

Mengenai konflik Poso dalam refleksinya, Ketua FKUB Poso Pak Damanik mengatakan, masyarakat Poso pada dasarnya tidak ingin berkonflik. Namun, karena ada pihak-pihak luar yang berkepentingan dengan sumber daya alam dan politik di Poso, maka jadilah konflik tersebut. ”Masyarakat Poso, sebenarnya tidak pernah berkonflik. Tragedi kemanusiaan pada tahun '98 karena pihak-pihak luar ingin mengobok-obok Poso,” ujarnya.

Setelah seminar kami kembali ke hotel tempat kami menginap. Perjalanan ke Palu akan dilanjutkan besok hari. Tapi, malamnya, Jeane teman dari Gorontalo, nekat pulang ke Palu dengan mobil travel. Katanya, dia harus pulang untuk menghadiri acara keluarga. Di hotel kami menghabiskan malam bersama. Ada yang makan durian. Ada yang berkaraoke ria. Dan yang lain, tukar menukar foto dari kameranya masing-masing.

Menyebut durian, saya teringat cerita pemilik hotel. Beberapa waktu lalu, katanya, ada rombongan Muhammadiyah yang menginap di hotel itu. Di suatu malam, mereka makan durian banyak sekali. Besoknya, ketika mereka pulang ada satu anggota rombongan yang meninggal sementara dalam perjalanan di atas pesawat. ”Mungkin dia meninggal karena kelebihan makan durian,” ujarnya. Ih...Untung durian yang kami makan hanya sedikit.

Jam tujuh pagi rombongan sudah siap kembali ke Palu. Hari ini, kami akan melakukan perjalanan yang cukup panjang. Dengan mobil yang sama ketika kami datang dari Palu beberapa hari lalu, kami segera menuju ke Palu.

Di tengah perjalanan ke Palu, kami singgah di Pesantren Modern Ittihadul Ummah Gontor yang terletak di Tokorondo, Poso Pesisir. Kami akan berdialog dengan pengasuh Ponpes dan para ustadnya. Pesantrean megah ini berdiri pada tahun 2007. Peresmiannya sama-sama dengan UNKRIT di Tentena. Selama beberapa tahun, penyelenggaraan pesantren ini bekerjasama dengan dengan Pesantrean Gontor Darussalam di Jawa Timur. Penyelenggaranya adalah Yayasan Ittihadul Ummah Poso. Dana pembangunan fasilitasnya berasal dari pemerintah pusat melalui Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Penyambutan oleh para santri perempuan di Pesantren Modern Ittihadul Ummah Gontor, Poso. (Foto: Denni)
Ketika memasuki kawasan pesantren itu kami disambut oleh puluhan santri perempuan yang berbaris sepanjang jalan masuk. Bak menyambut tamu terhormat, kami disambut dengan penuh kehangatan. Pengasuh pondoknya,pake stelan jas lengkap. Luar biasa!. Pak Thamrin yang hanya pake sendal jepit tampak sedikit kikuk. Dia tak menyangka akan disambut semeriah ini.

Kami berdialog dengan pengasuh dan para ustadnya di sebuah ruang pertemuan. Ketika rombongan masuk, hidangan ringan sudah tertata di meja. Para ustadnya memakai kameja lengan panjang lengkap dengan dasi. Mungkin, ini salah satu bukti, bahwa pesantren ini memang modern. Acara dialog berlangsung penuh keakraban dan keterbukaan. Menurut pengasuh ponpes ini, Pondok Pesantren Modern Ittihadul Ummah adalah lembaga pendidikan Islam yang didirikan untuk menciptakan perdamaian dan memberikan wawasan yang lebih luas tentang cakrawala pemikiran, keilmuan, dan pengalaman bagi umat islam. ”Lembaga ini adalah wujud dari implementasi dari cita-cita dan harapan umat Islam Poso untuk mewujudkan sebuah lembaga pendidikan yang mampu mencetak kader-kader umat, khususnya Umat Islam Poso yang berkualitas,” ujar pengasuh ponpes.

Setelah selesai bedialog, kamipun melanjutkan perjalanan menuju ke Palu. Sekitar 3 jam perjalanan, waktunya makan. Kami singgah di rumah makan Sari Laut, Torue, Parigi. Di rumah makan itu ada ayam goreng khas Torue dan ikan bakar rica-rica. Ada juga sayur pepaya yang direbus. Makanannya enak-enak.

Te’ Euis menyanyi, Pak Kapolda mengiringi dengan keyboard yang gak nyambung...(Foto: Denni)
Di rumah makan itu ada keyboard yang memang disediakan bagi pengunjung. Sambil menunggu pesanan selesai dimasak para aktivis pluralisme yang memiliki bakat menyanyi, beraksi. Te’ Euis (Euis Aprilia Mubayyinah) teman dari Bandung yang berjilbab, cantik dan centil itu menyanyikan sebuah lagu cinta yang sangat bagus. ”Pak Kapolda” (Nikodemus Kabak) teman dari Papua berlagak sedang memaikan keyboard. Tapi, tampaknya tidak nyambung dengan lagu yang dinyanyikan Te’ Euis. Romo Wahono juga menyanyi. Ibu Elga Sarapung nyanyinya muantap. Pdt. Adi Gumilar Kristianto, dari Bandung, Pdt. Setyo Budi Utomo yang gaul itu, dan Pdt. Prasetyanto Aji tak mau kalah. Mereka juga menyanyi. Para pendeta ini memang sudah terbiasa menyanyi di gereja. Pak Thamrin hanya terkeke-keke dari tempat duduk. Suasana memang meriah. Rasa lelahpun sejenak hilang. Tapi, rasa lapar agaknya belum. Sebab, sudah hampir habis stok penyanyi, makanan yang dipesan tak kunjung datang,

Ketika makanan mulai disajikan para pelayan, acara menyanyipun segera berhenti. Kini kosentrasi di acara makan. Maklum, perut sudah lapar. Pesta makanpun dimulai!

Selesai makan, hanya beristirahat beberapa menit, perjalanan pun dilanjutkan. Masih ada dua jam lebih lagi baru sampai di Palu. Selama perjalanan ke Palu, tiga bangunan mencolok yang sempat saya amati adalah Mesjid, Pure dan Gereja. Dari segi ini, masyarakat di sini tampaknya sangat religius. Agak kontras dengan sejarah tragedi kemanusian beberapa taun lalu. Mengapa orang-orang begitu religus bisa terprovokasi dan berkonflik? Apakah doktrin atau ajaran-ajaran agama-agama ini (terutama Islam dan Kristen) menganjurkan juga kekerasan? Ini sebenarnya persoalan beragama kita sampai sekarang.

Kami tiba di Palu sekitar jam 17.00 wita. Hari memang sudah sore. Kami kembali menginap di mess Pemda Poso. Tidak ada acara khusus malam itu. Tapi kami berinisiatif untuk menikmati malam Kota Palu. Kebanyakan ke pusat perbelanjaan Kota Palu. Pak Kapolda kepergok makan di KFC salah satu pusat perbelanjaan kota itu. Yang lainnya mencari oleh-oleh untuk istri, suami, keluarga atau pacar yang menunggu di rumah.

Keesokan harinya, tanggal 23 Maret rombongan pulang ke daerah masing-masing. Kebanyakan berpisah di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar. Yoni (Desak Made Yoniartini) teman dari Mataram, katanya belum langsung pulang ke daerahnya. Dia masih akan ke Toraja, mengunjungi temannya yang sama-sama di Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia di sana. Yoni tercatat sebagai presidium dalam kesatuan mahasiswa Hindu yang berpusat di Jakarta itu. Yoni ini suka berpetualang. Dia bilang, sudah beberapa gunung di Indonesia yang dia daki. Irfan, bapak pengacara itu, menurut yang dia bilang masih akan tinggal beberapa hari di Makassar. ”Sekadar untuk pesiar menikmati kota Makasaar,” ujarnya sesaat sebelum kami berpisah.

Saya harus pulang hari itu ke Minahasa. Tubuh terasa lelah, namun perasaan menyenangkan. Kaya dengan pengalaman baru. Ini memang namanya, belajar sambil pesiar! He..he...

Tentena-Poso-Palu-Minahasa, Maret-April 2011

2 komentar: