Selasa, 10 Mei 2011

Hypatia dan Yesus

Hypatia, filsuf perempuan, ahli matematika dan astronomi, yang hidup akhir abad empat sampai awal abad lima, mungkin saja tak akan mati tragis, seandainya ia bertobat menjadi Kristen. Tapi, pilihan itu tidak diambilnya. Hypatia tetap bertahan sebagai seorang yang mencintai ilmu pengetahuan meski harus mati ditelanjangi, tubuh dirobek oleh para manusia-manusia ganas yang sedang, katanya, menyampaikan Kabar Baik.

Ayah Hypatia adalah Theon, seorang guru dan ahli matematika dari Alexandria. Sejarah mencatat, Hypatia kemungkinan lahir antara 350 dan 370 dan meninggal pada Maret 415. Hypatia mati dibunuh oleh orang-orang Kristen awal itu. Ia dituduh menjadi dalang kerusuhan agama di masa itu.

Sebuah catatan tentang Hypatia menceritakan bahwa perempuan ini cerdas. Ia senang mengenakan pakaian khas seorang sarjana atau guru, bukan pakaian yang dikenakan perempuan pada umumnya. Dia bergerak dengan bebas, mengemudi kereta sendiri. Sebagai seorang perempuan, masa itu, sikapnya ini bertentangan dengan norma atau perilaku umum masyarakat. Tapi, dia baik hati. Davus, budaknya itu, telah dibebaskannya sebagai manusia merdeka. Meskipun, akhirnya Davuslah –yang begitu terhipnotis dengan kekristenan – yang membunuh dia.

Nama Hypatia bermakna ”tertinggi”. Mungkin, ada sebuah harapan dari kecerdasan dan komitmennya Hypatia mencapai pengetahuan yang tertinggi. Dan, benar. Teorinya tentang peredaran planet-planet yang berpusat pada matahari, kemudian hari terbukti sebagai yang benar. Keyakinan pengetahuan itu sangat bertentangan dengan keyakinan buta gereja di masa itu. Gereja meyakini bahwa bumilah pusat tatasurya. Teori Heliosentris ini, sebelumnya sudah diajukan oleh Aristarkus dari Samos. Teori heliosentris telah berhasil dihidupkan kembali hampir 1800 tahun kemudian oleh Copernicus dan dimodifikasi oleh Johannes Kepler dan Isaac Newton .

Ciryl, pemimpin kelompok Kristen yang militan itu sangat memusuhi sains, orang-orang pagan dan Yahudi. Suatu waktu, Ciryl mengutip ayat alkitab dan membacakannya di hadapan Orestes, bekas murid Hypatia yang saat itu telah menjadi gubernur Alexanderia. Ciryl berkata: “Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah. Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.”

Maksud Ciryl adalah untuk mengingatkan Orestes tentang sikap Hypatia yang menurutnya tidak pantas itu. Juga, bermaksud agar si Orestes ‘bertobat” dan masuk ke agama Kristen. Tapi, Orestes tidak bergeming. Ia tetap sebagai dia.

Hypatia hidup di masa ketika kekristenan sementara bertumbuh dengan pesatnya. Ketika Flavius Valerius Aurelius Constantinos atau umum dikenal sebagai Konstantinus Agung menerima agama Kristen dan menjadikannya sebagai agama resmi negara, maka menjadi kuatlah posisi agama ini. Kalau dulu pengikut agama Kristen yang dikejar-kejar oleh penguasa Romawi, mulai saat itu, agama Kristenlah yang balik menjadi pengejar. Sasarannya para pengikut agama Yahudi, yang disebut beragama pagan (kafir) atau yang mengembangkan ilmu pengetahuan (sains) yang berbeda atau bahkan menyerang paham/doktrin resmi gereja. Hypatia kemudian menjadi salah satu korban ‘arogansi’ para pengikut agama Kristen di masa itu.

Padahal permulaan abad pertama, Yesus, si anak tukang kayu itu telah disiksa dan mati tersalib akibat konspirasi antara petinggi-petinggi agama Yahudi dengan penguasa Romawi. Yesus kemudian menjadi tokoh sentral agama Kristen. Hingga kini, berita peristiwa kematian dan kabar kebangkitan Yesus terus menjadi tema sentral pemberitaan gereja. Gereja dan orang-orang Kristen tidak hanya menjadikan itu dogma, tetapi selalu berusaha mengatakan bahwa itulah inti iman Kristen. Seolah, tanpa kematian dan kebangkitan Yesus maka tidak ada kehidupan. Makanya, peristiwa kematian Yesus akibat kekerasan kemudian diterima dan diimani sebagai bagian dari rencana Allah.

Menariknya, agama yang berkembang dari pemberitaan mengenai kematian dan kebangkitan Yesus, pada awal-awal perkembangannya justru berubah menjadi arogan seperti para petinggi Yahudi yang telah membuat sebuah konspirasi untuk membunuh-Yesus. Menjadi Kristen seperti tindakan-tindakan arogan para militan Kristen di abad 4 itu tentu sebuah pergeseran dari teladan kehidupan Yesus sesungguhnya. Mungkin ada kaitan antara arogansi beragama seperti itu dengan dogma, bahwa Yesus telah mati dan bangkit untuk menebus dosa-dosa umat manusia. Karena ini menjadi sentral dalam agama Kristen, maka dogma ini bisa menjadi pembenar tindakan militan dan arogan untuk memusuhi orang lain. Maksudnya, bahwa dogma darah yang Yesus yang menebus dosa-dosa manusia itu sangat mungkin telah berubah menjadi kemutlakan dan bisa dipakai sebagai legitimasi teologis untuk melakukan apa saja bagi orang lain.

Mungkin kita perlu mengevaluasi dogma tersebut ketika gereja masih sering melakukan kekerasan verbal kepada orang lain. Saya justru berpikir bahwa kematian dan kebangkitan bukanlah inti atau sentral dari karya Yesus yang sudah terlanjur diteladani oleh gereja sepanjang masa. Inti dari kehadiran Yesus sehingga Dia diidentifikasi sebagai mesias, Anak Tuhan atau bahkan Tuhan adalah pemberitaanNya mengenai Kerajaan Allah. Jadi, kematian-Nya yang memang historis itu adalah konsekuensi dari komitmen dan konsistensinya memberitakaan kerajaan Allah. Kerajaan Allah adalah sebuah konsepsi mengenai bagaimana suasana hidup itu dilingkupi dengan semangat dan spiritualitas ilahi. Ada panggilan menjadi warga kerajaan Allah, bahwa semua yang ada di bawah kolong langit ini akan hidup dalam keadilan, kesetaraan, kedamaian dan kesejahteraan. Sebab, monoteistiknya Tuhan macam ini memiliki konsekuensi ketaatan pada asas-asas hidup bersama.

Konsep Yesus mengenai Kerajaan Allah tidak politis dan materialistis, seperti yang dipikirkan oleh orang-orang Yahudi pada zamannya. Konsep ini memang bertentangan dengan logika kekuasaan agama yang mapan, seremonialistik dan berorientasi pada kekuasaan. Maka karena itulah sehingga karya Yesus: pengajaran, mujizat, tindakan-tindakan yang menembus batas-batas perbedaan yang sangat tidak biasa di zamannya, dinilai oleh para penguasa agama sebagai tindakan subversif. Yesus memang mengancam kenyamanan kekuasaan agama para elit Yahudi. Tiada cara lain untuk mempertahankan kemapanan dan kenyamanan kekuasaan agama dari para elit-elit Yahudi itu selain membunuh Yesus.

Menariknya, Yesus tidak lari dari kenyataan itu. Meskipun, ketika berdoa di taman Getsemani Yesus sempat bergumul hebat dengan penderitaan yang akan dialami-Nya. Dia tetap komit dan konsisten dengan idealismenya. Konsekuensinya adalah pengosongan diri total, yaitu mati secara tragis karena konspirasi politik yang tidak adil. Menurut saya “kematian” bukanlah visi dari Yesus. Itu konsekuensi dari komitmennya membebaskan manusia dari penjajahan kekuasaan dan ketidaktahuan. Kebangkitan kemudian menjadi semacam metafor visi yang sebenarnya, yaitu kehidupan, terbebas dari maut. Mungkin, tidak berlebihan jika saya mengatakan ‘kebangkitan” ini juga bermakna pencerahan. Dan, ‘kebangkitan” kehidupan itu menurut saya tidak terutama pada kebangkitan pasca penyaliban, tapi secara nyata itu telah diberitakan Yesus ketika melakukan mujizat (yang terutama dari mujizat-mujizat itu adalah pemosisian kembali hakekat kemanusiaan manusia), pengajaran-pengajaran yang sangat religius, aksi-aksi yang membebaskan kaum terpinggir dan tertindas secara kultural-keagamaan, dan termasuk ketaatan pada penggilan untuk mengosongkan diri. Di dalam semua itu, sesungguhnya Yesus sedang menghadirkan Kerajaan Allah. Dan, ternyata idealisme Kerajaan Allah harus bertarung dengan kerajaan duniawi, yang politis, dogmatis dan status quo. Kebangkitan yang sesungguhnya adalah aksi membebaskan kehidupan dari penjajahan fisik dan pemikiran oleh kuasa-kuasa buatan manusia yang politik, dogmatis dan materialistis tersebut.

Jadi, ketika gereja memberitakan kematian dan kebangkitan, mestinya tidak memisahkannya dari karya-karya Yesus yang besar dan agung semasa Dia hidup. Gereja terpanggil untuk menggali makna-makna pemberitaan Yesus tentang Kerajaan Allah. Juga termasuk bagaimana meneladani komitmen dan konsistensi Yesus ketika memberitakaan Kerajaan Allah, yaitu pengosongan diri. Pengosongan diri adalah pemaknaan terhadap sikap Yesus yang rela menderita dan mati.

Hypatia mungkin cuma salah satu dari korban penyempitan atau bahkan kekeliruan pemaknaan terhadap pribadi Yesus. Sekarang kita menyaksikan nama Yesus diteriakkan bahkan dipakai semacam mantra di tanah-tanah lapang atau gedung-gedung mewah full AC. Yang lainnya, nama Yesus dipakai untuk memperkuat institusi gereja dan terkadang konsekuensinya adalah ‘penyliban” kehidupan untuk warga gereja. Bahkan, nama Yesus juga dipakai untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan politik, dan juga untuk melegitimasi usaha-usaha memperkaya diri dan kelompok. Kita juga sering mendengar, doktrin kematian dan kebangkitan Yesus dipakai untuk menyatakan arogansi agama Kristen. Seolah-olah ‘darah’ Yesus adalah cap ilahi untuk mengesahkan kekhususan dan kekuasaan agama gereja/agama Kristen terhadap komunitas keagamaan yang lain.

Akhirnya, dalam kenyataan bergereja sekarang ini seolah-olah orientasinya adalah kekuasaan dan kemapanan material saja. Memang tidak semua orang Kristen atau institusi gereja memperlihatkan sikap dan cara pikir seperti yang digambarkan di atas. Tapi, kecenderungan yang kasat mata tampak dalam banyak fenomena bergereja sekarang ini. Sehingga, lepas gereja atau kita sendiri berada dalam posisi mana dalam realitas itu, setidaknya kita memiliki kesempatan dan hak untuk merenungi terus menerus arti menjadi orang-orang yang meneladani karya Yesus.

Pembaharuan pemikiran berteologi yang terus menerus adalah keharusan dalam bergereja. Agama Kristen lahir dari usaha pembaharuan Yesus di awal abad pertama. Sehingga, adalah teologis ketika perenungan termasuk penilaian kembali terhadap makna berita kematian dan kebangkitan dilakukan terus menerus. Sejarah membuktikan itu, bahwa tindakan dan pemikiran gereja yang dulunya dianggap paling benar pada perkembangannya di kemudian hari ternyata disadari keliru. Hypatia dan Galileo, misalnya yang pernah dinyatakan sebagai musuh gereja karena mengembangkan pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, di kemudian hari terbukti bahwa mereka yang benar dan gereja yang salah.

Tomohon-Motoling, 18 April 2011

0 komentar: