Sabtu, 14 Desember 2013

Belajar dari Tragedi Masa Lalu, Pilih Jalan Pembebasan


Di Manado ada acara bedah buku, tepatnya di aula Teater Fakultas Ilmu Budaya Unsrat Manado. Hari itu, Kamis, 5 Desember 2013. Ada dua buku yang dibedah, buku 1965: Indonesia dan Dunia dan buku Sulawesi Bersaksi. Pembicara pada bedah buku itu mner Alex Ulaen, Fredy S. Wowor, keduanya dosen di fakultas setempat dan Putu Oka Sukanta dari Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan, Jakarta. Cukup banyak orang yang berminat mengikuti diskusi bedah buku tersebut.

Kedua buku tersebut bicara tentang peristiwa tahun 1965 atau yang lebih dikenal dengan “G30S” (Gerakan 30 September). Lebih khusus buku "Sulawesi Bersaksi" berisi kisah-kisah dari ingatan para penyintas, yang telah mengalami stigmatisasi, diskriminasi dan bahkan trauma sepanjang hidupnya karena peristiwa G30S tersebut.

Saya tidak akan membahas tanggapan saya atas isi kedua buku itu dalam tulisan ini. Saya lebih tertarik untuk bicara refleksi pribadi saya atas tragedi Permesta (1957-1962) dan G30S (1965). Dua tragedi yang terjadi di saat saya belum lahir, namun dampaknya terasa ketika saya masih kanak-kanak (tahun 80-an) hingga remaja (90-an).

Saya generasi yang lahir pertengahan tahun 70-an. Sehingga, relatif nanti di tahun 80-an baru mulai mengerti apa yang terjadi di akhir tahun 50-an dan awal hingga pertengahan tahun 60-an itu. Yang masih jelas tersimpan dalam ingatanku mengenai Permesta adalah cerita-cerita dari opa dan oma saya.

“Ngoni kira sedap tu perang. Torang so rasa kamari tu perang sudara, kasiang. Menderita.” Beberapa kali saya mendengar ucapan itu dari oma dan mama saya.

Ungkapan itu adalah refleksi atas pengalaman mereka sebagai para penyintas karena Perang Sodara di masa Pergolakan Permesta tahun 1957 hingga 1962. Dari Kawangkoan menyingkir ke Ongkaw, pernah di tempat penyingkiran sekitar Roong Tondei, ke Raanan Baru lalu ke Motoling dan menetap di sana. Opa dan oma saya memiliki 7 orang anak, 2 perempuan dan 5 lainnya laki-laki. Mereka semua selamat dalam perjalanan penyingkiran: dari Kawangkoan hingga Motoling. Satu hal yang pernah saya dengar dari oma dan mama saya, bahwa mereka bisa lolos karena keminahasaannya. “Opa tahu ja ba dengar burung,” kata mama saya.

Cerita-cerita mengenai perjuangan keluarga opa dan oma saya di masa pergolakan Permesta juga kondisi mengerikan karena perang sudara itu kebanyakan saya dengar di meja makan, biasanya acara makan di malam hari. Kami sekeluarga makan bersama, setelah itu mulai opa, oma, mama dan om-om saya bercerita. Itu di saat saya kanak-kanak. Di masa dewasa, sekarang, saya merasakan betapa berartinya cerita-cerita itu.

Cerita yang pernah menimbulkan pertanyaan, dan akhirnya menemukan jawabannya sekarang adalah tentang apa yang mereka saksikan sendiri di masa itu: orang-orang mengungsi, termasuk mereka. Melihat langsung mayat-mayat, rumah-rumah yang hancur, keluarga tercerai-berai, dan sekeluarga di sebuah “sabuah” di tempat pengungsian semuanya mati dibunuh. Lebih mengerikan lagi, cerita opa saya, ada seorang laki-laki muda yang baru menikah, tidak lewat beberapa hari setelah pernikahannya, mati dibunuh oleh kelompok orang-orang Minahasa lain yang berbeda garis ideologi.

Perang sudara di masa pergolakan Permesta benar-benar terjadi. Sesama tou Minahasa, satu roong, satu garis keturunan, cuma karena yang satu PKI dan yang satu Permesta, mereka saling tuduh, saling lapor, dan saling bunuh. Sebuah tragedi yang pernah terjadi di Minahasa. Kisah atau narasi yang saya dengar dari keluarga saya mungkin kecil secara kuantitas dibandingkan dengan cerita heroik Permesta dalam cerita versi para elit-elitnya seperti yang tertuang dalam buku Permesta: Pemberontakan Setengah Hati karya Barbara S. Harvey (1984) atau buku-buku Permesta lainnya. Namun, bagaimanapun, pergolakan Permesta, yang rillnya ada di kampung-kampung, perang sudara itu, adalah sebuah tragedi yang telah mengubah tata sosial, politik dan budaya Minahasa. Tragedi ini telah mewariskan sebuah cara pandang lain sama sekali terhadap makna sebagai Tou Minahasa dengan kebudayaannya. Ada Permesta dan negara memperhadapkannya dengan isu komunis (PKI). Dalam konteks Minahasa, tentu orang-orang Permesta dan PKI itu adalah Tou Minahasa. Mereka saling tuduh, saling lapor dan saling bunuh. Negara di mana? Negara mengirim tentara-tentara dari pusat. Tapi juga, Perang Dingin, kapitalisme versus komunisme menjadi konteks global perang sudara Permesta tersebut.

Dan, di tahun 1965, terjadi lagi sebuah tragedi. Ia di Jakarta sebenarnya. Tapi, dampaknya sampai ke Minahasa pula. Setelah hancur-hancuran dengan tragedi perang sudara Permesta beberapa tahun sebelumnya, isu komunisme, ateisme yang ditujukan kepada orang-orang PKI, setelah 1 Oktober 1965 begitu cepat menyebar dengan daya rusak yang luar biasa. Hingga tahun 90-an, dampaknya masih sangat terasa. Orang-orang PKI banyak yang masuk penjara, hilang, dibantai, dan anak-anaknya mengalami stimatisasi, diskriminasi dan marginalisasi.

“Dasar PKI,” sebuah makian yang sering saya dengar di masa saya remaja. Begitu kuatnya stigma bahwa PKI adalah partai yang mengkudeta presiden Soekarno, ajarannya ateisme dan lain sebagainya, maka PKI kemudian jadi makian. “PKI” menjadi kata teror dalam masyarakat. Ia selain disamaartikan dengan ateisme, juga diidentikkan dengan makar terhadap negara. Dengan demikian, agaknya kata “PKI” telah dipakai oleh rezim untuk meneror kesadaran massa demi kokohnya nasionalisme negara, demi mulusnya pembangunisme dan demi langgengnya Soeharto dan kroni-kroninya.

Karena begitu kuatnya stigma yang dilekatkan pada PKI dan orang-orangnya, di tahun 90-an, bahkan pernah ada seorang teman sekolah saya, ditegur oleh guru sekolah kami, “Bilang pa ngana pe papa, kase turung tu bendera PDI di muka rumah pa ngoni. Kalo nyanda, ngana nda mo nae kelas.” Rupanya, maksud guru itu, dan itu tertanam benar dalam otaknya, bahwa PDI sama dengan PKI. Artinya, karena PDI bukan partai pemerintah (Golkar yang sebagai partai pemerintah di masa itu), maka ia semacam mau bilang, bahwa partai itu “subversif” atau “makar”. Guru itu sangat terpengaruh dengan stigma yang ditanamkan pemerintah, bahwa PKI adalah partai dan ideologi terlarang. Maklum, setiap orang yang akan melamar menjadi PNS dan tentara atau polisi di masa itu pasti akan melewati apa yang disebut Litsus (penelitian khusus), "bersih diri" dan "bersih lingkungan."

***
Kemudian, kira-kira 50 tahun setelah dua tragedi itu, saya lalu bertanya, “Lalu, apa untungnya orang Minahasa dengan perang sudara itu?” “Apakah orang-orang Minahasa di masa itu, dan generasinya hari ini benar-benar berkepentingan dengan perang atau pilihan-pilihan ideologi itu?” “Apa yang generasi Minahasa hari ini boleh rasakan dengan dua tragedi itu?”

Hal yang menjadi refleksi saya sebagai orang Minahasa mengenai, baik Permesta tahun 1957-1962 maupun G30S tahun 1965, adalah bahwa ternyata di satu masa orang-orang Minahasa harus terjebak pada sebuah kepentingan yang sebenarnya bukan kepentingan atau kebutuhannya. Mereka harus menerima akibat dari pertarungan kepentingan elit, pertarungan ideologi (global), yang sebenarnya tidak harus demikian kalau seandainya Jakarta bukan sebagai pusat kekuasaan yang hegemonik. Tidak perlu ada perang sudara kalau keminahasaan itu adalah kemerdekaan. Merdeka dari kepentingan politis-ideologis yang sesaat dan ‘batantu” dalam keminahasaan.

Sebagai generasi Minahasa hari ini, pelajaran yang saya bisa petik dari dari dua peristiwa dan tragedi itu bahwa, pertama-tama adalah keharusan untuk menjadi generasi yang berani memilih jalan yang dipilih dengan kesadaran penuh agar tidak terantuk pada batu yang sama. Sebuah jalan yang bukan hasil indoktrinasi ideologis-politis sekelompok orang yang berkuasa; sebuah jalan yang tidak menyempitkan makna luhur dari keminahasaan hanya dengan logika politik-ekonomi kekuasaan belaka; sebuah jalan yang tidak menurut ambisi seseorang atau kelompok elit. Jalan atau cara itu adalah sesuatu yang lahir dari refleksi mendalam atas sejarah dan pengetahuan-pengetahuan warisan leluhur, atas harapan masa depan Minahasa dan kemanusiaan serta refleksi mendalam atas pergulatan hidup komunitas hari ini. Itulah JALAN PEMBEBASAN....


Talete, 5 Desember 2013

0 komentar: