Minggu, 08 Mei 2011

Kawangkoan yang Aku Kenal

Oleh Denni Pinontoan

Rumah-rumah kopi masih berjejer. Masih ada Toronata, tapi juga sudah bertambah Sarinah. Kalau Gembira sudah lama. Tapi ada yang sudah tak tampak, Bepi. Biapong, Roti Bakar dan Kopi susunya, masih khas Kawangkoan. Di depan rumah kopi Sarinah, sudah ada semacam bangsal. Yang aku dengar, itu dibangun oleh orang-orang Kawangkoan di perantauan. Mereka menyebut diri “Kumawangkoan”. Biasanya, kalau mereka pulang, bangsa permanen itu adalah tempat untuk menggelar macam-macam kegiatan.

Pusat pertokoan Kawangkoan, malam itu memang sudah sedikit berbeda. Sedikit ramai dibanding 20 tahun yang lalu. Ketika aku di sini di sekitar tahun 1985-1989. Bersekolah di Sekolah Dasar GMIM I, di samping Gereja GMIM “Sion” itu. Waktu itu aku masih kanak-kanak. Ketika masih ada bioskop Gembira di pertigaan menuju ke Uner itu. Dan, terminal, memang sudah begitu adanya, hingga sekarang. Kacang tore-nya juga sudah gurih dan enak dimakan, asalkan gigi masih sehat-sehat.

Di Sendangan aku menikmati masak kanak-kanak itu. Banyak permainannya. Mulai dari main kelereng, main gambar-gambaran, keliye, layang-layang, nonton video yang dibayar, sampai main ”koba” yang memang sudah berjudi itu. Pernah juga kami main perang-perangan.

Di Talikuran, waktu itu belum ada “tugu kacang”. Belum juga ada rumah makan ragey yang terkenal itu. Kampung baru, sesudah pekuburan umum itu, baru mulai ditempati. Tapi, SPBU memang sudah ada dari dulu.

Di Kinali, dari dulu memang sudah ada tempat permadian air panas. Begitu juga dengan tukang sangrai kacang yang sudah ada sejak aku belum ada di sana itu.

Dan, di Kanonang, waktu itu belum ada Bukit Kasih. Watu Pinawetengan di Desa Pinabetengan sudah ada bangunan yang menutupinya. Setiap tanggal 3 Januari, biasanya kami pergi ke sana.


Malam ini aku ada di kota kecil ini. Aku bertemu dengan teman lama. Teman bermain di masa kanak-kanak. Sudah sedikit berubah teman itu. Tapi, dia memang masih mengenal aku. Aku juga, menurut dia sudah berubah. Dia mengajak aku minum se sloki ”ciu” (begitu orang Kawangkoan sering menyebut cap tikus). Tak lama kami bertemu. Cuma sedikit bertanya kabar, kamipun berpisah.

Dan, aku pun teringat banyak kenangan di kota kecil Kawangkoan, yang tak banyak berubah itu.

Kawangkoan yang aku kenal, adalah kota di mana aku mengenal siapa aku. Bahwa, meski sedikit, tapi aku bisa berbahasa Tountemboan, itu karena keluargaku berasal dari Kawangkoan. Opa, yang ahlinya adalah membuat gerobak sapi, bermarga Pinontoan, berasal dari Talikuran. Omaku, seorang perempuan yang memiliki jiwa keibuan, yang sampai sekarang aku masih kenang. Ibuku juga lahir di Kawangkoan. Aku sendiri memang lahir di kota kecil ini, tepatnya di Puskemas di Uner itu sekitar 32 tahun yang lalu.

Opa bernama Handris Pinontoan. Omaku, Mathilda Tumbelaka. Opa dan oma, serta keluarganya, termasuk mama dan kakak beradiknya bermigrasi ke Motoling pada sekitar tahun 1958, ketika pecah pergolakan Permesta. Opaku memang bukan tentara Permesta. Dia hanya menjalani hidupnya, sebagaimana dia harus menghidupi keluarganya.

Om Arie, kakak mama bercerita, keluarga opaku harus bermigrasi ke Motoling, ketika tentara Pusat memulai membom Manado pada Februari 1958. ”Tentara pusat waktu itu membom kantor penyiaran RRI (Radio Republik Indonesia-red) dan tangki minyak di Sario, Manado. Sementara tentara Pusat nanti mendarat di Minahasa pada bulan Juni di Kema,” ujarnya.

Dia sempat bercerita tentang suasana bulan Juli tahun 1958, ketika opa sekeluarga mengungsi ke bagian selatan Minahasa. “Dari kawangkoan, sampai di Kapitu, sepanjang jalan di penuhi dengan rakyat sipil yang mengungsi. Torang waktu itu, naik roda kuda, yang lainnya jalan kaki,” kenangnya.

Tapi, kata Om Arie, opa sekeluarga belum lansung ke Motoling. Tujuan opa sekeluarga adalah ke Ongkaw. Di sana, anak opa yang tua, Om Viktor bekerja sebagai tukang gerobak ”Sementara banyak orang memilih ikut jalan ke kiri di pertigaan Desa Kapitu, torang ikut jalan menuju ke Tinawangko, Ongkaw” ujarnya.

Nanti setahun kemudian, menuju ke tempat pengungsian di pinggiran Desa Tondey. Juga sempat beberapa bulan di Desa Raanan Baru. ”Nanti tahun 1962 baru opa sekeluarga masuk ke Motoling,” terangnya.

Begitulah cerita singkatnya, kenapa aku, dan juga keluarga besar Opa menetap di Motoling di Minahasa Selatan itu. Di sana, dari sejak tahun 1962 itu, Opa menjadi ”bas” (sebutan masyarakat setempat untuk tukang gerobak sapi). Karena itulah, sapaan masyarakat Motoling untuk opaku adalah ”Om Bas”. Tapi itu tidak berlanjut untuk anak-anaknya, om-omku.

Malam ini, aku berada di kota kecil yang punya kaitan cerita dengan keluargaku. Aku tak dapat membayangkan bagimana kota ini, di sekitar 51 tahun lalu, ketika Opa sekeluarga masih hidup di sini. Aku juga tak bisa bayangkan, bagimana adanya aku ini jika tak ada pergolakan Permesta itu. Opa sekeluarga barangkali tetap di sini. Aku barangkali tak pernah mengenal Motoling dengan akrab. Aku, di sini malam ini, mungkin bukan sebagai orang ”asing”. Dan cerita ini tak perlu aku tulis.

0 komentar: