Selasa, 10 Mei 2011

Membunuh Kata

Sebuah Cerpen Denni Pinontoan

Rina bingung. Kata-kata itu terus menghantuinya. “Surga” atau “neraka”! Tadi, di gereja khotbah pendeta seolah mendikte dia. Berlaku baik pahalanya adalah surga. Suka memarahi orang, ditunggu oleh pendosa di neraka. Kira-kira begitu pesan khotbah si pendeta yang tertancap benar dalam ingatannya.

Sebenarnya, sudah jelas, bahwa Rina memilih surga, bukan neraka yang membakar itu. Sudah sejak sekolah minggu Rina mendengar kata-kata itu. Tapi di usia mendekati 30 tahun, Rina merasa khotbah pendeta itu semakin tak bermakna.

”Kan, sudah tahu. Kenapa diulang terus kata-kata itu? Apa tidak ada yang lain?” Rina bertanya dalam kebingungan.

Rina memang sedang bingung. ”Surga” atau ”neraka”. Kata-kata itu terus mengejar dia. Padahal, malam semakin larut. Nanti kira-kira pukul 3 subuh pagi, Rina baru tertidur. Dia kelelahan dikejar oleh kata-kata itu.

***

”Surga atau neraka!!” Rina berteriak. Diapun terbangun dari tidurnya yang terpaksa itu.

Ketika kata-kata itu memaksa Rina bangun, matahari sudah cukup terik. Jam di dinding kamar Rina menunjuk angka 11.15. Ini berarti Rina sudah sangat terlambat untuk ke tempat kerjanya.

”Busyet! Gara-gara ’surga’ dan ’neraka’ aku tak kerja!”

Rina ke kamar mandi. Pipis, suci muka dan gosok gigi.

”Aku harus membunuh kata-kata itu dalam pikiranku. Dia tidak boleh membuat aku jadi kacau seperti ini. Tapi caranya?”

Rina masih bingung. ”Membunuh kata? Apa mungkin?”

”Aku haus. ’Haus?’ Rasa ingin minum air istilahnya ’haus?’ Kenapa aku tidak bilang ’tidur?’ Oh, tidak bisa. Semua orang di Indonesia ini, kalau berasa ingin minum air, menyebut kata ’haus’. Jadi tidak mungkin aku menggantinya dengan kata ’tidur’.” Rina membuat pikirannya tambah bingung.

Segelas air putih benar-benar habis ditelannya. Tadi Rina haus, sekarang tidak lagi.

”Aku membunuh kata ’haus’ dengan air. He...he...Sekarang tidak perlu lagi aku menyebut ’haus’. Tapi, bukankah nanti aku akan ingin minum lagi. Haus, ya aku bakal haus lagi. Jadi, aku belum membunuh ’haus’?

Rina memang belum bisa membunuh ’haus’. Dia masih akan ingin minum lagi dan di situ ’haus’ datang lagi. Belum lagi, jika dia rasa ingin makan. ’Lapar’ akan datang menyuruh dia untuk mengisi perutnya dengan makanan.

”Aku tahu. Untuk membunuh ’haus’ aku tak perlu menyebut kata itu. Jika berasa ingin minum air, tak perlu aku sebut ’haus’ dulu baru meneguk air. Sebab, aku minum air bukan karena ’haus’ menyuruhku, melainkan karena memang aku harus minum air. Dan itu alamiah. Begitu juga kalau ingin makan, bukan karena ’lapar’ menyuruh aku, melainkan karena aku harus makan. Ha...aku berhasil membunuh ’haus’ dan juga ’lapar’.”

Rina girang. Seperti baru dicium kekasihnya yang ganteng itu. Tak dia sadar, sudah dua gelas air putih yang dia minum.

”Hmmm...Jika aku bisa membunuh ’haus’ dengan mengusir dia dari kepala ini, maka apakah mungkin aku bisa membunuh ’surga’ dan ’neraka’? Mungkin bisa. Tapi, bukankah kata-kata itu terlalu sakral? Tapi, adakah kata-kata yang sakral? Apa kata-kata itu beragama?”

Kini, Rina sedang makan. Ia sementara mencicipi nasi goreng sisa tadi malam. Rina makan dengan lahap meski masih dalam kebingungan.

”Yup. Kata adalah kata. Ia tidak sakral sehingga sudah jelas tidak beragama. ”’Surga’ dan ’neraka’ adalah kata. Mereka hanyalah ’tanda’. Aku bisa membunuh kata-kata itu! Ya, aku bisa membunuh ’surga’ dan ’neraka’. Hore!!! Aku bisa...!!!” Rina kegirangan bersama sesendok nasi goreng terakhir di mulutnya.

Rina mengunyah nasi goreng terkahir itu. Wajahnya berseri. Kini tak ada lagi kata-kata yang menghantui dia.

”Hmmm....Aku memberikan uang seribuan kepada pengemis di perempatan jalan itu bukan karena ’surga’ menyuruh aku. Aku buang sampah pada tempatnya bukan karena ’neraka’ menakut-nakuti aku. Aku tidak memanipulasi laporan keuangan di kantor bukan karena ’surga’ mengiming-imingi aku pahala. Aku menjadi orang baik dan bukannya menjadi orang jahat, ya karena aku harus menjadi orang baik. Aku tidak menjadi orang jahat, karena aku memang tidak ingin hidup dalam kejahatan. Itu saja. Titik”

0 komentar: