Senin, 19 Desember 2011

Bakar Diri, Bakar Kerasnya Kemapanan

Seorang aktivis, yang selalu gelisah dengan kondisi bernegara, Sondang Hutagalung, 7 Desember lalu membakar dirinya. Memang tak tahu motivasinya apa. Yang jelas, Sondang melakukan bakar diri itu di depan istana negara. Biasanya, kita mendengar orang – yang kemudian disebut-sebut teroris – melakukan bom bunuh diri. Kalau Sondang bakar diri, korbannya adalah dia seorang. Tapi kalau teroris bom bunuh diri, korbannya, selain pelakunya juga sering dengan orang lain.

Di Tunisia, Mohamed Bouazizi, seorang lulusan sebuah universitas, juga melakukan aksi bakar diri. Ia seorang pedagang buah-buahan dan sayuran di pasar. Bouazizi sering berhadapan dengan polisi Tunisia yang menyita barang dagangannya dengan alasan ia tidak memiliki izin berjualan. Di Mesir di Kairo, Abduh Abdulmoneim dari Qantara, juga bakar diri. Ia melakukan aksi nekat itu di depan gedung parlemen. Menurut media, alasannya sederhana, Abdulmoneim protes karena tidak mendapatkan jatah roti untuk restorannya.

Di Tibet, protes terhadap kerasnya peraturan pemerintah terhadap ajaran Budha di sana, seorang biksu berusia sekira 17-18 nekat pula melakukan aksi bakar diri. Saat membakar dirinya, Biksu bernama Kalsang tersebut memegang foto Dalai Lama, pemimpin Budha yang diasingkan. Dia meminta kebebasan beragama serta kemerdekaan di Tibet.

Di abad pertengahan, gereja Roma Katolik, dengan hukum inkuisisinya banyak kali melakukan hukum bakar hidup-hidup orang-orang yang dituduh sesat, kafir, penyihir dan yang melawan ajaran gereja. Inkuisisi adalah pengadilan Gereja abad pertengahan yang pertam-tama diperuntukkan bagi yang dituduh bidat, atau sesat.

Tentu, aksi bakar diri sebagai protes oleh Sondang, Bouazizi, Abdulmoneim, Kalsan, dan banyak kasus lain lagi, berbeda dengan yang dilakukan oleh gereja Roma Katolik pada abad pertengahan. Namun, semua itu berkenaan dengan kerasnya ”kemapanan”, baik ideologi, kekuasaan politik negara maupun agama.

Setelah gugatan dalam bentuk pamflet, poster, spanduk, massa yang turun ke jalan sambil berteriak-teriak lantang memprotes ketidakadilan, bakar ban mobil dan berbagai cara lainnya dirasa tak lagi efektif untuk menggugat kemapanan ideologi, kekuasaan dan juga doktrin-doktrin absolut konstruksi elit, maka, bakar diri adalah pilihan yang dirasa tepat oleh beberapa orang itu. Membakar diri, mengingatkan kita pada praktek agama-agama, korban yang dipersembahkan kepada Sang Khalik yang dibakar. Seolah membakar kefanaan ragawi menuju kekekalan roh.

Membakar diri untuk menggugat, merefleksikan kepada kita hubungan yang timpang antara Penguasa dan yang dikuasai. Doktrin mempersembahkan yang terbaik bagi sesuatu yang kita tidak tahu apa atau siapa dan di mana itu telah menyesatkan kesadaran kaum yang dikuasai agar menjadi hamba yang tidak berarti apa-apa. Membakar diri sendiri tentu berbeda dengan diri yang dibakar secara pasif oleh penjagal. Membakar diri secara aktif adalah gugatan, dan diri yang dibakar orang adalah korban yang tidak berdaya. Namun, keduanya menunjuk pada kekuasaan yang membakar. Absolutisme ideologi, kekuasaan dan dogma begitu dahsyat, yang pada titik panas tertentu dia menghasilkan api amarah yang luar biasa panasnya!

Membakar diri untuk aksi protes, sepertinya menunjukkan sebuah ritual. Betapa sesuatu yang tidak kasat mata, yang bernama ideologi, kekuasaan atau dogma itu sudah begitu berkuasa atas diri manusia. Dia seperti dewa atau sesembahan yang oleh mitos dan mistifikasi berhasil mencabut manusia dari kesadaran nuraninya. Sehingga untuk menggugatnya tubuhpun harus menjadi korban. Dalam kesementaraan di dunia, tubuh sebenarnya begitu berharga. Meskipun, eksistensi, keberadaan si manusia itu juga ditentukkan oleh roh, jiwa, kehendak, dan ide. Dengan demikian, tubuh dan roh, mestinya tidak lagi harus dipahami sebagai dua yang sementara bersatu, dan nanti bercerai dengan kematian.

Sondang membakar raganya di depan mezbah bernama istana negara. Di situ sang raja, sang penguasa bertakhta dengan segala ideologi dan dogmanya. Yang oleh Sondang, ideologi dan dogma-dogma itu mungkin dianggap sebagai bentuk arogansi, kesemuan ataupun keberdosaan yang harus disucikan dengan tubuhnya. Kerelaan menjadikan tubuh sebagai korban penyucian, adalah sebuah pilihan tertinggi bagi seorang hamba. Dan, itu mestinya sebuah persembahan yang bernilai tinggi, karena ia mulia. Lebih dari itu, ini mestinya simbol gugatan pada sesuatu yang sudah sangat destruktif. Yang hanya dapat dihancurkan dengan korban bakaran tubuh sang manusia. Dan mestinya, kabar tentang tubuh Sondang yang hangus terbakar dapat menyalakan kesadaran, membakar segala kesemuan yang melekat dalam nurani massa negeri ini.

Raga telah hangus terbakar. Namun, ia meninggalkan pesan yang tidak perlu susah-susah dicari di beberapa detik sebelum api itu menyala di tubuh. Pesanya, ideologi, kekuasaan dan dogma bernegara, nasionalisme atau apalah istilahnya yang menunjuk pada sesuatu yang status quo dan absolut, selalu menuntut korban. Kita tak perlu mengulang cara bakar diri itu, tetapi yang terpenting adalah maknanya. Ritual bakar diri mengisyaratkan kemarahan yang sangat terhadap apa yang selalu menuntut disembah, yaitu negara, tetapi tidak (pernah) memberi kebahagian.

Bagi saya, pesan tubuh Sondang yang menyala adalah sebuah panggilan untuk segera menghancurkan segala kesadaran semu hasil indoktrinasi ideologi, kekuasaan dan dogma nasionalisme. ”Kenapa harus ada rakyat yang merelakan tubuhnya terbakar hangus di depan istana negara?” Ini tentu tidak harus dibaca sebatas ungkapan kekecewaan saja. Pesannya, bisa saja, agar jangan ada lagi tubuh-tubuh lain yang hancur, rusak, hangus karena ideologi, kekuasaan dan dogma nasionalisme. Inilah gugatan paling keras atas kegagalan bernegara.

Nation state produk modernitas ini, harus segera direkonstruksi. Nasionalisme adalah agama modern yang kelakuannya sama dengan agama-agama yang dipahami secara sempit. Semua itu sering tidak menciptakan kebahagian, malah hanya menciptakan kehancuran, permusuhan, kematian dan kebinasaan. Negara, jangan pernah jadi agama, dan agama jangan pernah jadi negara. Negara harus segera berhenti meminta korban, dan agama kembalilah ke asalnya, sebagai kritik atas ketidakadilan.

Selasa, 13 Desember 2011

0 komentar: