Rabu, 30 Juli 2008

Peran Gereja dalam Kebuntuan

Gereja tidak hadir di dunia maya. Ia nyata dan mestinya berpengapa dalam

kehidupan riil dunia yang kompleks dengan persoalan. Mimbar dan khotbah-khotbah
manis dan mengecam, mestinya hanyalah salah satu dari banyak instrumen gereja
untuk komitmen pembebasan dan pemerdekaan yang berujung pada pemanusiaan dan
pemuliaan hidup manusia dan alam dunia ini.

Gereja adalah institusi ataupun sistem kepercayaan orang-orang yang mendasari
aktivitas rohani, politik, sosial, ekonomi dan budayanya dengan kasih Yesus yang
membebaskan dan memerdekakan: menyelamatkan. Ia mestinya hadir dan berpengapa
dengan kehidupan manusia-manusia yang memprihatinkan karena dominasi kekuasaan
politik negara, kapitalisme yang mengeksploitasi dan alam yang terancam rusak.
Termasuk sebenarnya kritik terhadap kekakuan doktrin dan tradisinya sendiri.
Harus ada sikap yang dialogis dan konstruktif untuk suatu visi. Visinya adalah
keselamatan keutuhan ciptaan.

Tapi dalam usaha pencapaian visi itu, gereja akhirnya harus berhadapan dengan
persoalan terjebak dan menjebakan diri dalam simbiosis mutualis dengan
kepentingan penguasa yang cenderung korup dan menghisap. Buntutnya terjadilah
"pemandulan" peran gereja dalam usaha pemerdekaan dan pembebasan. Yang terjadi
belakangan adalah sikap gereja yang "memperbudak" diri dalam melayani
kepentingan penguasa. Gereja kemudian menjadi tumpul dalam kritik.

Tapi gereja atau Kristen tidak sendiri. Islam di Indonesia juga berhadapan
dengan persoalan itu. Abdurrahman Wahid, biasa disapa Gus Dur, memetahkan
persoalan Islam itu dalam artikelnya di Kompas, (Rabu, 30 Agustus 2006) yang
berjudul Birokratisasi Gerakan Islam. Tesis Gus Dur dalam artikelnya itu bahkan
lebih luas, bahwa krisis multidimensi yang terjadi hingga sekarang salah satunya
adalah karena, "gerakan Islam (juga gerakan-gerakan lain) sudah terlalu jauh
mengalami birokratisasi." Perhatikan kalimat dalam tanda kurung. Barangkali yang
dimaksud salah satunya adalah juga gereja. Itu kalau kita memahami gereja juga
sebagai sebuah gerakan.

"Birokratisasi." Itu yang ditekankan oleh Gus Dur untuk menyebut sumber masalah
dari "pemandulan" gerakan Islam. Birokratisasi yang dimaksudnya adalah "keadaan
yang berciri utama kepentingan birokrat menjadi ukuran." Prosesnya panjang.
Kehadiran Departemen Agama adalah yang disebut oleh Gus Dur sebagai lembaga
negara yang mempertegas birokratisasi gerakan Islam. Katanya, kehadiran
Departemen Agama ini membuat "segala hal dicoba untuk 'diagamakan'."

Dalam konteks Kristen atau Islam, juga agama-agama lain, birokratisasi ini
seolah-olah sebagai cara pemerintah (khususnya rezim Orde Baru) untuk mengontrol
dan menjadikan agama sebagai alat kekuasaan. Ke dalam, di masing-masing agama
itu buntutnya adalah sama, pemandulan gerakan, kritik, dan peran memajukan umat
yang adalah warga negara untuk berhadap-hadapan dengan kekuasaan negara yang
cederung ototriter.

Dalam konteks Kristen di daerah ini misalnya, entah pejabat gereja kita sadar
atau tidak, yang jelas apa yang disebut oleh Gus Dur itu, tampak di hadapan kita
sekarang bukan lagi usaha sengaja secara sepihak oleh negara yang memakai
instrumen pemerintah (yang di dalamnya antara lain ada kaum birokrat). Tapi, ini
kemudian menjadi seolah-seolah usaha saling mencari keutungan. "Berbaik hati"
dengan penguasa untuk bantuan uang, semen, pasir, besi, dan lain-lain demi
kantor Sinode yang megah, harus dilakukan oleh institusi gereja terbesar di
Tanah Minahasa yaitu GMIM. Tidak pusing bantuan itu halal atau haram, hasil
keringat sendiri atau korupsi, yang penting kantor sinode sebagai lambang
kemegahan juga keberhasilan kehadiran GMIM di tanah ini bisa selesai untuk
dipakai berkantor. Udara sejuk kota Tomohon lebih membuat yang memakainya
terlena dengan kemegahan. Semenrtara, anggota jemaat yang miskin di desa yang
jauh, sekolah berlogo GMIM yang hampir roboh karena keadaan bangunan yang sudah
rapuh, soal keadilan dan kebenaran, harus dilupakan dulu.

Antara gereja dan penguasa akhirnya menjadi mitra untuk usaha mencapai
kepentingannya masing-masing. "Saya memberi ini padamu, tapi kau harus berbaik
hati padaku. Kalau perlu kau juga harus mendoakan uang korupsi ku agar menjadi
'suci' di hadapan rakyat. Kalau dihadapan Tuhan, itu nanti." Gereja kepada
penguasa (negara) tidak lagi menjadi mitra kritis. Padahal, Kristen Protetstan
lahir dan berkembang berawal dari gugatan atas perselingkuhan yang sangat mesra
antara gereja dan penguasa (negara) di abad-abad pertengahan. Gereja mestinya
adalah kritik itu sendiri.


Persoalan ini sebenarnya kompleks. Antara lain, karena gereja agaknya tidak
ingin berusaha untuk mandiri secara dana maupun ideologi. Berikut, mental dan
paradigma berteologi gereja yang cenderung mengarah ke teologi sukses. " Ada
duit, ada sorga." Gereja akhirnya menjadi seolah manusia yang punya keinginan
terlalu tinggi; ingin beli mobil, ingin bikin rumah bertingkat sepuluh dan
lain-lain, padahal dana tidak cukup. Maka, yang dilakukan adalah berhutang di
sana sini, atau juga gadai ini dan itu. Hasilnya, adalah ketergantungan dan
pengadaian idealisme. Karena sudah tak mampu mengembalikan hutang, maka diripun
dijadikan jaminan. Hasilnya adalah penghambaan idealisme dan lembaga. Kini
derajatnya menjadi sangat rendah. Seperti sapi, tali kekang kanannya di tarik ke
kanan, maka dia ke kanan, ke kiri, ya dia kiri. Kalau di tarik kedua-duanya,
maka dia berhenti. Uh, kasihan!!!

Hasil terakhirnya, gereja mengalami kebuntuan dalam usaha pemerdekaan dan
pembebasan apalagi pencapaian visi keselamatan. Bagaimana tidak, dari segi dana
dan berteologi sudah tidak merdeka, apalagi ingin memerdekakan dan membebaskan
ciptaan Tuhan. Gereja sudah sangat lain dari semangat awal lahirnya sebagai
gerakan spiritual dan moral yang mandiri dan bebas dari pengaruh negara dan
kepentingan institusi manapun.

Ini terjadi antara lain karena kita salah menilai orang. Karena, bicara
paradigma berteologi, sistem dan manajemen institusi kita juga harus bicara
siapa orang-orang yang berperan di sana . Artinya, antara dua hal ini sangat
terkait. Hal berikut, karena gereja akhirnya telah melembaga. Beda dengan
komunitas awal Kekristenan. Bukankah institusi, termasuk gereja juga merupakan
ladang pertarungan kepentingan?

Tidak bisakah gereja menjadi gerakan untuk pemanusiaan dan pemuliaan manusia dan
alam yang independen, bebas dan tidak terikat dengan segala macam kepentingan
negara?
Ternyata usaha pemerdekaan dan pembebasan harus mulai dari dalam!

Tomohon, 31 Agustus 2006

1 komentar:

  • Sonny says:
    31 Juli 2008 pukul 07.15

    Usai membaca tulisan-tulisan Denny, saya merasa jadi lebih pintar.

    Batulis terus - cuma deng itu tu Tou bole maso rekeng, lebe-lebe kalo "debu telah kembali jadi debu; tanah kembali jadi tanah".

    nomordelapan.blogspot.com