Jumat, 09 Januari 2009

Gereja dan Pembaruan

Gereja lahir dari semangat pembaruan. Karena itulah gereja itu sendiri mestinya adalah pembaruan. Di zaman pra gereja sebagai lembaga, Yesus telah melakukan pembaruan dengan mengadakan kritik dan beberapa proyeksi seperti apa mestinya nilai-nilai Kerajaan Allah itu dijabarkan. Yesus tidak hadir dengan pertama-tama mengusahakan adanya sebuah lembaga agama baru, Kristen misalnya. Tapi gerakan fundamentalisme para petinggi Yahudi, menurut Yesus adalah sesuatu yang harus dibaharui. Sepuluh Hukum Allah, seperti yang difirmankan kepada Musa, pada prakteknya belakangan sampai zaman Yesus ternyata telah mengalami sejumlah pergeseran. Bukan pergeseran untuk berdialog dengan zaman, namun ternyata terutama untuk kepentingan para elit Yahudi itu sendiri. Ini kemudian hanya memunculkan gerakan fundamentalisme dalam Yahudi yang ternyata tidak membawa umat pada kebebasan dan kemerdekaan sebagai manusia, melainkan penundukan dan dominasi yang hanya menyebabkan sikap yang tertutup pada yang lain, fatalisme dan kaku pada doktrin lama. Yesus tampil antara lain untuk melakukan pembaruan terhadap sejumlah pergeseran itu, yang kemudian memproyeksikan sejumlah gerakan spiritual dan social demi pemerdekaan dan pembebasan umat.

Pasca Yesus, nilai-nilai pembaruan itu kemudian dilembagakan pada apa yang disebut kemudian sebagai gereja. Maksud awal baik, bahwa agar nilai-nilai pembaruan Yesus itu bisa lestari, tapi ketika lembaga menjadi mutlak, maka persoalan yang hampir sama yang dikritik Yesus juga menjadi fenomena bergereja sampai abad pertengahan. Gereja terlalu kaku dengan tradisi dan doktrin yang kemudian hanya membawa umat pada pendewaan yang berlebihan terhadap lembaga gereja itu sendiri. Gereja seolah-olah menjadi pusat penyembahan. Kekuasaan para elit gereja kemudian ternyata menggoda untuk membawa gereja pada kejatuhannya dalam dosa.

Reformasi Luther dan kawan-kawan di abad pertengahan seolah-olah kembali mengingatkan gereja atas bahaya penyimpangan nilai pembaruan Yesus. Reformasi itu kemudian menegaskan lagi soal hakikat gereja, yang mestinya hadir sebagai agen Allah untuk penyelamatan dunia. Gereja akhirnya harus dibaharui. Orientasi gereja untuk karya selamat kembali lagi ditegaskan.

Pasca itu, meski memang belum terlalu signifikan, tapi pembaruan gereja terus diupayakan. Zaman pencerahan, kemudian menjadi kritik paling tajam terhadap dominasi mitos gereja yang masih dominant dalam kehidupan umat. Meski memang zaman yang mengandalkan akal atau rasio itu kemudian membawa dampak lain bagi kehidupan bergereja. Tapi setidaknya di protestan sendiri melalui sejumlah pertemuan lembaga Dewan Gereja se-Dunia (DGD) kesadaran untuk kemudian membaharui orientasi dan nilai serta semangat yang diusung gereja semakin menjadi perhatian serius gereja-gereja protestan.

Menariknya, gereja Roma Katolik, yang dulunya paling ketat mempertahankan tradisi dan doktrin agamanya, termasuk menunggalkan kebenaran dalam tembok-tembok basilikanya, di sekitaran tahun 1965, melalui Konsili Vatikan II-nya, kemudian membuat sebuah pembaruan yang sangat radikal, dibanding Protestan. Kesadaran untuk melihat dunia timur yang selama itu hanya dipandang sebagai obyek pengabaran Injil menjadi penting dalam pemikiran gereja. Berikut, kesadaran terhadap tanggung jawab social gereja, ternyata menjadi sebuah perubahan yang cukup penting dalam tubuh Roma Katolik. Selain itu, hal yang paling penting adalah kesadaran untuk menghargai dan memperlakukan budaya dan agama lain sebagai bagian juga dari Ciptaan Allah dengan kebenarannya.

Bersamaan dengan itu, sejak pemikiran-pemikiran modern menggejala dalam peradaban dunia, beberapa kelompok kekristenan yang merasa terancam dengan nilai-nilai baru itu, justru melakukan puritanisasi atau revival. Muncullah gerakan fundamentalisme Kristen dalam wajah yang baru. Gerakan-gerakan kharismatik, yang eksklusif dan menaabuhkan upaya pembaruan cara membaca teks, doktrin dan tradisi yang ada sekarang adalah buah-buah dari puritanisasi dan revival merespon perubahan dunia di beberapa abad lalu itu.

Meski begitu, sekarang ini, meski tidak dapat kita taksir seperti apa laju perkembangan gerakan fundamentalisme dibanding gerekan pembaruan yang dilakukan oleh gereja, namun, ternyata gereja terus eksis berproses dengan zaman.

Zaman yang terus berubah, tentu juga membutuhkan usaha pembaruan gereja secara terus menerus. Kita tentu tidak lagi harus menafsir secara literal tentang pernyataan Yohanes, bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan. Atau pernyataan Matius, yang sering kaliru ditasfir oleh gerakan fundamentalisme Kristen sebagai usaha kristenisasi atau menjadikan ‘yang lain’ sebagai orang Kristen dengan cara dibabtis dan masuk anggota gereja Kristen Bukan itu lagi substansi gereja. Hal seperti yang ditafsir oleh gerakan fundamentalisme Kristen, barangkali tepat pada konteksnya dahulu. Sekarang, zamannya untuk mentransformasi nilai-nilai Injil dalam kehidupan riil.

Dalam konteks Indonesia misalnya, gereja berhadapan dengan kemiskinan. Maka sudah tentu, nilai Injil yang mengusung semangat pembebasan, tentu mewajibkan gereja untuk menunjukkan rasa tanggung jawabnya. Gereja harus hadir dengan usahanya yang serius untuk bersinergi dengan berbagai lembaga dalam rangka pengentasan kemiskian. Gereja tidak usah lagi memutlakan mimbarnya untuk kemudian membawa umat pada sikap fatalistis, tidak kritis pada kebijakan politik Negara yang tidak adil, yang hanya memiskinkan. Konteks Indonesia yang plural, tentu sangat tidak alkitabiah bahkan Injili, kalau kemudian yang dilakukan gereja hanya sampai di kristenisasi, atau mengumpul atau bahkan ‘mencuri’ umat dari denomisasi gereja dan terlebih agama lain.

Dalam konteks itu, penting bagi gereja untuk mereinterpretasi kembali klaim kebenaran yang selama ini dipegangnya secara arogan. Wesley Ariarajah, seorang teolog asal Sri Lanka, berpendapat, bahwa klaim kebenaran Yesus sebagai Juru Selamat dunia, tetap penting bagi gereja. Tapi, itu adalah spirit atau semangat gereja dalam mengubah dunia. Agama-agama lain yang juga mempunyai klaim kebenarannya, harus juga dihargai, sebagaimana gereja mengharapkan penghargaan mereka terhadap kebenaran yang dianut gereja.

Kita juga tidak harus mengatakan bahwa kepercayaan atau iman masing-masing agama kepada yang diyakininya relative adanya. Maksudnya, kebenaran yang dipahami masing-masing agama itu mestinya dipahami sebagai keunikan. Si anak A akan mengatakan bahwa ayah atau ibunyalah yang paling mulia dunia. Begitu juga anak B, C dan seterusnya akan menyakini bahwa orang tuanyalah yang paling mulia. Kebenaran tetap ada. Bahwa masing-masing anak itu punya kriterianya sendiri dalam menyimpulkan sebuah kebenaran. Dan ternyata, menurut Ariarajah, ini adalah persoalan pengalaman subjektif bukan fakta, seperti dalam matematika 1 + 1 = 2 yang tidak boleh diganggu gugat oleh perhitungan model apapun. Kebenaran agama lahir dari pengalaman iman masing-masing umat. Dan itu tidak salah, bahkan sangat benar. Yang salah dan keliru juga tidak teologis, kalau kemudian kebenaran yang sifatnya subjektif itu dijadikan sebagai kebenaran matematis. Sehingga semua klaim kebenaran dari agama-agama itu akan menjadi kebenaran yang universal, kalau yang kita tekankan adalah nilai-nilai kehidupan yang dikandung oleh masing-masing kebenaran itu.

Kita tentu tidak akan mengatakan benar pada kelompok orang beragama yang kemudian membela mati-matian Tuhan dan agamanya dengan cara kekerasan. Kita pasti akan mengatakan salah pada ajaran gereja yang tidak merakyatkan nilai-nilai Injil itu dalam realitas kemiskinan, dengan mereduksi nilai-nilai itu di tembok-tembok kokoh hotel berbintang. Kita bisa membandingkan pernyataan ini dengan praktek kelompok karismatik Kristen yang lebih suka berKKR-ria di hotel daripada menemui rakyat, apapun latar belakangnya, yang sedang menjerit karena kemiskinan, penggusuran, serta alam yang terus dieksploitasi.

Untuk masuk ke dunia rill di mana gereja bisa mengabarkan Injil yang sesungguhnya, yang harus dilakukan oleh gereja adalah pembaruan yang tiada henti. Gereja yang hidup tidak hanya sampai di zaman rasul. Gereja yang berpengapa tidak hanya sampai di abad pertengahan. Gereja yang membela tidak hanya sampai bereaksi terhadap penutupan gereja. Gereja yang hidup, adalah gereja yang hadir untuk semua (dengan ragam latar belakang SARA), tanpa masuk apa-apa, selain untuk mentransformasi nilai-nilai injil untuk kemerdekaan dan pembebasan manusia. Gereja yang penuh kasih, adalah gereja yang tidak merasa sombong dengan kebenarannya sendiri sehingga dengan arogansinya menganggap yang lain kafir. Gereja yang hidup adalah gereja yang menghidupan manusia dari ancaman maut totaliter negara dan eksploitasi berlebihan dari pasar yang ganas. Soal keselamatan di akhirat yang konon itu, biarlah itu hak mutlak dari Kuasa Yang Maha Tinggi, yang kita sapa dengan beragam nama itu.


Tomohon,

Pojok Suara Minahasa 93.3 FM, Jumat 15 Februari 2008

3 komentar:

  • DJONNIE.H.TOREH says:
    20 Januari 2009 pukul 15.30

    Menurut saya, menghadapi kenyataan sekarang ini Gereja perlu membaharui dirinya, termasuk GMIM sebagai salah satu Gereja terbesar di Negara kita. Karena bagaimana bisa gereja membawa terang, keadilan, kedamaian, dll kalau Gereja itu sendiri hanya sibuk mengurusi persoalan yang dibuat sendiri. Seperti yang terjadi sekarang dengan permasalahan UKIT YPTK, akhirnya GMIM hanya sibuk dan sibuk dengan masalah yang tidak harus terjadi, akhir tugas-tugas Gereja untuk membawa syaloom terabaikan/terlupakan. Jadi memang Gereja perlu terus-menerus membaharui dirinya. Dan menurut saya Tema pelayanan BERUBAHLAH OLEH PEMBARUAN BUDIMU harus diaktakan, yang pertama oleh Elit pimpinan Sinode kemudian aras paling bawa yakni jemaat. Ok, saya setuju topiknya!
    Djonnie
    From Oarai Japan

  • Anonim says:
    22 Januari 2009 pukul 23.46

    Benar pendeta Jonnie. Jika GMIM begini terus, maka perlahan tapi pasti gereja ini akan kehilangan visi pelayanannya. Makanya, pemilihan BPS 2010 menjadi momen penting untuk perubahan GMIM. Artinya suksesi itu harus memilih orang-orang yang punya idealisme, mengerti arah berteologi dalam konteks sekarang. Tidak seperti sekarang ini....

  • Anonim says:
    16 April 2009 pukul 23.48

    Waktu lalu, kira-kira 2 minggu yang lalu. Saya bercakap-cakap dengan salah satu pastor yang ada di Tomohon, yakni dalam rangka study penelitian.Di akhir cerita dia (pastor)balik bertanya kepada saya.Gimana keadaan UKIT sekarang? aduh....saya bingung menjawab karena berita mengenai UKIT sudah ada perhatian khususnya dikalangan agama yang lain, khususnya agama Katolik. Saya mengatakan bahwa UKIT sekarang berada dalam 2 kepemimpinan yang saling mempertahankan kedudukan. Menurut pastor memang masalah ini kalau menurut saya ada pada pemimpin gereja (GMIM) yang dapat menyelesaikannya.Tapi kalau mereka tetap mempertahankannya maka gereja khususnya GMIM akan berada dalam perubahan yang mengarah pada kemundurun. Karena sebagai seorang pelayan mereka harus mengutamakan akan keberadaan jemaatnya dan pelayanannya sebagai seorang pelayan.Bukan hanya mengurus hal yang membawa hancurnya citra GMIM di kalangan banyak orang. Jadi Gereja Khususnya GMIM harus ada pembaharuan kedepan nanti, yakni untuk mengutamakan janji di hadapan Tuhan dan Jemaat sebagai seorang Pendeta untuk melayani.
    GBU
    Alfa