Senin, 25 Juli 2011

Ziarah Damai di Nagari Djogja

(Catatan Perjalanan Seminggu di Djogja)

Oleh: Denni H.R. Pinontoan

Terminal Bandar udara Adisutjipto, Yogyakarta, sore itu agak lengang. Pesawat Boeing 737 milik maskapai Lion Air baru saja mendarat dengan mulus. Saya salah satu dari ratusan penumpang pesawat itu. Keluar dari pesawat penumpang melewati sebuah ruangan untuk mengambil bagasinya. Di bagian kiri ruangan itu seorang perempuan muda menggunakan kebaya batik berwarna coklat dengan motif daun serasi dengan blus putih yang dipakainya. Dia sedang tekun membantik.

Perempuan muda itu duduk di dingklik. Dengan lincah dia memainkan canting di kain mori putih yang terbentang di gawangan. Uap mengepul dari sebuah wajan. Kompor yang digunakan tak lagi anglo yang terbuat dari tanah liat, melainkan kompor listrik. Di pahanya ada taplak putih. Tekun sekali dia membatik. Para penumpang yang baru turun dari pesawat, sebelum mengambil bagasi, banyak yang menyempatkan diri untuk memperhatikan si perempuan muda yang sedang membatik itu. Saya, salah satu yang ikut memperhatikan dia. Terasa sekali ”ke-jogja-an” kala itu.

Minggu 17 Juli 2011, saya berkesempatan ke Yogyakarta untuk mengikuti program ”Interreligious Understanding and Peacebulding Initiatives (IUPI)” yang bertajuk “The Role of Christian Higher Education in Interrelious Peacebulding”. Program ini dilaksanakan oleh Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta bekerjasama dengan Board United.

Kegiatan ini berlangsung dari Senin 18 sampai Jumat 22 Juli 2011 dan dipusatkan di kampus UKDW. Pesertanya datang dari puluhan perguruan tinggi Kristen senusantara. Selama hampir seminggu kami menginap di Wisma MM UGM. Kegiatan ini membahas pentingnya keterlibatan perguruan tinggi Kristen dalam membangun budaya damai.

”Pendidikan agama kita menerapkan model apartheid,” kata Pdt. Tabita Kartika Christiani, P.hD, ahli pendidikan Kristen dari UKDW. ”Ternyata apartheid itu tidak hanya di Afrika, tapi juga di sini.”

Pdt. Tabita mengatakan itu terkait dengan kritiknya terhadap fenomena pembelajaran pendidikan agama di sekolah-sekolah. ”Pelajaran agama memisahkan para murid di sekolah. Misalnya, mata pelajaran agama Islam, yang ada di kelas tentu hanyalah para murid beragama Islam. Sebaliknya, mata pelajaran agama Kristen, hanya murid beragama Kristenlah yang mengikutinya,” katanya.

Hadir di ruangan seminar Pdt. Harun Hadiwijono UKDW itu adalah dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi Kristen senusantara. Pdt. Tabita bicara di hadapan mereka mengenai pentingnya pendidikan agama yang berwawasan perdamaian di sekolah-sekolah.

Pendidikan berwawasan peace building, dirasa semakin penting untuk menjadi semangat bagi paradigma, sistem dan kurikulum di perguruan tinggi-perguruan tinggi. Konflik antar agama dan etnis yang terjadi, setidaknya pasca reformasi, akhir tahun 1999 atau awal tahun 2000 sampai kini adalah alasan penting untuk menjadi perhatian terkait dengan semangat peace building itu.

Menurut Pdt. Dr. Judowibowo Poerwowidagdo, di Indonesia yang berkonflik itu sebenarnya bukan agama, melainkan antar umat beragama. Konflik-konflik di Indonesia, menurut rektor UKDW pertama ini, antara lain disebabkan oleh pembagian kekuasaan yang tidak adil dan dalam konteks keagamaan penyebabnya adalah perbedaan nilai dan ideologi. ”Bukan agama sebenarnya yang berkonflik. Sebab, pada dasarnya semua agama mengajarkan perdamaian.”

Selain berdiskusi di kelas, kami juga mengunjungi beberapa tempat religi di sekitar Kota Djogja. Yaitu Ponpes Pabelan di Muntilan dan Vihara Mendut di Desa Mendut, Magelang, Jawa Tengah. Saya juga berkesempatan jalan-jalan ke Malioboro, sebuah nama jalan yang tersohor itu.

Menuju ke Ponpes Pabelan, kami melewati sebuah dusun di kec. Muntilan, Kab. Magelang, Jateng. Di dusun itu tampak sisa-sisa terjangan lahar dingin letusan Merapi. Ada beberapa bangunan roboh. Batu-batu besar terserak. Pasir vulkanik Merapi masih kentara, seperti letusannya baru beberapa minggu lalu.

Waktu merapi meletus November 2010 lalu Muntilan kena imbasnya. Hujan abu vulkanik Merapi membuat wilayah Muntilan hampir lumpuh. Jalan raya Muntilan berjarak kira-kira 20 kilometer dari puncak Merapi. Waktu Merapi meletus, listrik mati total. Muntilan mencekam kala itu. ”Abu ini adalah hadiah dari Merapi,” ujar pimpinan Ponpes Pabela, KH. Nadjib berseloroh.

Hari sudah siang ketika kami tiba di Ponpes Pabelan. Suasananya agak lenggang. Para santrinya sibuk belajar di kelas. Ketika bus yang kami tumpangi berhenti, mata saya lansung tertuju pada sebuah kalimat yang ditulis di papan berwarna kuning. Papan itu menempel dinding salah satu gedung di ponpes itu. ”Janganlah Berdoa agar hidup ini menjadi ringan. Tapi, berdoalah kau jadi orang yang tahan banting.” Demikian bunyi kalimat itu. Di samping kalimat yang ditulis berwarna hitam itu ada gambar seorang duduk bersila, seperti menatap matahari yang akan tenggelam dari atas bukit.

Ada juga kalimat yang menarik perhatian kami. Kalimat itu hanya ditulis di sebuah kertas yang ditempel menggunakan lakban. Sekilas kertas itu seolah tidak bermakna. Tapi kalimat itu sebenarnya menarik. ”Pikiran kita ibarat parasut, hanya berfungsi ketika terbuka.” Memang, ponpes ini disebut-sebut terbuka.

Ponpes ini sebetulnya berbentuk balai pendidikan. Ia berada di bawah naungan Yayasan Wakaf Pondok Pabelan. Resmi sebagai Balai Pendidikan Ponpes sejak 28 Agustus 1965. Pendirinya K.H. Hamam Dja'far. Sekarang jumlah santrinya sekitar 600-an. Seimbang laki-laki dan perempuan.

K.H. Hamam Dja’far lahir di Desa Pabelan 26 Februari 1938. Ia adalah anak sulung dari dua putra pasangan Kiai Dja’far dan Nyai Hadijah. Hamam besar di bawah pengasuhan adik kakek pihak ibu, yaitu K.H. Kholil yang tinggal di sebelah selatan masjid pondok. Dalam keluarga Hamam mengalir darah ulama yang diturunkan oleh Kiai Haji Muhammad Ali bin Kiai Kertotaruno, pendiri Pondok Pabelan (sekitar tahun 1800-an). Kertotauno adalah salah satu ulama pengikut setia Pangeran Diponegoro. Menurut masyarakat setempat, Kiai Kertotaruno adalah keturunana Sunan Giri, salah satu wali penyebar agama Islam di Tanah Jawa. Hamam pernah mondok di Ponpes Gontor. Dia tamat dari sana ketika berusia 25 tahun. Setamat di Gontor Hamam kembali ke kampung halamannya dan kemudian mendirikan Balai Pendidikan Pondok Pabelan pada 28 Agustus 1965. Dia penerima Aga Khan Award pada tahun 1980 untuk arsitektur dan Kalpataru untuk lingkungan hidup pada tahun 1982.

Ponpes ini lahir dari semangat Kiai Raden Muhammad Ali. Pada tahun 1800 ia memulai kegiatan mengaji di Pabelan. Tapi di tahun 1825-1830 terjadi Perang Jawa. Banyak ulama yang terlibat dalam perang itu. Sekitar 70 tahun kegiatan mengaji ini menghilang. Nanti pada tahun 1900-an Kiai Anwar dan Kyai Anshor melanjutkan kegiatan itu dalam bentuk pondok pesantren tradisional. Karena mungkin perang yang terus berkecamuk, ponpes ini mengalami kevakuman. Ia aktif lagi pada tahun 1965, oleh Hamam Dja'far. Kali ini tampilan dan isinya disesuaikan dengan kurikulum modern. Nama “Balai Pendidikan Pondok Pesantren Pabelan” berawal dari sini.

Nama “Pabelan” sendiri diambil dari nama desa di mana ponpes ini berdiri. ’Pabelan’ berarti ’membela’. ”Pabelan atau membela karena di sini dulu banyak warga dan ulama yang membela Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa,” ujar Dr. H. Mahfudz Masduki, wakil ketua pengurus Yayasan Wakaf Pondok Pesantren Pabelan.

Konon, di Pabelan, Kyai Modjo, ulama dan pejuang Perang Jawa yang dibuang ke Tondano, Minahasa pernah tinggal di sebuah kebun, mungkin bersembunyi dari Belanda waktu perang. ”Orang Pabelan menyebut tempat itu ’kebon Modjo’,” kata Masduki.

Di Ponpes ini berdiri sebuah mesjid tua yang dibangun tahun 1820. Mesjid ini masih kokoh. Tapi dia tidak bisa lagi menampung banyak umat untuk sembayang. Atap gentengnya bertingkat dua. Arsiteturnya khas rumah adat Jawa, Joglo. ”Sekarang sudah ditambah gedung baru karena mesjid tua tak lagi bisa menampung jemaah,” kata Masduki.

Ponpes ini, menurut cerita Kiai Najib sering didatangi oleh orang-orang dari berbagai latar belakang agama. Baik mereka sebagai tokoh masyarakat, intelektual, maupun mahasiswa untuk melakukan penelitian tentang Islam. Romo Mangun, semasa dia hidup sering ke datang ke sini. Pdt. Djaka Soetapa, intelektual yang mengkaji Islam dari UKDW juga sering ke ponpes ini. Di ponpes ini juga pernah tinggal pengajar bahasa Inggris dari luar negeri selama tiga tahun. ”Dia itu beragama Kristen. Tapi, tiga tahun tinggal di sini tidak mengubah agamanya. Dia tetap sebagai orang Kristen,” ujar Kiai Nadjib.

Kiai Nadjib bercerita. Pernah suatu waktu, ada orang yang datang mencari ayahnya di ponpes itu. Bertepatan Romo Mangun sedang ada di ponpes itu. Dia memakai peci dan sarung. ”Si orang yang mencari ayah saya mengira Romo Mangun adalah kiai yang dicarinya karena penampilannya seperti kiai betulan,” jelas Kiai Nadjib sambil tertawa.

Kurikulum Ponpes Pabelan mengikuti kurikulum Ponpes Gontor dan disesuaikan dengan kurikulum nasional. Para alumninya kini banyak yang menjadi intelektual, aktivis dan wiraswasta yang sukses. ”Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, yang sekarang sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta adalah alumni Ponpes ini. Ada juga yang menjadi aktivis perempuan.”

Saya sempat mewawancarai salah satu santri pria. Namanya Irfan Zidni. Zidni berasal dari Pekalongan. Ia anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya yang perempuan sudah menikah, yang laki-laki bekerja. Zidni aktif di Organisasi Pondok Pelajar Pria (OPPP) urusan penerimaan tamu.

”Mengapa mondok di Ponpes ini”?

”Cari ilmu. Khan kita mencari ilmu tidak hanya di daerah sendiri”

”Kamu betah tinggal di sini?”

”Iya. Kayak rumah sendiri."

Menurut Zidni, waktu Merapi meletus semua santri dipulangkan. Ponpes mereka waktu itu dijadikan tempat untuk menampung pengungsi. ”Waktu itu kami harus dipulangkan. Sebab, listrik mati. Makan aja susah karena hujan debu,” Zidni mengenang kejadian beberapa bulan lalu.

Relasi antara santri laki-laki dan perempuan, seperti Ponpes pada umumnya sangat terbatas. Santri laki-laki dan perempuan dipisahkan. Ada banyak aturan yang tidak membolehkan para santri yang berbeda jenis kelamin ini berhubungan. Zidni sendiri punya sepupu perempuan yang mondok di ponpes itu. Tapi mereka nanti bisa bertemu kalau orang tua Zidni menitipkan uang. ”Ketemu dengan santri perempuan kalau ada perlunya.”

Saya memberanikan diri bertanya soal tatacara berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Zidni sesuai yang dia dapat dari pelajaran agama oleh para ustad, memang antara laki-laki dan perempuan tidak sembarangan dalam berhubungan. Pun itu hanya berjabatan tangan. ”Ya tidak boleh, karena bukan muhrim.”

Zidni bercerita, waktu SD di Pekalongan, sebelum masuk ke ponpes ini, dia punya teman beragama Kristen. Namanya, Teguh. Tapi begitu dia ke pindah belajar di ponpes Pabelan, temannya yang kristen itu juga ikut orang tuanya pindah kerja di luar Pekalongan. Teguh, kata Zidni adalah teman baiknya. Mereka akrab tapi tidak pernah bercerita mengenai agama masing-masing. ”Saya tidak pernah ketemu lagi dengan dia sejak saya masuk ke ponpes ini. Rindu sebenarnya,” kata Zidni.

Di sebelah barat Pebelan, sekira 4 km jaraknya ada Vihara Mendut. Vihara ini berdiri di dekat Candi Mendut. Ia terletak di desa Mendut, Kec. Mungkid, Kab. Magelang, Jateng. Vihara ini dahulunya adalah sebuah biara Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950-an. Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di atasnya dibangun vihara.

Samping kiri bagian muka Vihara itu ada patung Buddha sedang tidur. Stupa candi diatur di samping kiri dan kanan jalan menuju ke bagian dalam Vihara. Bunga teratai ungu yang tengahnya kekuning-kuningan sedang mekar di kolam kecil bagian depan ketika masuk di vihara itu. Dalam vihara ini terdapat asrama, tempat ibadah, taman dan beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya adalah sumbangan dari Jepang. ”Patung Budha sedang tidur di depan itu asalnya dari Burma yang terbuat dari marmer,” ujar Bhikkhu Jotidhammo yang juga ketua Sangha Theravāda Indonesia.

Vihara ini berdiri karena banyak umat Buddha yang datang berkunjung ke candi Mendut untuk sembayang. Warga desa Mendut sendiri mayoritas beragama Islam. Sisanya beragama Katolik dan Kristen. Selain vihara, di desa ini berdiri masjid dan gereja. ”Hubungan antar umat budhha dengan umat beragama lain di sini baik. Tuh, para tukang kebun di vihara ini adalah orang-orang dari desa sini yang beragama Islam,” kata Bhikkhu Jotidhammo.

Inti ajaran agama Buddha, menurut Bhikkhu Jotidhammo adalah bagaimana mengantar manusia manuju ke pencerahan. Meditasi antara lain adalah cara mengendalikan nafsu untuk mencapai pencerahan. ”Tapi tidak semua meditasi itu buddhis lho. Kalau kita ke toko-toko buku, banyak buku yang bicara meditasi. Tidak semua meditasi itu buddhis.”

Simple life, menurut Bhikkhu Jotidhammo adalah prinsip hidup yang sering diajarkan kepada umat buddha. Intinya adalah pengendalian diri. Umat buddha diajarkan bagaimana mengendalikan nafsu yang ada di pikiran. ”Nafsu itu ada di pikiran. Jangan sampai blank dari kesadaran,”

Candi Mendut yang berdiri di depan vihara ini adalah sebuah candi Buddhis. Menurut sejarah, candi ini didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Seorang ahli arkeologi asal Belanda, J.G. de Casparis mengkaitkan cerita itu dengan Candi Mendut.

Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya, Wajrapāi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Harītī dan Āţawaka. Konon, dua bidadari itu adalah yaksi yang bertobat dan mengikuti Buddha. Di dalam induk candi terdapat tiga arca Buddha besar masing-masing Dhyani Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan arca Buddha terdapat relief berbentuk roda yang diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri terdapat arca Awalokiteśwara (Padmapāņi). Di sebelahnya arca Wajrapāņi.

Hari terakhir di Kota Djogja, saya sempat mampir di kantor Dian/Interfidei. Sebuah NGO yang sejak tahun 1991 konsern pada persoalan agama-agama. Sore itu, Dian/Interfidei kedatangan tamu. Mbak Nina Mariani mahasiswa program doktoral di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRCS), UGM, mengantar enam mahasiswa asing untuk berdialog dengan Dian/Interfidei. Keenam mahasiswa asing tersebut, masing-masing Kellyann Conners, dari USA kuliah di Union Theological Seminary New York; Zeyneb Temnenko, dari Ukraine kuliah di Temple University,Philadelphia; Daeseop Yi, warga negara Korea kini kuliah di Graduate Theological Union, Berkeley; Jillian Schedneck, dari USA kuliah di Adelaide University, Australia; Kyeong Il dari Korea, kuliahnya Union Theological Seminary, New York; dan Michael Bender, dari USA, kuliah di Florida International University, Florida.

Bersama Elga Sarapung dan Indro Suprobo dari Dian/Interfidei, para mahasiswa tersebut banyak bertanya mengenai situasi keagamaan di Indonesia. Diskusi sempat menyinggung relasi agama dan kekuasaan. Elga Sarapung, sebagai direktur Dian/Interfidei dengan fasih menjelaskan mengenai kondisi keberagaman agama di Indonesia beserta masalah-masalahnya dalam relasi dengan kekuasaan. Elga Sarapung juga menyinggung soal merebaknya gerakan fundamentalisme agama-agama, baik di Islam maupun di Kristen.

Elga Sarapung mengambil contoh kasus yang dialami Ardha, seorang pemuda yang tinggal di Surakarta. Pada Kamis, 15 Juni 2011, Ardha memakai kaos produksi Dian/Interfidei bertuliskan ”Tuhan Agamamu Apa?”. Gara-gara memakai kaos itu dia harus berurusan dengan Front Pembela Islam (FPI) dan pihak kepolisian. ”Kafir...kafir!” begitu FPI meneriakan Ardha.

”Anehnya, pihak kepolisian justru meminta Ardha untuk meminta maaf kepada FPI dengan alasan yang tidak jelas. Apa salahnya sih, orang bertanya kepada Tuhan?”

Ardha pun wajib lapor setiap hari di kantor polisi setempat.

Hukum di Indonesia, aneh, ya...

0 komentar: