Senin, 06 Desember 2010

Kaum Muda Gereja dalam Tantangan dan Peluang Globalisasi[1]

Hari ini, bicara ”globalisasi’ bukan lagi sesuatu yang elitis. Manusia dari pedalaman Tanah Minahasa sampai di kota besar New York, atau dari ruangan ini sampai di Sturbucks Coffe di Jakarta, tanpa menyebut kata itu, kita sudah menjadi bagian dari globalisasi, baik sebagai korban atau telah ikut berpartisipasi di dalamnya. Dari kaum muda yang hobi seni sampai yang memusatkan perhatiannya pada panggilan iman, seperti saudara-saudari ini, kita semua ada dalam globalisasi itu. Sehingga, sangat tepatlah jika dalam Latihan Kepemimpinan Pemuda Gereja (LKPG) ini, kita bicara topik ”globalisasi.”

Kepentingannya, antara lain, pertama kita mendapat pengetahuan dan wawasan apa dan bagaimana ”globalisasi” itu, yang dengannya kita tahu tantangan dan mengerti peluangnnya. Kedua, ”globalisasi” adalah konteks di mana kita, kaum muda gereja, mengimplementasikan panggilan bergereja. Sehingga, rumusan pemikiran teologis dan aksi bergereja kita dapat menyentuh konteks. Ketiga, kita dapat mengerti di mana posisi kita di era ini.

Tulisan ini adalah catatan pengantar untuk diskusi mengenai ”Kaum Muda Gereja dan Globalisasi”. Diharapkan, dengan diskusi ini dapat menjawab problematika kaum muda gereja berhadapan dengan tantangan globalisasi.

Pengertian dan Fenomena Globalisasi

Globalisasi dalam arti literal adalah proses transformasi fenomena lokal atau regional menjadi lebih global. Hal ini dapat digambarkan sebagai suatu proses dimana masyarakat dunia bersatu menjadi sebuah masyarakat tunggal dan berfungsi bersama. Proses ini merupakan kombinasi dari kekuatan ekonomi, teknologi, sosial budaya dan politik. Term ”globalisasi” juga sering digunakan untuk merujuk kepada globalisasi ekonomi, yaitu, integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi internasional melalui perdagangan, investasi langsung asing, arus modal, migrasi, dan penyebaran teknologi.[3] Dictionary.com mendefinisikan globalisasi sebagai:

1. proses yang memungkinkan pasar keuangan dan investasi beroperasi secara internasional, terutama sebagai akibat dari deregulasi dan komunikasi yang meningkat.

2. munculnya pasar dunia tunggal yang didominasi oleh perusahaan multinasional, yang mengarah ke kapasitas berkurangnya peran pemerintah nasional dalam mengendalikan ekonomi dalam negeri. Fenomena ini sudah dimulai sejak tahun 1980-an.

3. proses dimana sebuah perusahaan, dll, memperluas untuk beroperasi secara internasional.[4]

Para pakar, seperti Tom G. Palmer dari Cato Institute mendefinisikan "globalisasi" sebagai penurunan atau penghapusan batas negara melalui penerapan bursa lintas batas dan sistem global yang semakin terintegrasi serta produksi yang kompleks yang menghasilkan pertukaran. Thomas L. Friedman berpendapat, perdagangan global, outsourcing, supply-chaining, dan kekuatan politik telah mengubah dunia secara permanen untuk kedua kalinya, yang bisa lebih baik atau lebih buruk. Ia juga berpendapat bahwa laju globalisasi adalah mempercepat dan akan terus memiliki dampak yang tumbuh di organisasi dan praktek bisnis. Noam Chomsky berpendapat bahwa kata globalisasi juga digunakan dalam pengertian doktrinal, untuk menggambarkan bentuk globalisasi ekonomi neoliberal.

Herman E. Daly berpendapat bahwa kadang-kadang istilah internasionalisasi dan globalisasi digunakan secara bergantian tetapi ada perbedaan yang sedikit formal. "Internasionalisasi" merujuk pada pentingnya perdagangan internasional, hubungan, perjanjian, dll. Internasional berarti antara atau antar bangsa. "Globalisasi" berarti penghapusan batas-batas nasional untuk tujuan ekonomi, perdagangan internasional (diatur oleh keunggulan komparatif) menjadi perdagangan antar-regional (diatur oleh keuntungan absolut).[5]

Bank Dunia mendefinisikan globalisasi sebagai proses integrasi ekonomi dan masyarakat melalui arus informasi, ide, aktivitas, teknologi, barang, jasa, modal, dan manusia antarnegara. Menurut Wikipedia Ensiklopedi Bebas: ”Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.”[6]

Globaliasasi adalah istilah teknis untuk proses berintegrasinya masyarakat dunia menjadi tunggal, homogen dalam cara pikir, yang terjadi melalui sistem perdagangan lintas batas, politik luar negeri negara-negara adikuasa/kapitalis dan kemajuan teknologi informasi. Secara historis, proses ini sudah cukup lama, dimulai ketika Jalur Sutra[7] terbuka untuk menghubungkan Asia (China) dengan kekaisaran Romawi mulai abad 2 SM. Dalam perkembangannya, beberapa jalur perdagangan melalui laut, memungkinkan beberapa peradaban di masa selanjutnya, seperti Arab dengan Islamnya (yang berhasil menguasai wilayah Indus sampai Andalus), kemudian abad ke 16 Portugis/Spanyol, kemudian Belanda dan Inggris (abad 17 sampai awal abad 20) menjelajahi dan menaklukan beberapa wilayah dunia. Minahasa sendiri, sudah masuk ke perdagangan global sejak bangsa Portugis/Spanyol datang menginjakkan kakiya di pelabuhan Manado, Kema dan Amurang. Kekristenan pun dimungkinkan menyebar, termasuk masuk ke Minahasa oleh karena adanya perdagangan global tersebut. Jadi, GMIM sebenarnya secara historis adalah buah dari globalisasi itu.

Thomas L. Friedman berpendapat, dunia mulai menjadi datar ketika perang dingin berakhir. Di saat itulah dunia bersepakat untuk tunduk pada satu sistem yaitu kapitalisme. Dunia modern, kemudian melahirkan evolusi teknologi informasi. Karena itu muncullah penemuan PC (personal computer), internet pun mendunia. [8] Sebelumnya, para futurolog, sperti John Naisbit dan Alfin Tofler sudah memprediksikan berakhirnya era industri abad 20 menuju era informasi yang semakin jelas di awal abad 21 ini.

Terkini, globalisasi di bidang ekonomi dan politik telah memberi pengaruh sampai ke perubahan kebudayaan dan pola pikir masyarakat dunia. Kemajuan teknologi- informasi yang kian pesat telah memungkinkan menyebarnya nilai-nilai dan ideologi satu lokus ke lokus-lokus yang lain. Gaya hidup sebuah lokus, budaya populer, pemikiran dan doktrin begitu cepat menyebar dengan bantuan handphone, internet dengan berbagai layanannya seperti situs jejaring sosial Facebook, dan TV Kabel (Parabola). Kota-kota kecil atau besar ditandai dengan berdirinya mall-mall dan restoran-restoran cepat saji antara lain seperti KFC, McDonald, Pizza Hut, yang kesemuanya itu bukan hanya persoalan ”perut” tapi juga gaya hidup yang semakin tersentralisasi.

Dengan semakin canggihnya alat-alat informasi, seperti sistem teleconference manusia yang berbeda jarak bisa bertemu muka dengan muka meski hanya sebatas gambar bergerak. Dalam kekristenan ini memberi pengaruh dengan semakin merebaknya ”Gereja TV”, yaitu para pengkhotbah yang menggunakan televisi sebagai media menyampaikan ”firman Tuhan.” Berita firman memang semakin mudah tersebar, tapi konsekuensinya adalah kehilangan sentuhan pastoral dalam pelayanan firman. George Ritzer menyebut globalisasi sebagai sebuah kehampaan. Perjumpaan kita di era globalisasi ini adalah perjumpaan semu.

”The World is Flat”, ujar Thomas L Friedman. Dunia seolah-olah tak ada lagi batas. Antara Utu, Alo, Keke, dengan George, Chelse, Jurgen, atau Suprapto, Inem, dan lain sebagainya adalah manusia-manusia di sebuah dusun kecil bernama bumi. Kemajuan teknologi dan informasi serta perdagangan antara negara, telah membuat dunia ini menjadi datar. Saling tukar informasi, pengetahuan, juga doktrin (baik atau buruk) semakin mudah dan cepat menyebar. Ini tantangan, tapi juga menyimpan peluang.

Kaum Muda Gereja dalam Tantangan dan Peluang Globalisasi

Globalisasi telah menyejarah. Meskipun, tampaknya, globalisasi adalah proses sengaja untuk penguasaan ekonomi dan politik oleh negara-negara kapitalis. Kaum muda gereja yang sementara berada ada dalam realitas sejarah itu, adalah orang-orang muda, yang sementara berada dalam dunianya yang dinamis, kreatif, inovatif, suka tantangan dan hal-hal yang baru. Meski secara psikologis kaum muda gereja mencirikan itu, namun, identitas yang mestinya menjadi spiritnya adalah nilai-nilai kekristenan.

Kaum muda Kristen, idealnya adalah orang-orang muda yang dengan komitmen penuh, tapi kreatif dan inovatif ikut ambil bagian menjadi media atau agen untuk menjalankan misi Allah (Missio Dei), yaitu menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di muka bumi ini. Apa tanda-tanda kerajaan Allah itu? Dalam refleksi iman, tanda-tanda kerajaan Allah itu berupa keadilan, kebenaran dan panggilan kemanusiaan. Itulah yang kita sebut-sebut dengan ’syalom”, damai sejahtera untuk sekalian alam ini.

Globalisasi, pada banyak hal mengancam situasi yang damai dan nyaman penghuni dunia ini. Pertarungan politik-ekonomi global, menyebarnya ide-ide dan gagasan-gagasan serta doktrin negara-negara maju yang kapitalistik telah berdampak pada pe(ke)miskinan dan ancaman kerusakan lingkungan hidup pada masyarakat dunia ketiga (termasuk kita di Asia dan Indonesia terlebih khusus). Perubahan kebudayaan, cara pikir dan paradigma yang khas lokal, membawa konsekuensi berubahnya pola hidup, yang cenderung menjadi konsumeris, hedonis dan gila kekuasaan. Gereja pun muda dikomersialisasi. Hal ini tentu memberi dampak pada kehidupan keagamaan atau religiusitas. Gereja yang merupakan perkumpulan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, mau atau tidak mau, sadar atau tidak sadar ada dalam pengaruh globalisasi yang menyebarkan ide-ide dan gagasan-gagasan itu.

Tapi, globalisasi sesungguhnya sudah menjadi kenyataan. Masyarakat penghuni bumi sudah terlanjur diintegrasikan oleh kuasa politik dan ekonomi yang menaklukan itu. Makanya, jika kaum muda diam, maka peradaban dan kehidupan keagamaan kita akan tergilas oleh arus kuasa itu. Melawan globalisasi mungkin tidak efektif langsung menerjang kuasa-kuasa itu. Barangkali kita perlu membuat ”arus balik”, yaitu mengglobal dari lokus kita atau menunggangi globalisasi untuk survive menggapai masa depan.

Nilai-nilai Injil yang mengandung keadilan, kebenaran, kesetaraan serta kemanusiaan adalah spirit untuk menghadang dehumanisasi kuasa globalisasi. Kaum muda silakan masuk ke dalam arus globalisasi itu, tapi ingat spirit kita adalah kasih yang menembus batas perbedaan dan tanpa pamrih. Visi kita adalah untuk hidup yang ”syalom” atau damai sejahtera. Kaum muda Kristen yang sudah di dalam arus globalisasi itu setidaknya harus memiliki kualitas hidup yang Injili, yaitu: inklusif tapi idealis, kreatif, inovatif, cerdas, sehat jasmani dan rohani. Niscaya, dengan kualitas hidup seperti itu kaum muda Kristen bisa ’bertarung’ dan mengambil bagian mengerjakan misi Allah untuk hidup yang damai sejahtera.

Epilog

Dalam tantangan dan peluang globalisasi ini, kaum muda terpanggil untuk merefleksikan hidup mudanya dalam usaha mengambil bagian untuk menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah itu. Secara teologis, Allah berkehendak agar kaum muda tidak menyia-nyiakan hidup mudanya untuk hal-hal yang tidak berkualitas. Kaum muda terpanggil untuk memaknai usia mudanya untuk kebaikan dan kebenaran. Sebab Tuhan menilai kehidupan kita (Pkh. 11: 19). Dalam Timotius: 2:22 jelas sekali disebutkan panggilan itu: ”Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni.”

Usia muda adalah masa di mana kaum muda diberi kesempatan untuk berkarya dan mengabdikan hidupnya untuk kehidupan bersama yang lebih baik. Yeremia dipanggil dan diutus Tuhan di saat usianya masih sangat muda. Yeremia dipanggil untuk mengabdikan hidupnya bagi pembaruan hidup bersama (Yeremia 1:4-19). Bahkan, menurut Alkitab, kewibawaan kaum muda tampak dari kualitas hidupnya yang menjadi teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataan, tingkah laku yang mencirikan kasih, kesetian dan kesucian (1 Tim 4:12).

Yesus di masa mudanya adalah seorang yang sangat cerdas dan berhikmat. Memang ada masa yang tidak dicatat oleh Alkitab, masa justru di mana Yesus melewati masa mudanya. Tapi penulis Injil Lukas mencatat perkembangan Yesus menuju masa muda: "Lalu Ia (Yesus) pulang bersama-sama mereka (orangtua-Nya) ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. ... Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Lukas 2:51-52). Teladan masa muda Yesus bagi kita adalah hikmat yang dimiliki-Nya yang membuat ia dikasihi oleh Allah dan sesama manusia. Dan terutama, alkitab menyaksikan bahwa Yesus memenuhi panggilan Allah untuk tugas menyelamatkan dunia ketika Dia masih muda.

Panggilan kaum muda gereja di era globalisasi ini adalah tanggung jawab menghadirkan nilai-nilai kehidupan yang terbuka/pluralis, egaliter, konstruktif, humanis, idealis, pro keadilan dan kebenaran, serta kreatif dan inovatif mengusahakan/mengolah sumber daya alam; dan memberdayakan fasilitas-fasilitas tekonologi yang semakin canggih untuk kemanusiaan. Ituah nilai-nilai Injil dalam interpretasi kita di era globalisasi ini.

Kuranga-Tomohon,

Minggu Advent Pertama

(Kamis, 2 Desember 2010)



[1] Disampaikan pada Latihan Kepemimpinan Pemuda Gereja (LKPG) Wil. Tompasobaru I, di Jemaat ”Maranatha” Tambelang, Sabtu, 4 Desember 2010.

[2] Dosen Fakultas Teologi UKIT, dan aktif di Mawale Cultural Center.

[3] “Globalization” http://dictionary.reference.com/browse/globalization (download 1 Desember 2010).

[4] Ibid.

[5]Ibid.

[6]“Globalisasi”, http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi

[7] Jalur Sutra (The Great Silk Road) merupakan alur perdagangan para pedagang sejak abad ke-2 sebelum Masehi sampai dengan abad 16 Masehi. Jalur yang sangat terkenal ini menghubungkan Cina dan Kerajaan Romawi sepanjang 7.000 kilometer lebih. Dinamakan jalur sutra karena barang utama yang diperdagangkan lewat jalur ini awalnya adalah sutra Cina. Namun seiring waktu barang yang diperdagangkan berkembang perhiasan, emas, besi, dan lainnya. Rute utama jalur ini melalui bagian tengah Cina melalui pegunungan Thien San, Asia Tengah, Afghanistan, Iran, bagian pantai Mediterrania, Afrika Utara, menuju Eropa. Para pedagang melewati jalur ini dengan kereta kuda. Merekalah yang diyakini memberikan pengaruh penting bagi perkembangan kehidupan modern Asia dan Eropa di segala bidang. Jalur ini begitu penting sebagai urat nadi ekonomi, budaya, bahkan politik pada Abad Pertengahan.

[8] Thomas L. Friedman, The World is Flat, Sejarah Ringkas Abad ke-21, (Terj. Dian Rakyat, Jakarta, Oktober 2006).

0 komentar: