Jumat, 29 Juli 2011

Membaca Indonesia dari Nagari Djogja

Oleh: Denni H.R. Pinontoan

Catatan ini bagian dari perjalanan saya di Yogyakarta dalam rangka mengikuti program ”Interreligious Understanding and Peacebulding Initiatives (IUPI)” yang bertajuk “The Role of Christian Higher Education in Interrelious Peacebulding”. Cerita perjalanan lainnya telah saya tulis dengan judul “Ziarah Damai di Nagari Djogja”.

KOTA Yogyakarta adalah Ibu Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kota ini adalah salah satu kota besar di Pulau Jawa. Di kota inipula tempat kedudukan Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualam. Salah satu wilayahnya, yaitu Kotagede pernah menjadi pusat Kesultanan Mataram antara 1575-1640. Keraton (Istana) yang masih berfungsi dalam arti yang sesungguhnya adalah Karaton Ngayogyakarta dan Puro Pakualaman, yang merupakan pecahan dari Mataram.

Cikal bakal Provinsi DIY adalah Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Pakualam. Sejak zaman VOC, daerah itu telah memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state”. Belanda menyebut status ini sebagai Zelfbestuurende Lanschappen. Jepang menyebutnya Koti/Kooti. Di masa Indonesia, oleh Soekarno, sebagai presiden pertama RI, Yogyakarta ditetapkan sebagai daerah yang diistimewakan, bukan lagi sebagai sebuah negara berdiri sendiri.

Senin pagi, menuju ke kampus UKDW, kami menyusuri jalan Prof. H. Yohannes. Nama jalan ini diambil dari nama mantan rektor UGM, Prof. Ir. Herman Johannes. Dia mantan rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta periode tahun 1961–1966.

Jalan Prof. H. Yohannes pagi itu ramai. Becak lalu-lalang menyusuri sisi kanan dan kiri jalan. Sepeda motor dan mobil beragam merk bergerak cepat, mengancam pejalan kaki dan becak di jalanan. Di perampatan lampu merah, arah ke Jl. Sudirman, berdiri Rumah Sakit Bethesda. Rumah sakit milik Gereja Kristen Jawa Tengah dan Gereja Kristen Jawa ini resmi berdiri pada 20 Mei 1899. Pendirinya Dr. J. Gerrit Scheurer. Awalnya rumah sakit ini bernama Petronella Zienkenhuis. Masyarakat setempat menyebutnya RS Toeloeng/Pitulungan. Nama ini muncul sesuai dengan semangatnya yaitu menolong atau melayani dengan tidak memandang latar belakang pasien.

Di era Jepang (1942-1945) namanya diganti dengan Yogyakarta Tjuo Bjoin. Setelah Indonesia, rumah sakit ini dikenal sebagai rumah sakit pusat. Untuk mempertegas warna kekristenannya, pada tanggal 28 Juni 1950 namanya dirubah menjadi Rumah Sakit Bethesda.

Sekira 500 meter dari lampu merah itu berdiri megah gedung Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). ”Duta Wacana” berarti ”utusan firman”. Universitas ini berawal dari Fakultas Theologia yang dikembangkan dari Sekolah Guru Injil pada tahun 1906. Sekolah ini pertama-tama berkembang menjadi Akademi Theologia Yogyakarta (ATY). Ketika pendidikan Theologia Balewiyoto, Malang bergabung pada tahun 1962, ATY menjadi Sekolah Tinggi Theologia Duta Wacana (S.T.Th. Duta Wacana). Pada 31 Oktober 1985 S.T.Th. Duta Wacana dikembangkan menjadi universitas. Fakultas Theologia menjadi salah satu fakultas dalam Universitas Kristen Duta Wacana.

Gedung UKDW tiga lantai, yang memanjang dari utara ke selatan. Setiap kira-kira lima belas menit pesawat-pesawat milik Lion Air, Garuda, Air Asia, Batavia Air dan Sriwiyaja Air melintas di atasnya. Bunyi mesin pesawat menderu. Bandara Adisutjipto terletak kira-kira 3-4 km dari kampus ini.

Ke Yogyakarta, kalo blum ke Malioboro, orang bilang sama deng blum ke Djogja. Suatu malam saya dan beberapa teman ke sana. Seperti yang saya dengar, kawasan ini memang ramai. Di sepanjang jalan itu, andong, kendaraan tradisional Yogyakarta yang ditarik oleh kuda berbaris rapih menunggu penumpang. Emperen toko dipadati dengan pedagang kaki lima. Mereka menjual kaos oblong bermerek ”dagadu”. Motifnya bergambar orang memakai pakaian khas Jawa. Atau tulisan-tulisan dengan berbagai variasi tentang Djogja. Ada blankon. Ada sendal berwarna-warni. Kemeja batik. Daster batik. Di sisinya yang lain warung-warung berjejer menjual soto ayam, nasi uduk, pecel lele, sate ayam.

WAKTU menuju ke Malioboro, dari dalam taxi, saya melihat beberapa spanduk yang terpampang di sejumlah perempatan. Spanduk yang menarik perhatian saya itu bertuliskan ”Bergabung tak berarti Melebur.”

”Apa artinya itu, mas?” Saya bertanya kepada Mas Udin, kusir andong yang mengantar saya mengelilingi alun-alun keraton.

”Mas, itu khan waktu pemerintah mau rubah Jogja. Lha, wong orang-orang sini gak mau. Sultan itu junjugan kami,” balas mas Udin.

Mas Udin, waktu itu memakai blankon. Tampak sekali ke-djogja-annya. Bicaranya medok Jawa. Dia cerita tentang kedatangan Presiden SBY ke Yogyakarta waktu lalu. ”Wah, waktu SBY dateng, rakyat pada menyorakin dia. Huuuuuu...,” ujar Mas Udin.

Rakyat Yogyakarta bereaksi atas Rancangan Undang-undangan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat di senayan, mulai akhir tahun lalu. Intinya, gubernur dan wakil gubernur DIY akan melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat, bukan penetapan. Sontak hal tersebut memunculkan reaksi dari rakyat Yogyakarta.

Drs Sudomo Sunaryo, mantan Asekwilda I Provinsi DIY menulis di harian Kedaulatan Rakyat. Dia menjelaskan posisi Yogyakarta dalam NKRI. ”Pertama, sejarah hubungan Yogya dengan RI adalah penggabungan dua entitas politis, karena baik RI maupun Yogya sebenarnya merupakan negara-negara tersendiri,” tulis Sunaryo.

Sunaryo menulis, Nagari Yogya bersifat monarki. Ia terdiri dari dua kerajaan Jawa, yaitu Kasultanan dan Pakualaman, yang sebelum Indonesia merdeka telah melakukan reunifikasi. ”Jauh sebelum RI merdeka, Kasultanan dan Pakualaman Yogya telah mempunyai dasar hukum atau koninklijke besluit dari Ratu Negeri Belanda Wilhelmina sebagai daerah yang berdaulat sehingga secara internasional kedudukannya sama dengan sebuah negara merdeka!” tulisnya.

Bagi Sunaryo, penggabungan Yogyakarta ke republik Indonesia tidak sama dengan penaklukkan diri atau penyerahan kedaulatan. Bahkan, menurut dia saat itu Yogyakarta dimungkinkan untuk merdeka sendiri karena sudah memiliki syarat untuk menjadi sebuah negara yaitu, ada pemerintahan, wilayah, penduduk (rakyat), dan pengakuan internasional.

”Bahkan Belanda menawarkan Sultan HB IX menjadi super wali nagari atas Jawa dan Madura. Keputusan bergabung dilakukan oleh penguasa Nagari Yogya (Sultan HB IX dan Paku alam VIII) karena jiwa kenegarawanan dan visi keindonesiaan mereka,” tulis Sunaryo.

Maret 2011 terbit buku berjudul ” Monarki Yogya, Inkonstitusional?” Pengarannya adalah para kolumnis dan wartawan Kompas. M Abdurrahman, Pegiat Komunitas Rindu Alas IAIN Walisongo Semarang, Juli lalu, menulis resensi buku itu di news.okezone.com.

Menurut Abdurrahman, buku ini memberi tiga alasan mengapa RUU DIY banyak ditolak oleh masyarakat Yogyakarta. Ketiga argumentasi tersebut meliputi: sejarah Keraton Yogyakarta terhadap kemerdekaan RI, yuridis ketatanegaraan, dan kebudayaan. ”Pada saat Indonesia merdeka, posisi Keraton Yogyakarta masih sebagai kerajaan yang merdeka dan belum bergabung dengan NKRI,” tulisnya/

Secara yuridis ketatanegaraan, keistimewaan Yogyakarta telah diakui oleh Undang-Undang No 3 tahun 1950 tentang pembentukan kepala daerah dan predikat keistimewaannya. Salah unsur keistimewaan Yogyakarta adalah kebudayaan. Keraton Yogyakarta memiliki simbol kebudayaan Jawa yang sampai saat ini masih tetap dilestarikan.

Kebudayaan unik yang terdapat di Keraton Yogyakarta diantaranya ada buku kuno, serat, babad, dan tembang yang masih tersimpan di sana. Di sana juga mengoleksi jenis tari-tarian, seperti tari bebaya, sirimpi, golek, dan maeso lawenga. ”Kekhasan pemerintah di Yogyakarta adalah kerajaan,” tulis Abdurrahman.

Sedangkan rakyat Yogyakarta yang berada dekat pusat kekuasaan RI di Jakarta bermasalah dengan dominasi pemerintah pusat, apalagi rakyat yang berada di daerah-daerah luar Jawa. Suatu pagi di sebuah pondok kecil Wisma MM UGM, saya bertemu dengan Aan dan Joni Asmosyah, pegawai negeri sipil di kantor Sekretaris Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Mereka datang ke Yogyakarta untuk mengikuti sebuah kegiatan yang membahas wilayah-wilayah perbatasan.

”Orang-orang di Kaltim kalau menjual pisang ke Malaysia harganya bisa capai Rp. 15.000 tapi di Kaltim sendiri mungkin harganya hanya Rp. 5.000,” ujar Aan.

Dua orang abdi negara ini berharap pemerintah pusat memberi perhatian pada daerah. Menurut Joni, mungkin karena wilayah Pemerintahan Indonesia terlalu luas maka perhatian ke daerah dari pemerintah pusat tidak terlalu baik. ”Daerah susah berkembang karena semua diatur oleh pemerintah pusat.”

Ketika hendak ke beberapa tempat religi di Yogyakarta dan sekitarnya, saya menulis di status akun Facebook, ” Hari ini ke Ponpes Pabelan, vihara Mendut dan gereja katolik Ganjuran. Belajar sambilan pesiar.. Sbantar malam acara ’Malioboro Nigth’...dapa rasa sekali katu depe Jogja...he..he..”

Ini kali pertama saya ke Kota Djogja. Jadi, dapa rasa sekali depe ke-jogja-an. Begitu orang Minahasa dalam bahasa Melayu Manado ketika menyebut sesuatu yang dirasa khas. Apa lagi ketika di Malioboro, berkeliling di alun-alun keraton, mendengar orang berbicara dalam bahasa Jawa dengan dialek yang medok, melihat para laki-lakinya yang memakai blankon di kepalanya, para perempuannya yang berkebaya batik, naik andong, termasuk ketika melihat spanduk-spanduk bertuliskan, ” Bergabung Tak Berarti Melebur” itu.

”Kalu datang di tomohon, apa dorg dapa rasa sama deng Denni rasa di Yogya? hehehe...” Augustien Kaunang, dekan Fakultas Teologi UKI Tomohon berkomentar membalas status facebook-ku.

Saya balas komentar tersebut,”So musti usul Daerah Istimewa Tomohon supaya depe rasa Tomohon memang muncul. He..he...di sini depe tata kota bagus ada cita rasa kultur jogja. Tomohon pe ’ketombuluan’ musti hidupkan, bukan bangun mall atau tanam merry gold...he..he...”

Saya membandingkan Djogja dengan Kota Tomohon, tempat saya tinggal, sebuah kota kecil di kaki gunung Lokon yang beberapa hari meletus itu. Kultur Jawa yang masih kuat, mungkin antara lain sehingga rakyat Djogja sadar betul keistimewaan Yogyakarta.

”Coba trg lia Toraja jadi tujuan wisata karna dapa rasa tu toraja kalu pi sana. Yogya, Toraja, Bali sama dapa rasa di sana,” Kaunang kembali berkomentar.

”Berharap dr pemerintah untuk mengeksplorasi kekayaan budaya Minahasa untuk menjadi objek wisata, agak sulit. Daerah2 itu, pemerintahnya sadar betul soal potensi budaya untuk pariwisata,” demikian komentar balasan saya.

Yogyakarta adalah kota pariwisata. Banyak objek wisata budaya di sana. Saya bersama-sama peserta program ”Interreligious Understanding and Peacebulding Initiatives (IUPI)” sempat berkunjung ke Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Tuhan Ganjuran, Bantul. Bantul adalah salah satu kabupaten yang masuk wilayah pemerintahan Provinsi DIY.

Di samping gedung gereja Hati Kudus Yesus Tuhan Ganjuran ada sebuah candi kristiani. Namanya Candi Hati Kudus Yesus Tuhan Ganjuran. Candi ini menjadi tempat ziarah dari warga yang datang dari beragam agama. Mereka ke candi ini untuk sembayang dan memohon berkat. Candinya khas candi Hindu-Jawa. Tapi di dalam candi ada pahatan Yesus yang memakai baju khas bangsawan Jawa.

”Berka dalem,” ujar Fransiskus Xaverius Sujud wakil ketua II Paroki Gunjaran menyambut kami.

Para hadirin diminta menjawab dengan ”berkah dalem”.

”Berka dalem,” kami serempak membalas.

Mungkin arti salam itu seperti tabea yang sering orang Minahasa ucap. Atau juga seperti ”syalom” bagi orang Yahudi. ”Wassalam” bagi orang Arab. Mendengar salam itu ke-jawa-annya langsung terasa.

Gedung gereja dibuat terbuka dengan beberapa tiang yang berdiri kokoh. Dominan berwarna hijau, yang melambangkan kesuburan. Langit-langitnya dihiasi dengan relief bermotif tumpang sari, sejenis tumbuhan yang merambat. Relief ini melambangkan prinsip saling mengikat dan berkasih-kasihan. Di depan atas altar ada burung pelikan yang menjaga anak-anaknya. Ini, menyimbolkan seorang ibu yang setia menjaga anak-anaknya. Atap gedung gereja ini lazimnya rumah Joglo Jawa.

Ketika berada di gedung gereja ini terasa sekali Jawanya. Pada altar utama ada mimbar, meja untuk pastor, dan tabernakel dengan dengan pahatan Yesus tersalib. Di bagian kanan dan kirinya ada dua malaikat memakai mahkota pembesar kerajaan Jawa duduk bersimpuh. Ada juga sebuah payung kebesaran kerajaan di bagian kirinya. Ia dilengkapi sebuah lentera bergaya keraton Jawa.

Pada dinding gereja terpajang lukisan batik tulis yang menceritakan kisah kesengsaraan Yesus. Pada sisi kanan altar utama, duduk arca Yesus mengenakan pakaian kebesaran Raja Jawa. Di sisi lainnya, ada patung Yesus kecil dalam pelukan Maria. Si ibu Yesus itu memakai pakaian adat Jawa.

”Semua ini adalah simbol-simbol khas Jawa, yang dipakai sebagai media untuk inkulturasi teologi. Kami berusaha menjadikan gereja kami sebagai gereja Kristen Jawa,” tambah Sujud.

Waktu gempa bumi tahun 2006, gedung gereja Hati Kudus Yesus Tuhan yang lama roboh. Waktu itu sedang acara misa pagi. Ada kira-kira enam orang umat yang meninggal karena tertimpa reruntuhan bangunan gereja yang roboh akibat gempa. Gedung gereja yang waktu itu sudah berusia 62 tahun pun ikut roboh. Gedung gereja yang sekarang mulai dibangun 22 Juni 2008.

Gedung gereja tua yang roboh itu dibangun tahun 1924 atas prakarsa dua bersaudara asal Belanda, Joseph Smutzer dan Julius Smutzer. Smutzer bersaudara adalah pengelola Pabrik Gula Gondang Lipuro sejak tahun 1912. Mereka menganut agama Katolik. Dalam mengelolah pabrik gula itu mereka menerapkan ajaran sosial gereja yang disebut rerum novarum. Ajaran ini dimulai Paus Leo XIII pada tahun 1891 yang mengatur prinsip hubungan majikan dan buruh sebagai mitra kerja, bukan atasan dan bawahan.

”Dalam menerapkan ajaran itu, Smutzer bersaudara menetapkan kebijakan, bahwa selain mendapat upah, buruh juga mendapatkan pembagian keuntungan yang adil,” ujar Sujud.

Perancang bangunan gereja ini adalah seorang arsitek berkebangsaan Belanda bernama J. Yh van Oyen. Pemberkatan gereja dilakukan oleh Vicaris Apostolik Batavia Mgr. JM van Velsen pada 20 Agustus 1924. Tiga tahun kemudian yakni pada 1927, kompleks gereja ini disempurnakan dengan pembangunan sebuah candi yang dinamai Candi Hati Kudus Tuhan Yesus. Tahun 1948, pabrik gula dibumihanguskan menyusul terjadinya Agresi Militer Belanda ke II, namun Gereja Ganjuran, Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, sekolah-sekolah, dan rumah sakit dibiarkan tetap berdiri.

Orang-orang yang datang dari latar belakang agama yang berbeda banyak yang datang berziarah ke Candi Hati Kudus Yesus Tuhan. Orang beragama Islam, Budha, Hindu yang datang dari berbagai wilayah di Jawa datang berziarah ke candi.

”Dalam bahasa Jawa, kata ’ziarah’ diambil dari kata ’siji’ yang berarti ’satu’ dan ’arah’ berarti ’tujuan’”. Jadi, ’ziarah’ berarti ’satu tujuan’,” ujar Sujud.

”Satu tujuan, yaitu hidup damai.”

Hidup damai, adalah harapan semua. Tapi, melebur dalam satu kesatuan politis yang terpusat, agaknya tidak. Rakyat Nagari Djogja menolak dominasi itu dengan berteriak, ”Bergabung tak berarti Melebur!”

0 komentar: