Selasa, 12 Juli 2011

Cerita Dua Minggu di Jakarta

Tiga jam di atas udara dari Manado ke Jakarta, terasa cukup lama. Pesawat Boeing 737 milik maskapai Lion Air akhirnya mendarat dengan mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Hari itu, Senin (4/7). Para penumpang, termasuk saya, segera keluar melalui pintu pesawat melewati lorong belalai menuju ke terminal A1.

Saya tak berlama-lama di terminal. Sudah agak terlambat. Kursus Jurnalisme Sastrawi di Pantau sudah dimulai jam 10.00. Sementara jam di hp saya sudah pukul 12.00.

Saya segera mencari taxi menuju ke kantor Pantau. Di seberang, ada seorang sopir dengan mobil taxinya menunggu penumpang. Menyebrang dan mendekati si sopir itu. ”Bisa antar saya ke kebayoran lama, Pak,” kata saya.

”Boleh.” Laki-laki itu tampak senang, ada penumpang.

”Berapa ongkosnya?” tanya saya.

”Dua ratus ribu, Pak.”

”Wah, kemahalan. Seratus lima puluh aja, mas.”

”Emmm... Boleh.”

Kami berdua sepakat. Koper saya diambilnya, lalu ditaruh di bagasi. Saya pun masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi depan. Si Sopirnya pun sudah siap di depan setir. Atur porsneling dan menancapkan gas. Kamipun meluncur keluar bandara. Di dalam mobil saya menyebutkan alamat lengkap kantor Pantau.

Dia, Mas Kharim. Seorang sopir taxi.

“Jakarta ini mas, tiada hari tanpa macet,” katanya sambil terus menyetir mobil taxinya saat melewati Tol masuk-keluar bandara.

Jalanan Jakarta macet. Seperti biasanya. Untung Mas Kharim orangnya suka ngobrol. Aku menikmati kemacetan itu dengan cerita-cerita Mas Kharim. Saat itu, dan seperti biasanya, langit Jakarta berkabut. Bukan kabut karena mau turun hujan. Tapi polusi. Kalau di Manado, kemarin, kabutnya karena debu akibat letusan gunung Soputan. Gara-gara itu, keberangkatan saya dari sana ditunda satu hari.

”Menjadi sopir taxi di Jakarta harus lincah. Kalau tidak, sulit dapat penumpang,” kata Mas Kharim sambil kakinya menginjak pedal rem. Jalanan macet lagi.

Tubuh Mas Kharim agak gemuk. Berkumis. Dia memakai kemeja putih kekuning-kekuningan, kusam, Celananya berwarna abu-abu. Itu seragam perusahaan taxinya. Mobil taxinya kelihatan sudah tua. Beberapa bagian jok mobilnya tampak robek. Saya sempat ragu.

”Mas Kharim asalnya dari mana,” tanya saya setelah mungkin 15 menit perjalanan kami dari bandara.

”Saya dari Pekalongan, Pak.”

”Kalau saya dari Minahasa. Di daerah saya banyak orang Jawa berjualan bakso atau ayam lalapan,” balasku.

Mas Kharim bekerja sebagai sopir taxi di Jakarta sudah empat tahun. Sebelumnya dia sopir truck antar daerah. Dia sering melewati Pelabuhan Penyeberangan Jawa-Sumatera di Merak. Anaknya tiga orang. Yang bungsu berumur empat tahun, yang kedua 6 tahun. Yang tua SMP.

”Saya kerja untuk mencari nafkah buat keluarga. Itu ibadah saya,” ujarnya. Mobil taxi Mas Kharim terus berjalan dengan susah payah menantang kemacetan.

Istri dan anak-anaknya di kampung. Sebulan sekali dia mengirim uang untuk keluarganya. Dia bertekad agar anak-anaknya bisa selesai sekolah.

”Anak-anak saya harus sekolah. Kalau tidak, nanti sulit mereka bisa hidup,” kata Mas Kharim.

Adik Mas Kharim, seorang laki-laki, kini menjadi guru di Kalimantan. Adiknya itu, dulu guru honorer di kampung. Dia seorang Sarjana Pendidikan. Tapi, berapa tahun mengabdi sebagai guru honorer, adiknya itu tak kunjung diangkat menjadi PNS. Makanya, dia memutuskan untuk ke kalimantan setelah mendapat informasi dari temannya di sana.

”Adik saya contohnya. Kalau dia tidak sekolah, ya mungkin dia ikut jejak ayah kami, petani,” kata Mas Kharim.

”Mas, NU atau Muhammadiyah?” tanyaku.

”Ehmmm, saya Islam. Dulu aktif di NU, tapi juga pernah masuk Muhammadiyah,” ujarnya.

Ayah Mas Kharim di Pekalongan, Jawa Tengah, sekitar tahun 1960-an, pernah aktif di Banser Nadlahtul Ulama (NU). Mas Kharim sendiri, waktu di Madrasah Tsawaniyah pernah aktif di organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Tapi, setelah menikah dan menjadi sopir, dia tidak aktif lagi.

”Saya muslim yang tidak fanatik, Pak,” ujarnya.

Menurut Mas Kharim, menjadi muslim itu adalah menjadi orang yang jujur, rajin bekerja dan bertanggungjawab pada keluarga. Itu saja. Sederhana sekali. Dia tidak suka dengan beberapa organisasi Islam yang terlalu fanatik.

”Tapi saya rajin sholat, Pak,” kata dia.

Mas Kharim orangnya memang suka bercerita. Dia juga angkat cerita soal Aa Gym yang menceraikan salah satu istrinya. Dia bilang, ternyata pengetahuan agama yang banyak tidak juga menjamin seseorang berakhlak baik. ”Mending seperti saya, meski begini, tapi setia kepada istri,” ujarnya bangga.

Perjalanan sudah hampir satu jam. Mas Kharim banyak bercerita daripada saya. Tak terasa kami hampir sampai di kantor Pantau. Mas Kharim berhasil lolos dari kemacetan. Sekarang melewati pompa bensin Cidodol. Sesekali dia melihat keluar, mencari tower di atas gedung bertingkat empat. Tower di atas gedung bertingkat, kata Mas Imam Sohfwan dari Pantau melelui telepon, adalah penunjuk untuk mencari kantor Pantau.

Kini, saya sudah di kantor Pantau. Berkat Mas Kharim, si sopir taxi yang ”bener-bener Islam” itu, saya bisa sampai di markasnya para pejuang demokrasi dengan jurnalisme, Pantau. Saya bayar ongkos taxinya. ”Alhamdullilah...Makasih, Pak. Sampai ketemu lagi,” ujar mas Kharim.

Mobil taxi tua yang dikendarai Mas Kharim pun segera berlalu. Hari hampir sore.

***

Halaman gedung itu tidak terlalu luas. Hanya cukup untuk memarkir beberapa mobil. Di bagian paling atas ada tower pemancar. Itu sering menjadi penanda bagi orang yang baru pertama kali ke situ. Lantai dasarnya ada toko yang menjual onderdil. Di sebelahnya ada percetakan.

Sore itu tidak terlalu ramai orang di halaman atau bagian ruangan lantai pertamanya. Hanya tampak beberapa orang sibuk mengerjakan pekerjaanya. Seorang yang masih memakai helm turun dari sepeda motor. Dia masuk ke pintu salah satu bagian gedung itu. Letaknya di sudut gedung. Dari pintu itu naik tangga, di lantai empat ada sebuah ruangan. Di dalamnya, ada seorang perempuan Amerika, berambut pirang dan berkulit terang bersama sekitar 15 laki-laki.

Ruangan itu biasanya dijadikan tempat diskusi. Kalau ada kursus, baru berfungsi sebagai kelas. Tapi, ini bukan kelas di sekolahan. Tak ada meja untuk menulis. Yang ada hanya semacam papan tulis berukuran 0,5 x 1 meter. Kursinya tidak diatur satu arah tetapi berbentuk setengah lingkaran. Muridnya juga tidak biasa. Tidak pakai seragam. Bisa pakai kaos oblong dengan celana jeans. Duduk sambil berpangku kaki santai juga tidak dilarang. Asalkan serius.

Besar ruangan kelas ini kira-kira 6 x 5 meter. Permukaan salah satu sisi dindingnya yang berwarna krem sengaja dibuat tidak rata. Seperti mentega yang melapisi kue tart. Ada gambar becak dengan tulisan ”Pantau” dalam bingkai menempel di dinding itu. AC-nya juga berwarna krem tua pas di bagian tengah atas dinding itu. Langit-langitnya dicat warna biru. Dinding di sebelahnya seperti kayu yang dicat warna coklat. Tapi sesungguhnya itu bukan kayu. Semacam plastik yang dibuat menyerupai kayu dengan urat-uratnya. Ia tidak kokoh. Dinding ini menjadi pemisah dengan ruang lain. Dua sisi dinding yang lain dihiasi tirai yang bergantungan.

Di dalam ruang kelas tadi, perempuan berambut pirang itu sedang berbicara dengan penuh semangat. Dia bisa berbicara bahasa Indonesia tapi sesekali bercampur dengan kata-kata Inggris. Dia, Janet Steele, seorang perempuan, profesor dari George Washington University, spesialis sejarah media. Juga mengajar narrative journalism. Kali ini dia memakai rok panjang berwarna coklat muda serasi dengan blusnya berwarna coklat tua.

Sesekali bicaranya ditanggapi orang-orang yang duduk setengah melingkar itu. Mereka bicara tentang sejarah dan unsur-unsur jurnalisme sastrawi atau Janet lebih suka menyebutnya narrative journalism. Santai tapi serius orang-orang di ruangan itu. Saya, kemudian menjadi bagian dari orang-orang itu.

***

Mobil dan sepeda motor lalu lalang dijalanan. Saling mendahului dan mengadu kecepatan. Di depan kantor Pantau, di seberangnya ada warung-warung makan berjejer. Biasanya warung-warung itu nanti dibuka sore sampai malam. Saya menyeberang dengan susah payah menuju salah satu warung. Sebuah kain putih bertuliskan: ”Ayam goreng/bakar. Bebek goreng/bakar” ditaruh di depanya sebagai petunjuk bahwa warung itu menyediakan menu yang disebut. Kain itu juga berfungsi menutupi salah salah sisi warung. Warna tulisannya merah menyolok. Di sampingnya ada gambar bebek dan ayam.

Seorang lelaki muda berdiri di sudut warung. Ia berjongkok sambil memukul-mukul sebuah batu untuk menancapkan sejenis paku ke tanah. Di paku itu terikat tali yang dihubungkan dengan satu sudut kain. Di dalam warung, di belakang gerobak yang di atasnya ada lemari kaca kecil, seorang lelaki yang lebih tua sementara mengatur tahu dan tempe di dalamnya. Paha dan dada ayam berwarna kuning muda juga ikut disusun di lemari. Saya agaknya pelanggan pertama di sore jelang malam di warung itu.

Kebisingan deru mobil dan sepeda motor membuat saya harus berbicara lebih keras. ”Ayam goreng satu, mas!”

”Iya. Silakan duduk dulu,” sahut lelaki di belakang gerobak itu.

Akupun duduk menanti pesanan. Tapi nyamuk-nyamuk kecil beterbangan. Mengganggu aku yang sementara duduk itu. Aku usir mereka. Tapi, dasar nyamuk. Yang satu pergi, yang lainnya datang lagi. Aku akhirnya harus berkelahi dengan nyamuk-nyamuk kecil itu. ”Ehmm, mereka sudah pergi,” gumamku.

Eh, tak lama, datang lagi yang satu. Nyamuk yang nakal ini, bahkan sempat menggigit tanganku. Aku pukul nyamuk itu. Tapi, bukannya nyamuk yang kena, tangaku sendiri yang kena. Gigitan nyamuk itu membekas. Sebuah benjolan kecil berwarna merah di tanganku terasa gatal. Dasar nyamuk.

Belum selesai masalah nyamuk, terasa ada yang menyentuh pahaku. Aku kira tangan seseorang. Ternyata seorang kucing. Aku dan dia sempat bertatapan. Tatapannya memelas. Barangkali dia sedang mengharapkan sesuatu dari aku. Tapi, belum ada yang aku bisa beri. Ayam goreng yang dipesan belum selesai digoreng. Melihat aku hanya menatap saja, kucing itupun berlalu.

Gemericik minyak goreng yang mendidih samar-samar terdengar dari tempat dudukku. Bau ayam sedang digoreng semakin membuat perut menjadi lapar. Bau sedap itu seakan memanggil pelanggan yang lain. Satu dua pelanggan mulai berdatangan.

Sekira lima menit kemudian, paha ayam goreng pesananku datang. Masih panas, kentara dari uapnya yang masih mengepul. Ditaruh di atas nampan seukuran piring dialas daun pisang yang hijau, ayam goreng itu terlihat lebih gurih. Baunya enak. Ada mentimun yang dipotong-potong. Juga sayur kol yang diiris. Sambelnya merah. Bawang merah goreng ditabur di atas nasi putih. Emm, aku tak tahan langsung menyantapnya. Tapi, tunggu ada yang kurang. Kemanginya tidak ada. ”Mas, kemanginya?”

”Belum diantar, pak,” jawab lelaki muda yang sibuk menggoreng itu.

Tak apalah. Ini saja sudah enak. Aku pun segera mencuci tangan di baskom kecil berwarna merah berisi air bersih. Aku makan tak pakai sendok. Dengan jari-jari di tangan kiri, kusantap ayam goreng itu. Enak dan kenyang.

0 komentar: