Rabu, 17 Agustus 2011

Rakyat Tanpa Negara

Oleh: Denni Pinontoan (catatan ini pernah dimuat di Harian Media Sulut)

Pagi itu, bersama Greenhill Weol, saya hadir di Pasific TV. Kami diundang oleh tv lokal itu untuk tampil di dialog pagi. Kami bicara soal "Pancasila dan Keberagaman Budaya." Topik yang usang. Sudah banyak seminar dan orang yang bicara soal itu. Tulisan esai, makalah ataupun buku yang menyinggung soal itu juga sudah banyak. Tapi, menurut saya topik ini menjadi penting lagi ketika tampak gejala seolah-olah Pancasila mau dijadikan lagi sebaga ideologi tunggal, seperti pada massa orde baru. .

Tapi kali ini saya tidak akan menulis soal dialog itu. Meski yang akan saya tulis ini mungkin memiliki hubungan dengan kontradiksi seputar idealisme Pancasila dengan realitas.

Ceritanya begini: Habis dialog itu saya dan Green pulang ke Tomohon. Lewat di SPBU Winangun tampak antrian mobil memanjang untuk mengisi BBM. Sebuah pemandangan yang semakin biasa di daerah ini. Motor Green haus. Harus segera diisi BBM. Karena SPBU tadi banyak kendaraan antri, kami tidak singgah di SPBU itu. Sekira beberapa menit dari situ ada sebuah kios yang menjual bensin. Botol-botol coca-cola 1 liter dipajang. Isinya bensin. Kami singgah di situ. Di sebelah kios bensin itu ada warung makan. Saya menjadi lapar melihat RW yang dipajang. Kamipun singgah di warung makan itu. Saya pesan nasi RW. Tapi Green lebih suka menyantap daging ayam yang disantan.

Pemilik warung makan itu adalah seorang bapak dan ibu, yang kalau ditaksir usianya sekitar 50-an tahun. Sementara pemilik kios bensin agaknya anak mereka. Menu makanannya lumayan enak. Meski tidak terlalu rapih dan bersih bagian dalam warungnya. Sesekali kami harus mengusir lalat yang tidak sopan mau makan bersama. Bensin yang dijual di kios bensin itu, menurut penjualnya diambil dari SPBU.

Beginilah kehidupan rakyat dari negara yang disebut berdasarkan Pancasila ini. Kalau ditanya mungkin mereka tidak hafal 5 sila Pancasila itu. Tapi, untuk mencapai visi hidup sejahtera tampak mereka lakukan secara serius. Mungkin juga mereka tak hafal ayat-ayat kitab suci yang diajarkan oleh agama mereka. Jelas, banyak orang melakukan kerja adalah untuk hidup.

Pun, kisruh elit-elite politik gencar ditayangkan setiap hari oleh media, rakyat yang bekerja itu tidak ambil pusing. Petani tetap bertani. Nelayan tetap melaut. Para buruh tetap memproduksi. Para pedagang tetap menggelar dagangannya untuk dijual. Ini sebenarnya sebuah realitas bahwa rakyat yang paling banyak tidak bergantung pada negara. Jadi, apa fungsi negara?

Saya tidak mau bicara fungsi negara. Sebab itu terlalu abstrak. Mungkin yang menarik ditegaskan bahwa rakyat adalah kenyataan yang tidak boleh dianggap hanya sebagai lampiran dalam sebuah proses membangun. Pemerintah mestinya tidak meminggirkan para nelayan yang melaut di pantai manado hanya demi alasan pembangunan mall untuk PAD. Tidak perlu juga mengorbankan petani cap tikus demi program stabilitas. Dan kebijakan lain yang tidak berpihak pada rakyat hanya karena ambisi membangun secara kuantitas.

Pemerintah yang adil bukan terutama alasan idealisme ideologi apapaun, termasuk Pancasila. Bukan juga karena pemimpinnya berpura-pura baik hati. Tapi karena membangun secara adil dan menempatkan rakyat sebagai subjek adalah kewajiban pemerintah. Hidup sejahtera adalah hak rakyat. Jika kebijakan pemerintah hanya untuk menguntungkan pemodal; sekelompok orang dalam lingkaran kekuasaan; hanya untuk mempertahankan kekuasaan atau hanya sekadar membuai rakyat, maka mungkin pemerintah tidak diperlukan. Sebab, sehari-hari rakyat masih bisa makan tanpa bantuan ini dan itu, atau tanpa kebijakan apa saja. Justru, rakyat sering sulit hidupnya karena tanahnya dirampas oleh negara, politik minyak bikin susah atau kisruh korupsi dana pembangunan di level elit.

Bulan Agustus ini akan semakin gencar lagi pemerintah berwacana soal nasionalisme. Tanggal 17 Agustus akan datang Republik ini akan merayakan HUT Proklamasinya yang 66 tahun. Nantinya rakyat akan menyaksikan lagi seremonial kenegaraan yang kontras dengan korupsi yang kian menggila; perseteruan elit politik dan pembangunan yang meminggirkan rakyat. Nasionalisme semu akan mengusik keseharian rakyat yang sibuk dengan urusan hidupnya.

Namun, setidaknya bulan ini adalah juga bulan Ramadhan bagi umat Islam. Ibadah puasa kembali mengingatkan para elit negara soal makna menjadi manusia yang tidak serakah. Tapi, apakah mereka akan memaknai itu dalam kekuasaannya? Lihat, dengar dan rasakan saja.

0 komentar: