Selasa, 10 Mei 2011

Menjadi Kaum Muda Pelopor Pembaharuan

|0 komentar

(Renungan pada Ibadah Pembukaan Pertukaran Sepekan Mahasiswa STF Pineleng,STAIN Manado, dan Fakultas Teologi UKI Tomohon)

Bahan Bacaan: Yohanes 8: 30-36

Nabi bersabda bahwa Kebenaran telah dinyatakan:

"Aku tidak tersembunyi, tinggi atau rendah

Tidak di bumi, langit atau singgasana.

Ini kepastian, wahai kekasih:

Aku tersembunyi di kaibu orang yang beriman.

Jika kau mencari aku, carilah di kalbu-kalbu ini."

Demikian sebuah puisi dari sufi dan sastrawan Islam terkenal yang hidup di awal abad 13 Masehi, JALALUDDIN AR-RUMI, atau orang banyak kenal dengan Rumi saja. Judul puisi itu, ”Kebenaran”. Ada juga puisinya yang lain yang bertema sama:

Letak Kebenaran

Kebenaran sepenuhnya bersemayam di dalam hakekat,

Tapi orang dungu mencarinya di dalam kenampakan.

Banyak orang mengenal Rumi sebagai sufi dan juga sastrawan yang penuh keyakinan pada kedalaman Cinta, sebagai cara untuk memahami kehadiran ”Sang Kebenaran” itu. Kebenaran ada dalam hakekat, makna yang dikandung oleh Hati. Bukan dalam wujud yang terlembaga atau politis. Sebuah puisinya yang lain menegaskan keyakinannya itu:

jangan tanya apa agamaku.

aku bukan yahudi.

bukan zoroaster.

bukan pula islam

karena aku tahu,

begitu suatu nama kusebut,

kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.

Saudara-saudaraku,

Yesus juga sering bicara Kebenaran. Yohanes, salah satu penulis Kitab Injil berusaha memahami makna Kebenaran yang dimaksud Yesus dalam konteks terbebasnya manusia dari kungkungan dosa. Yesus menyampaikan Kebenaran dalam ucapan-ucapannya. Ia, dipahami oleh Yohanes sebagai yang merepresentasi Allah. Sehingga apa yang Yesus ucapkan adalah Kebenaran. Maka, untuk bisa hidup merdeka atau terbebas dari kungkungan dosa, orang-orang Yahudi, yang mendengar khotbah Yesus itu diajak untuk memahami dan meresapi betul ucapan-ucapan Yesus yang memuat kebenaran itu.

”Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”

Mari kita pahami ayat ini dalam logika berpikir Yohanes yang merepresentasikan Allah dalam kehadiran Yesus. Dan, Yesus memang dalam kesadaran itu. Yohanes, agaknya mampu menyelami Yesus sampai jauh ke dalam hakekat Kebenaran itu. Dan, seperti nabi-nabi lain, di peradaban dan waktu yang lain, juga hadir dan menyatakan dirinya sebagai yang merepresentasi Allah atau Yang Maha Kuasa itu. Sidharta Gautama mencapai pencerahannya dan berhasil memerdekakan diri, juga bisa dipahami sebagai yang mereprsentasi Yang Maha Kuasa itu. Meskipun, dia tidak mempersonifikasi yang Maha Kuasa itu dalam bahasa kebudayaan. Nabi Muhammad, hadir beberapa abad setelah Yesus, juga dalam kesadaran bahwa dia merepresentasi Allah lewat perjumpaannya yang akrab dengan Allah.

Saudara-saudaraku,

Sesungguhnya, ketika bicara ”dosa”, Yesus sedang berbicara sesuatu yang sangat dalam untuk menemukan inti permasalahan eksistensi manusia. Dengan memakai kata ”Hamba Dosa”, Yesus bermaksud mengungkap persoalan terjebaknya manusia pada hidup yang memutlakan kepuasaan material. Banyak orang berkorupsi karena mengejar kekayaan. Banyak orang menjadi jahat karena mengejar kekuasaan. Banyak orang sibuk dengan seremonial sosia-politik dan juga agama demi mengejar prestise untuk menyamarkan ketamakan. Menjadi manusia yang merdeka, dalam pikiran Yesus adalah menjadi manusia yang terbebas dari kemunafikan yang mengaburkan hakekat hidup. Maka, kebenaran adalah makna, nilai dan hakekat hidup yang mestinya mewujud dalam keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, cinta lingkungan hidup dan cinta kehidupan bersama.

Kebenaran itulah yang telah menjadi fondasi semua nabi pendiri agama-agama dunia. Kebenaran yang memerdekakan manusia dari kungkungan materialisme. Memang kita butuh makan, rumah dan pakaian, tapi tidak mestinya karena itu membunuh kemanusiaan sesama. Hakekat kebenaran akan sulit dijangkau jika kita hanya terjebak pada bentuk, bukan hakekat dari kepercayaan itu. Yesus, dengan Injilnya membongkar cara pikir yang seremonialistik dan berporos pada kekuasaan yang memenjara. Jadi, soalnya bukan karena saya beragama Kristen, Islam, Hindu, Budha, dll itu, melainkan terutama adalah bagaimana kita mewujudkan kebenaran itu dalam gerak kehidupan bersama.

Ketika Perang Teluk terjadi pada tahun 1991, Ibu Teresa mengirim surat kepada Presiden AS George Bush dan presiden Irak Saddam Hussein. Isi suratnya antara lain berunyi begini:

”Saya belum pernah terlibat dalam situasi peperangan, tetapi saya telah melihat kelaparan dan kematian. Saya bertanya dalam diri saya sendiri ‘ Apa yang mereka rasakan ketika mereka melakukan hal itu? Saya tidak mengerti, mereka semua anak-anak Tuhan, mengapa mereka melakukan hal itu? Saya sungguh tidak mengerti.” Tolong pilihlah jalan perdamaian…dalam jangka pendek mungkin ada pemenang dan kalah dalam perang ini, dan akhirnya kita semua akan sesali, tetapi tidak ada yang bisa menghitung rasa kehilangan, penderitaan dan kehilangan nyawa yang disebabkan oleh senjata kalian.”

Ibu Teresa, biarawati Katolik yang menghabiskan pengabdian hidupnya di Kalkuta - India, sesungguhnya juga sedang berbicara hakekat dari hidup itu, yaitu ”perdamaian.” Perang adalah wujud paling ekstrim dari ambisi berkuasa. Dan, sejarah telah mencatat, perang sepanjang sejarah telah memakan korban yang tak terhitung lagi jumlahnya. Ibu Teresa mengungkap kebingungannya, ”Saya tidak mengerti, mereka semua anak-anak Tuhan, mengapa mereka melakukan hal itu” Sebuah kontrdiksi!

Saudara-saudaraku,

Kita adalah generasi yang hidup di masa peralihan milenium yang masih terbeban dengan macam-macam persoalan warisan peradaban modern. Samuel Huntington bicara soal benturan peradaban Timur dan Barat. Tariq Ali, seorang ateis, bicara ”Benturan antara Fundamentalis”. Tapi, kita, terutama generasi di ruangan ini adalah generasi yang dididik oleh nilai-nilai keagamaan. Kita belajar banyak hal dengan spirit agama kita masing-masing. Kini, kita berjumpa di sini. Kita, generasi harapan peradaban baru yang tidak beragama secara seremonialistik yang hanya menekankan wujud material dari agama. Kita, belajar keras untuk menggali nilai-nilai pengetahuan yang hakiki dari agama-agama kita. Maka, mestinya kita tidak terjebak dalam benturan peradaban yang dikonstruksi oleh ambisi-ambisi menguasai dunia.

Sebab, dua peradaban ini dulunya pernah terjadi dialog pengetahuan yang memungkinkan lahirnya zaman modern. Sejarah menyebutkan, bahwa misalnya Thomas Aquinas (1225-1274), filsuf Kristen (Barat), dalam mengembangkan pemikirannya banyak menggunakan rujukan-rujukan pemikiran dari filsuf Islam, Ibnu Rusyd atau Averroes, dari Andalusia (Spanyol). Mereka, berbeda agama dan peradaban tapi bisa bertemu dalam usaha mencari ’kebenaran”.

Jika begitu, kita kini terpanggil untuk mewujudkan nilai-nilai hakiki dari agama-agama kita dalam aksi yang memerdekakan dan menghidupkan. Perjumpaan semacam ini, sangatlah baik untuk melakukan refleksi bersama mengenai apa wujud dari panggilan bersama itu. Kemiskinan, diskriminasi, ketidakadilan gender, kerusakan lingkungan hidup, kekerasan (atas nama agama atau kekuasaan) menjadi realitas masyarakat kita. Kita, generasi terdidik mestinya tidak terpisah dengan realitas itu. Kita terpanggil karena memiliki kewajiban untuk mewujudkan ”kebenaran” itu dalam aksi membebaskan. Dalam bentuk gerakan spiritual juga boleh aksi advokasi, kita diharapkan dapat mengambil peran dalam membebaskan masyarakat kita dari penderitaan akibat dosa penguasa atau juga mungkin dosa institusi agama kita.

Saudara-saudara,

Kemarin saya menulis status di wall Facebook saya: ”Orang berbondong-bondong ingin bertemu dengan Tuhan. Ritual-ritual keagamaan padat dan sesak dengan manusia yang gelisah. Tuhan adalah Kebenaran itu, kata Gandhi. Maka, carilah Tuhan dalam Kebenaran hidup....”

Seorang teman di FB bernama Rahmi Hattani, mungkin alumni STAIN Manado berkomentar dengan berkata: “Jangan mencari Tuhan dengan ketakutan akan perbuatan dosa. Tapi carilah Tuhan dengan keberanian menegakkan kebenaran.”

Mari kita renungi makna “kebenaran” itu dalam usaha kita menjadi ”pemimpin yang handal”, yang bertintelektual dan berspiritual. “Yang Maha Kuasa” yang kita sapa dengan beragam nama itu, kiranya memberkati kita semua.

Wassalam, Amin.

Hypatia dan Yesus

|0 komentar

Hypatia, filsuf perempuan, ahli matematika dan astronomi, yang hidup akhir abad empat sampai awal abad lima, mungkin saja tak akan mati tragis, seandainya ia bertobat menjadi Kristen. Tapi, pilihan itu tidak diambilnya. Hypatia tetap bertahan sebagai seorang yang mencintai ilmu pengetahuan meski harus mati ditelanjangi, tubuh dirobek oleh para manusia-manusia ganas yang sedang, katanya, menyampaikan Kabar Baik.

Ayah Hypatia adalah Theon, seorang guru dan ahli matematika dari Alexandria. Sejarah mencatat, Hypatia kemungkinan lahir antara 350 dan 370 dan meninggal pada Maret 415. Hypatia mati dibunuh oleh orang-orang Kristen awal itu. Ia dituduh menjadi dalang kerusuhan agama di masa itu.

Sebuah catatan tentang Hypatia menceritakan bahwa perempuan ini cerdas. Ia senang mengenakan pakaian khas seorang sarjana atau guru, bukan pakaian yang dikenakan perempuan pada umumnya. Dia bergerak dengan bebas, mengemudi kereta sendiri. Sebagai seorang perempuan, masa itu, sikapnya ini bertentangan dengan norma atau perilaku umum masyarakat. Tapi, dia baik hati. Davus, budaknya itu, telah dibebaskannya sebagai manusia merdeka. Meskipun, akhirnya Davuslah –yang begitu terhipnotis dengan kekristenan – yang membunuh dia.

Nama Hypatia bermakna ”tertinggi”. Mungkin, ada sebuah harapan dari kecerdasan dan komitmennya Hypatia mencapai pengetahuan yang tertinggi. Dan, benar. Teorinya tentang peredaran planet-planet yang berpusat pada matahari, kemudian hari terbukti sebagai yang benar. Keyakinan pengetahuan itu sangat bertentangan dengan keyakinan buta gereja di masa itu. Gereja meyakini bahwa bumilah pusat tatasurya. Teori Heliosentris ini, sebelumnya sudah diajukan oleh Aristarkus dari Samos. Teori heliosentris telah berhasil dihidupkan kembali hampir 1800 tahun kemudian oleh Copernicus dan dimodifikasi oleh Johannes Kepler dan Isaac Newton .

Ciryl, pemimpin kelompok Kristen yang militan itu sangat memusuhi sains, orang-orang pagan dan Yahudi. Suatu waktu, Ciryl mengutip ayat alkitab dan membacakannya di hadapan Orestes, bekas murid Hypatia yang saat itu telah menjadi gubernur Alexanderia. Ciryl berkata: “Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah. Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.”

Maksud Ciryl adalah untuk mengingatkan Orestes tentang sikap Hypatia yang menurutnya tidak pantas itu. Juga, bermaksud agar si Orestes ‘bertobat” dan masuk ke agama Kristen. Tapi, Orestes tidak bergeming. Ia tetap sebagai dia.

Hypatia hidup di masa ketika kekristenan sementara bertumbuh dengan pesatnya. Ketika Flavius Valerius Aurelius Constantinos atau umum dikenal sebagai Konstantinus Agung menerima agama Kristen dan menjadikannya sebagai agama resmi negara, maka menjadi kuatlah posisi agama ini. Kalau dulu pengikut agama Kristen yang dikejar-kejar oleh penguasa Romawi, mulai saat itu, agama Kristenlah yang balik menjadi pengejar. Sasarannya para pengikut agama Yahudi, yang disebut beragama pagan (kafir) atau yang mengembangkan ilmu pengetahuan (sains) yang berbeda atau bahkan menyerang paham/doktrin resmi gereja. Hypatia kemudian menjadi salah satu korban ‘arogansi’ para pengikut agama Kristen di masa itu.

Padahal permulaan abad pertama, Yesus, si anak tukang kayu itu telah disiksa dan mati tersalib akibat konspirasi antara petinggi-petinggi agama Yahudi dengan penguasa Romawi. Yesus kemudian menjadi tokoh sentral agama Kristen. Hingga kini, berita peristiwa kematian dan kabar kebangkitan Yesus terus menjadi tema sentral pemberitaan gereja. Gereja dan orang-orang Kristen tidak hanya menjadikan itu dogma, tetapi selalu berusaha mengatakan bahwa itulah inti iman Kristen. Seolah, tanpa kematian dan kebangkitan Yesus maka tidak ada kehidupan. Makanya, peristiwa kematian Yesus akibat kekerasan kemudian diterima dan diimani sebagai bagian dari rencana Allah.

Menariknya, agama yang berkembang dari pemberitaan mengenai kematian dan kebangkitan Yesus, pada awal-awal perkembangannya justru berubah menjadi arogan seperti para petinggi Yahudi yang telah membuat sebuah konspirasi untuk membunuh-Yesus. Menjadi Kristen seperti tindakan-tindakan arogan para militan Kristen di abad 4 itu tentu sebuah pergeseran dari teladan kehidupan Yesus sesungguhnya. Mungkin ada kaitan antara arogansi beragama seperti itu dengan dogma, bahwa Yesus telah mati dan bangkit untuk menebus dosa-dosa umat manusia. Karena ini menjadi sentral dalam agama Kristen, maka dogma ini bisa menjadi pembenar tindakan militan dan arogan untuk memusuhi orang lain. Maksudnya, bahwa dogma darah yang Yesus yang menebus dosa-dosa manusia itu sangat mungkin telah berubah menjadi kemutlakan dan bisa dipakai sebagai legitimasi teologis untuk melakukan apa saja bagi orang lain.

Mungkin kita perlu mengevaluasi dogma tersebut ketika gereja masih sering melakukan kekerasan verbal kepada orang lain. Saya justru berpikir bahwa kematian dan kebangkitan bukanlah inti atau sentral dari karya Yesus yang sudah terlanjur diteladani oleh gereja sepanjang masa. Inti dari kehadiran Yesus sehingga Dia diidentifikasi sebagai mesias, Anak Tuhan atau bahkan Tuhan adalah pemberitaanNya mengenai Kerajaan Allah. Jadi, kematian-Nya yang memang historis itu adalah konsekuensi dari komitmen dan konsistensinya memberitakaan kerajaan Allah. Kerajaan Allah adalah sebuah konsepsi mengenai bagaimana suasana hidup itu dilingkupi dengan semangat dan spiritualitas ilahi. Ada panggilan menjadi warga kerajaan Allah, bahwa semua yang ada di bawah kolong langit ini akan hidup dalam keadilan, kesetaraan, kedamaian dan kesejahteraan. Sebab, monoteistiknya Tuhan macam ini memiliki konsekuensi ketaatan pada asas-asas hidup bersama.

Konsep Yesus mengenai Kerajaan Allah tidak politis dan materialistis, seperti yang dipikirkan oleh orang-orang Yahudi pada zamannya. Konsep ini memang bertentangan dengan logika kekuasaan agama yang mapan, seremonialistik dan berorientasi pada kekuasaan. Maka karena itulah sehingga karya Yesus: pengajaran, mujizat, tindakan-tindakan yang menembus batas-batas perbedaan yang sangat tidak biasa di zamannya, dinilai oleh para penguasa agama sebagai tindakan subversif. Yesus memang mengancam kenyamanan kekuasaan agama para elit Yahudi. Tiada cara lain untuk mempertahankan kemapanan dan kenyamanan kekuasaan agama dari para elit-elit Yahudi itu selain membunuh Yesus.

Menariknya, Yesus tidak lari dari kenyataan itu. Meskipun, ketika berdoa di taman Getsemani Yesus sempat bergumul hebat dengan penderitaan yang akan dialami-Nya. Dia tetap komit dan konsisten dengan idealismenya. Konsekuensinya adalah pengosongan diri total, yaitu mati secara tragis karena konspirasi politik yang tidak adil. Menurut saya “kematian” bukanlah visi dari Yesus. Itu konsekuensi dari komitmennya membebaskan manusia dari penjajahan kekuasaan dan ketidaktahuan. Kebangkitan kemudian menjadi semacam metafor visi yang sebenarnya, yaitu kehidupan, terbebas dari maut. Mungkin, tidak berlebihan jika saya mengatakan ‘kebangkitan” ini juga bermakna pencerahan. Dan, ‘kebangkitan” kehidupan itu menurut saya tidak terutama pada kebangkitan pasca penyaliban, tapi secara nyata itu telah diberitakan Yesus ketika melakukan mujizat (yang terutama dari mujizat-mujizat itu adalah pemosisian kembali hakekat kemanusiaan manusia), pengajaran-pengajaran yang sangat religius, aksi-aksi yang membebaskan kaum terpinggir dan tertindas secara kultural-keagamaan, dan termasuk ketaatan pada penggilan untuk mengosongkan diri. Di dalam semua itu, sesungguhnya Yesus sedang menghadirkan Kerajaan Allah. Dan, ternyata idealisme Kerajaan Allah harus bertarung dengan kerajaan duniawi, yang politis, dogmatis dan status quo. Kebangkitan yang sesungguhnya adalah aksi membebaskan kehidupan dari penjajahan fisik dan pemikiran oleh kuasa-kuasa buatan manusia yang politik, dogmatis dan materialistis tersebut.

Jadi, ketika gereja memberitakan kematian dan kebangkitan, mestinya tidak memisahkannya dari karya-karya Yesus yang besar dan agung semasa Dia hidup. Gereja terpanggil untuk menggali makna-makna pemberitaan Yesus tentang Kerajaan Allah. Juga termasuk bagaimana meneladani komitmen dan konsistensi Yesus ketika memberitakaan Kerajaan Allah, yaitu pengosongan diri. Pengosongan diri adalah pemaknaan terhadap sikap Yesus yang rela menderita dan mati.

Hypatia mungkin cuma salah satu dari korban penyempitan atau bahkan kekeliruan pemaknaan terhadap pribadi Yesus. Sekarang kita menyaksikan nama Yesus diteriakkan bahkan dipakai semacam mantra di tanah-tanah lapang atau gedung-gedung mewah full AC. Yang lainnya, nama Yesus dipakai untuk memperkuat institusi gereja dan terkadang konsekuensinya adalah ‘penyliban” kehidupan untuk warga gereja. Bahkan, nama Yesus juga dipakai untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan politik, dan juga untuk melegitimasi usaha-usaha memperkaya diri dan kelompok. Kita juga sering mendengar, doktrin kematian dan kebangkitan Yesus dipakai untuk menyatakan arogansi agama Kristen. Seolah-olah ‘darah’ Yesus adalah cap ilahi untuk mengesahkan kekhususan dan kekuasaan agama gereja/agama Kristen terhadap komunitas keagamaan yang lain.

Akhirnya, dalam kenyataan bergereja sekarang ini seolah-olah orientasinya adalah kekuasaan dan kemapanan material saja. Memang tidak semua orang Kristen atau institusi gereja memperlihatkan sikap dan cara pikir seperti yang digambarkan di atas. Tapi, kecenderungan yang kasat mata tampak dalam banyak fenomena bergereja sekarang ini. Sehingga, lepas gereja atau kita sendiri berada dalam posisi mana dalam realitas itu, setidaknya kita memiliki kesempatan dan hak untuk merenungi terus menerus arti menjadi orang-orang yang meneladani karya Yesus.

Pembaharuan pemikiran berteologi yang terus menerus adalah keharusan dalam bergereja. Agama Kristen lahir dari usaha pembaharuan Yesus di awal abad pertama. Sehingga, adalah teologis ketika perenungan termasuk penilaian kembali terhadap makna berita kematian dan kebangkitan dilakukan terus menerus. Sejarah membuktikan itu, bahwa tindakan dan pemikiran gereja yang dulunya dianggap paling benar pada perkembangannya di kemudian hari ternyata disadari keliru. Hypatia dan Galileo, misalnya yang pernah dinyatakan sebagai musuh gereja karena mengembangkan pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, di kemudian hari terbukti bahwa mereka yang benar dan gereja yang salah.

Tomohon-Motoling, 18 April 2011

Mengapa Yesus (harus) Mati?

|0 komentar
Oleh: Denni Pinontoan**



Pengantar
Tema diskusi ini menarik. Bukan hanya ini nanti akan berbicara sesuatu yang penting dalam iman Kristen, melainkan juga mengenai pengkalimatan judulnya. Antara kalimat ”Mengapa Yesus Mati?” dengan ”Mengapa Yesus (harus) Mati?” sepintas sama. Tapi, dengan ditambahkannya kata ”harus” kalimat kedua ini kemudian menjadi berbeda makna dengan kalimat pertama. Kata ”harus” di sini menyiratkan sebuah kesadaran bahwa Yesus tidak sekadar mati karena proses pengadilan yang keliru, tapi ini sebenarnya sebuah penegasan usaha mencari makna dari peristiwa kematian-Nya. Dalam kesadaran itulah rumusan-rumusan teologis tentang kematian Yesus dibangun oleh gereja sepanjang masa. Bahwa, kematian Yesus adalah bagian dari rencana Allah untuk menyelamatkan manusia dari kungkungan dosa. Sehingga, sepertinya, kematian itu adalah pilihan sadar yang harus diambil Yesus. Mati di Atas Kayu Salib sebagai terdakwa, oleh konsep teologis gereja, adalah bentuk pengorbanan Yesus untuk dunia dalam menyelamatkan manusia sebagai rencana agung Allah.

Setiap perayaan Jumat Agung makna itu yang menjadi inti pemberitaan firman oleh gereja. Itu benar, dan tidak salah secara teologis. Tapi, jika hanya itu, agaknya diskusi dengan topik ”Mengapa Yesus (harus) Mati” tidak perlu lagi dibicarakan dalam bentuk seminar atau apapun namanya yang serius melibatkan banyak orang. Sebab, mestinya makna itu cukup didapatkan saja dengan mendengar khotbah pendeta di rumah gereja. Menurut saya, peristiwa kematian Yesus atau pilihan Yesus untuk mati secara tragis di atas Kayu Salib selalu relevan dan perlu terus dibicarakan karena narasi ini ”subversif”. Mengapa? Sebab peristiwa kematian Yesus ini adalah historis (benar-benar terjadi), dan dengannya ini menjadi sesuatu yang luar biasa. Karena keluarbiasaannya itu, sehingga di masanya, berita tentang kematian Yesus adalah sesuatu yang menghebohkan, dan menantang kekuasaan dan kemapanan para petinggi agama Yahudi dan kekuasaan politik Romawi. Yesus memilih ”Jalan Salib” untuk meruntuhkan keangkuhan, arogansi dan kemutlakan kekuasaan buatan manusia yang banyak memakan korban.
Dalam cara berpikir inilah, diskusi mengenai ”kematian Yesus” menurut saya menjadi terus relevan. Dalam konteks kita, bagi saya alasan mengapa kita perlu lagi membicarakan tema ini, karena kita sedang berhadapan dengan beberapa persoalan, antara lain:
  • ketidakadilan terjadi di mana-mana dalam beragam bentuk
  • sikap individualistis semakin menggejala dalam masyarakat kita.
  • korupsi semakin hebat terjadi dalam berbagai tingkatan
  • Secara internal, gereja kita cenderung semakin dogmatis dan politis.
Berangkat dari persoalan-persoalan itulah kiranya kita dapat mendiskusikan lagi makna ”Kematian Yesus” di era kontemporer bergereja kita.

Yesus Mati Karena Dosa Kemapanan Agama dan Kemutlakan Politik
Memahami dan memaknai kematian Yesus bisa dengan sedikitnya, dua pendekatan. Pertama, dengan pendekatan sejarah atau melalui studi sejarah. Kedua, dengan pendekatan teologis. Pendekatan sejarah maksudnya adalah mengkaji aspek-aspek sejarah yang berdasarkan bukti-bukti sejarah mengenai kematian Yesus tersebut. Pendekatan teologis adalah memahami peristiwa kematian Yesus itu sebagai sebuah proses ilahi, sebagai bagian – dari apa yang selalu gereja ajarkan kepada umatnya – rencana Allah untuk menyelamatkan dosa-dosa manusia. Saya akan menggunakan dua pendekatan ini untuk berusaha memaknai peristiwa kematian Yesus yang hingga masih terus diimani oleh miliaran penduduk dunia.

Kematian Yesus di Kayu Salib adalah peristiwa sejarah. Stefan Leks (2002), mengutip sejarawan Yahudi, Flavius Yosefus, menuliskan bahwa hukuman berupa penyaliban sudah berkali-kali terjadi sebelum Yesus lahir. Artinya, penyaliban agaknya adalah cara menghukum orang yang dijatuhi hukuman mati yang sudah biasa di masa itu. Akibat dari persenkongkolan kelas atas antara elite Yahudi dengan penguasa Romawi, Yesus akhirnya menjalani proses hukum ini.
Keempat kitab Injil dengan cara pandangnya masing-masing menuliskan peristiwa sejarah itu. Sumber-sumber mereka berdasarkan apa yang menjadi cerita lisan di masa itu. Para penulis kitab Injil ini tentu tidak sekadar memasukan peristiwa ini dalam tulisannya. Ada sebuah maksud khusus ketika peristiwa ini diceritakan secara bersama-sama.

Proses hukum yang harus Yesus jalani, sampai penyalibannya sebagai vonis hukuman mati, disiksa, dipaku dan digantung di atas Kayu Salib bukanlah sebuah kenyataan yang tejadi begitu saja. Ada sebuah proses panjang terkait dengan kiprah Yesus dalam masyarakat Yahudi yang berada di bawah dominasi/penjajahan Romawi di masa itu. Pengajaran, mujizat, keberpihakan terhadap kaum tertindas dan terpinggir, sikap dan serta tindakan-tindakan-Nya yang tidak biasa di kalangan masyarakat Yahudi dan juga penguasa Romawi tentu telah menyebar luas. Khotbahnya di Bait Allah, tindakannya yang radikal membubarkan para pedagang di Bait Allah, cara Dia memperlakukan orang-orang Samaria (baik dalam bentuk cerita maupun tindakan langsung berbicara dengan perempuan Samaria), juga kepada orang-orang yang dipinggirkan oleh masyarakat umum, pengajaran-pengajaran kepada murid-murid dan orang banyak, bagaimanapun telah cukup membuat gelisah para petinggi Yahudi. Yesus, semasa berkiprah telah memikirkan dan melakukan sesuatu yang melampaui cara pikir masyarakat Yahudi pada umumnya di masa itu. Dengannya, kemapanan kekuasaan para tinggi Yahudi terganggu. Apa yang Yesus lakukan semua itu, itulah yang disebut dengan kabar ”Kerajaan Allah”, ”Pemerintahan Allah”, atau lebih sederhananya, itulah ”Injil”, ”Kabar Baik”.

Sampai suatu waktu, ketika Paskah - perayaan keagamaan besar di kalangan Yahudi di Yerusalem- sudah dekat, Yesus harus berhadapan langsung dengan konflik itu. Sudah lama para petinggi Yahudi memendam amarah terhadap Yesus. Konflik itu sesungguhnya sudah lama terjadi. Tapi, elite-elite itu menunggu waktu tepat. Yesus, sebagaimana orang-orang Yahudi lainnya, juga datang ke Yerusalem. Menurut Matius Yesus meninggalkan Galilea. Ia berjalan menuju Yerusalem, masuk ke daerah-daerah Yudea melintasi Yordan Di sanalah Yesus akan menjalani proses hukum manusia itu (Mat. 19:1 dan 20:17-19).

Yerusalem tentu menjadi penuh sesak dengan manusia yang datang dari berbagai penjuru di Palestina. Orang-orang Yahudi itu datang memenuhi ritual keagamaan yang mengingatkan mereka pada peristiwa pembebasan dari tanah perbudakan di Mesir. Jadi, boleh jadi sesekali perayaan keagamaan itu, dipandang oleh penguasa Romawi bisa meledak menjadi sebuah gerakan massa menggugat dominasi Romawi. Dan, kehadiran Yesus di sana, adalah sebuah usaha sadar untuk menunjukkan apa sesungguhnya Kerajaan Allah, yang menjadi tema pemberitaan-Nya selama ini. Bagi rakyat Yahudi pada umumnya, hadirnya seorang mesias politis untuk membebaskan mereka dari penjajahan Romawi adalah sebuah harapan besar. Tapi tidak begitu dengan para elite Yahudi yang dengan senang hati menikmati posisi dan kekuasaan mereka bersama penguasa-penguasa Romawi.

Menurut keempat Injil, ketika masuk ke Yerusalem, Yesus mendapat sambutan yang cukup antusias. Matius menuliskan: ”Dan ketika Ia masuk ke Yerusalem, gemparlah seluruh kota itu...” (Mat. 21:10). Bagian dari perjalanannya itu, Yesus kemudian melakukan sebuah tindakan radikal. Ia mengusir orang-orang yang melakukan jual beli di Bait Allah. (Mat. 21:12-17; Mark.11:15-19; Luk. 19:45-48; Yoh. 2:13-16). Apa yang Yesus lakukan itu sungguh sebuah tindakan subversif bagi elite-elit Yahudi.
Jadi alasanya sudah semakin jelas mengapa Yesus kemudian dijatuhi hukuman mati. Bahwa, para elit Yahudi tidak senang dengan cara berpikir dan bertindak Yesus yang progresif, yang secara tidak langsung telah mengancam kekuasaan mereka. Apalagi, seperti yang direkam oleh para penulis Injil, Yesus sempat menyebut mereka sebagai ”ular beludak” (Mat. 12:34). Ini mengingatkan apa yang juga Yohanes Pembaptis katakan kepada orang-orang Farisi dan Saduki (Mat. 3:7-10). Jelasnya, Yesus menggunakan julukan itu kepada para elit Yahudi dengan berkata: ”Hai kamu keturunan ular beludak, bagaimanakah kamu dapat mengucapkan hal-hal yang baik, sedang kamu sendiri jahat?...”. ”Ular beludak” adalah metafor yang dipakai oleh Yesus untuk mengatakan bahwa para elit Yahudi itu jahat!

Yesus berkonfrontasi secara pemikiran dengan elit-elit Yahudi itu. Karena gerakan Yesus dipandang berbahaya oleh mereka maka direncanakanlah sebuah cara untuk menghabisi Yesus, yaitu membunuh Dia. Tapi, mereka tidak punya kekuatan hukum untuk menghukum mati Yesus. Maka, berundinglah para elit Yahudi itu untuk memutuskan cara membunuh Yesus. Caranya adalah dengan menggunakan orang ”dalam”, yaitu Yudas. Berikut direncanakan pula tuduhan-tuduhan palsu kepada Yesus agar penguasa Romawi dapat membuat keputusan hukum mati kepada-Nya.
Tuduhan-tuduhan itu jelas digambarkan oleh Lukas. Untuk mendapatkan legitimasi hukum usaha membunuh Yesus, para elit agama Yahudi menghadapkan Yesus kepada Pilatus. Dari cerita Yesus dihadapan Pilatus, setidaknya dapat dirangkum sejumlah tuduhan sebagai alasan untuk menghukum mati Yesus (seperti yang tertulis, a.l. dalam Luk. 23:1-5), yaitu:
  1. Pengajaran Yesus dianggap telah menyesatkan bangsa Yahudi dan telah menimbulkan kebimbangan dan ketidakpastian di tengah masyarakat mengenai apa yang sebelumnya sudah diajarkan ahli-ahli Taurat.
  2. Adanya larangan untuk membayar pajak pada Kaisar Tiberius. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang berlaku pada saat itu dimana Pilatus sebagai wakil dari Kaisar harus memungut pajak untuk diserahkan pada Kaisar Romawi. Pajak menggambarkan loyalitas mereka kepada Kaisar. Semakin besar pajak yang mereka bayarkan kepada Kaisar, maka semakin tinggi pula kesetiaan mereka kepada Kaisar.
  3. Pengakuan Yesus yang menyatakan Dia adalah Raja.
  4. Memang ada tuduhan yang benar tapi juga ada yang sengaja dibuat-buat. Tuduhan yang benar, bahwa memang Yesus tampaknya mengajarkan sesuatu yang berbeda dan bahkan berlawanan dengan apa yang diajarkan oleh para ahli taurat. Yesus sering mengkritik secara tajam ajaran mereka. Dan, jika mengikuti apa yang diurai oleh kitab-kitab Injil, benar juga bahwa Yesus sering merepresentasi diri-Nya sebagai Mesias atau Raja. Tapi, hal ini hanya berbeda cara memahami. Tuduhan bahwa Yesus sering menyebut Raja dipahami dengan pendekatan politis, sementara maksud Yesus tidak demikian. Soal tuduhan bahwa Yesus melarang rakyat membayar pajak, agaknya itu hanya bualan. Sebab, menurut catatan Lukas, pernah Yesus berkata: “...Kalau begitu berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!.” (Luk.20:25).
Pilatus sebenarnya tidak mendapatkan satu bukti sekalipun sebagai alasan untuk menghukum mati Yesus (Luk. 23:22). Tapi, konteks waktu itu adalah sidang rakyat. Karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami maksud Yesus, rakyat banyak yang telah terindoktrinasi maksud jahat dari para elit Yahudi mendesak Pilatus untuk menjatuhi hukuman mati kepada Yesus. Pilatus terdesak. Takut terjadi keributan, Pilatus akhirnya menerima permintaan rakyat banyak itu. Yesus akhirnya dijatuhi hukuman mati. ”Yesus mati karena Dosa Kemapanan Agama dan Kemutlakan Politik!!!”

Yesus Mati untuk Menghancurkan Kekuasaan Duniawi
Rasul Paulus memaknai kematian Yesus dengan berkata: ”Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah” (Rom. 6:10). Yesus memang telah mati karena dosa kekuasaan manusia yang antara lain berwujud dalam kemutlakan dogma agama dan absolutisme kekuasaan politik. Ketika Yesus menantang semua itu dengan memberitakan ”Kerajaan Allah” atau Kabar Baik, Injil, maka konsekuensi yang harus Dia terima adalah ”kematian”. Jadi, kematian Yesus, secara teologis bukanlah sebuah tindakan bodoh. Sebab, orang bisa saja berkata, seperti ejekan para prajurit Romawi kepada Dia: ”Kalau Yesus benar Mesias, Anak Tuhan, mengapa ia harus membiarkan diri-Nya mati di kayu salib?”. Tetapi, kematian Yesus mestinya dipandang sebagai kritik tajam atau bahkan gugatan terhadap absolutisme kekuasaan manusia. Dosa, baik dipandang dari sejarah menurut alkitab maupun kenyataan hingga hari ini berakar dari terpusatnya ambisi berkuasa pada diri manusia, sehingga kekuasaan menjadi absolut dan memakan banyak korban.

Dari situasi seperti itu pemberitaan Kerajaan Allah adalah sebuah kabar yang memang menantang. Bukan cuma di masa Yesus, hingga hari inipun, berita Kerajaan Allah itu memang masih menantang! Sebab, ”Kerajaan Allah” (Yun. Basileia) ini tidak memakai logika kekuasaan manusia. Logika kekuasaan Kerajaan Allah adalah Allah yang mengasihi tapi tidak berkompromi pada kejahatan. Dan, Yesus sebenarnya sedang memberitakan itu. Katanya: ”Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Luk. 11:20). Hal ini sangat kontras dengan situasi kehidupan manusia sepanjang masa (sudah tentu dengan sekarang). Ketika hampir semua hal diukur dengan standar-standar menurut konstruksi penguasa, kekuasaan menjadi segala-galanya. Kekuasaan politik, ekonomi, dan juga kemapanan agama serta status sosial telah membawa kerusakan pada kehidupan bersama.

Yesus memang akhirnya tidak mengambil jalan seperti yang dipikirkan orang banyak pada zamannya (dan juga zaman kita). Di saat orang-orang Yahudi kebanyakan menanti-nantikan datangnya raja politis yang dapat membebaskan mereka dari penjajahan Romawi, eh Yesus hadir dengan gerakan tranformasi mindset. Atau bisa dikata Yesus melakukan gerakan perubahan cara pikir, dan terutama Dia masuk melalui pintu spiritualitas. Spritualitas ala Yesus adalah sebuah kesadaran jiwa akan keadilan, kebenaran, kedamaian dan kemanusiaan. Spiritualitas ini tentu sangat bertentangan dengan logika kekuasaan manusia yang sangat politis dan materialistis. Yesus berkata: ”Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah...Sebab sesungguhnya kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk. 17:20).

Kematian Yesus adalah cara untuk menggugat logika kekuasaan manusia yang politis dan materialistis itu. Tentu, kematian-Nya di atas Kayu Salib adalah historis. Tapi, kematian itu tak cukup hanya jika memahaminya secara historis. Peristiwa itu melampaui nalar manusia. Sebab, kematian Yesus adalah sebuah peristiwa yang luar biasa (sebab itu tidak biasa). Orang tidak bisa memahami peristiwa itu dengan perhitungan matematis atau ekonomis. Itulah cara kerja Kerajaan Allah.

Kemudian, secara teologis kita memahami bahwa kematian Yesus adalah bagian dari rencana Allah untuk membawa manusia pada kehidupan yang penuh keadilan, kedamaian, dan kesetaraan. Kematian Yesus adalah tahap peralihan yang mestinya radikal, dari kehidupan yang penuh kejahatan ke kehidupan yang penuh kebaikan. Palang salib, seumpama sedang memalang kehidupan yang jahat itu untuk beralih ke kehidupan yang baik. Yesus telah merelakan tubuhnya menjadi ”salib” yang membebaskan. Itulah alasan-alasan teologis mengapa Yesus memilih (harus) mati!

Makna Salib di Tengah Krisis Kemanusiaan
Kita kini berada di sebuah era di mana kemanusiaan ditekan hampir sampai di titik nol. Kekuasaan politik dan kerakusan berekonomi sedang menghancurkan harkat kemanusiaan manusia. Citra manusia sebagai Imago Dei dirusak oleh ambisi berkuasa dan kaya. Kehidupan kita diwarnai dengan ketidakadilan yang terjadi di mana-mana dalam beragam bentuk; semakin menggejalanya sikap individualistis; korupsi semakin hebat terjadi dalam berbagai tingkatan dan secara internal, gereja kita cenderung semakin dogmatis dan politis. Merenungkan peristiwa kematian Yesus agaknya membutuhkan perspektif baru. Yang tidak hanya mengatakan bahwa kematian Yesus itu untuk menebus dosa-dosa warisan Adam dan Hawa, tetapi berusaha untuk menemukan makna kehidupan dari peristiwa itu. Bahwa, peristiwa kematian Yesus adalah sebuah bentuk pengorbanan merendahkan diri untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah. Yaitu keadilan, kedamaian, kemanusiaan dan kesetaraan.
Gereja, dan kita orang-orang Kristen perlu merenungi itu ketika konteks kita memperlihatkan gejala penjajahan kekuasaan politik dan ekonomi serta kemutlakan dogma agama yang membutakan. Yesus mengalami kematian dan dengannya gereja dan kita terpanggil untuk melakukan aksi yang radikal tapi penuh kasih melawan ketidakadilan. Penghayatan atas kematian Yesus mestinya membawa gereja dan kita pada kesadaran bahwa menjadi pengikut Kristus adalah menjadi warga Kerajaan Allah yang siap mengabdikan hidup untuk kebaikan bersama. Makna kita mengakui Yesus sebagai Mesias dan sebagai Anak Tuhan, karena kita bersedia mengimplementasikan makna salib di tengah kehidupan rill yang penuh krisis. Menjadi gereja dan orang Kristen yang bagian dari Kerajaan Allah adalah menjadi hamba yang melayani dalam kerendahan hati, kesederhanaan dan penuh komitmen membaharui. Siapkah gereja dan kita sendiri menjadi warga Kerajaan Allah yang tidak politis dan materialistis demi komitmen kepada makna Salib Kristus???? Ini tentu panggilan yang menantang komitmen.
Dalam pemberitaan gereja, kematian Yesus tidak bisa dilepaskan dari kebangkitan-Nya. Kebangkitan sebagai pemberitaan (kerygma) bermakna kehidupan. Ada sebuah proses tranformatif yang didemonstrasikan Yesus melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Bahwa, proses ”kematian” sebagai bentuk peralihan hidup menuju ke kehidupan yang lain. Dan, kebangkitan adalah tujuan proses itu. Kebangkitan adalah kehidupan. Kehidupan dalam Kerajaan Allah, adalah kehidupan yang bermakna keadilan, kedamaian, kemanusiaan, dan kesetaraan. Itulah hidup yang ’syalom”. Kita, dengan peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus dipanggil untuk menghadirkan hidup dalam suasana Kerajaan Allah, yang damai sejahtera. Yesus berkata: ”Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh. 20:21)


Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi bertajuk ”Mengapa Yesus (harus) Mati?” yang dilaksanakan oleh Panitia Paskah Tahun 2011 Jemaat GMIM Sola Gratia Tikala, Jumat, 15 April 2011.

Mariara

|0 komentar
Nenek Omi kemarin pagi masih tampak berjalan pagi di jalan kampung. Rambutnya sudah ubanan. Membungkuk dia berjalan. Garis-garis keriput wajah dan dua gigi yang tersisa membuat orang menjadi ngeri melihat dia. Tapi hari ini rumahnya di ujung kampung hangus dibakar massa. Jasad nenek Omi pun tinggal arang.

Massa marah sehingga membumihanguskan rumah Nenek Omi, sekaligus dengan penghuninya. Alasan mereka anak gadis Pak Tonny mati karena diguna-gunain oleh Nenek Omi. Memang alasan itu agaknya bisa dibenarkan. Sebab, tiga hari lalu Eby, anak gadis yang malang itu disuruh oleh ibunya mengambil kemangi di halaman rumah Nenek Omi. Malamnya Eby kena deman, dan selama tiga hari panas tinggi. Baru beberapa jam di Puskemas ia meninggal dunia.

Nenek Omi memang cuma tinggal sendirian. Suaminya, Kakek Bernard meninggal tiga tahun lalu. Pasangan ini tak memiliki anak. Sehari-hari rumah tua mereka itu tampak sunyi dan tak terurus. Halaman rumah mereka yang cukup luas, sejak Kakek Bernard mangkat ditumbuhi umput-rumput liar. Cuma sebidang tanah yang mungkin luasnya 2 x 3 meter yang dibersihkan oleh Nenek Omi untuk menanami rempah-rempah. Di sisa hidupnya untuk makan sehari-hari orang tua ini hanya berharap pembagian hasil kebun dari Om Yopy, yang masih terhitung family dengannya.

Nenek Omi ini oleh warga sudah lama disangkakan sebagai mariara (bahasa lokal Minahasa yang berarti dukun yang bisa menyantet orang). Konon, ada warga yang pernah mengintip dan melihat nenek Omi semacam melakukan ritual di dalam rumahnya. Dari situ beredar cerita bahwa nenek yang suka mengunyah pinang ini sebagai mariara. Warga sekampung pun menjadi percaya.

Semasa dia hidup, anak-anak yang bertepatan berpapasan dengannya menjadi takut dan menghindar, mengambil jarak. Ketakutan itu berawal dari cerita-cerita itu. Di rumah mereka, para orang tua menceritakan tentang desas-desus itu. Cerita yang berawal dari satu orang kini seolah-olah menjadi momok. Termasuk pendetapun percaya dengan cerita itu. Bahkan, pernah satu hari minggu, di gereja pendeta secara khusus berdoa untuk menjauhkan warga kampung dari kuasa-kuasa jahat, yang katanya hadir dalam bentuk mariara.

Nenek Omi, memang telah menjadi momok bagi masyarakat. Mereka menyamakan Nenek Omi dengan tokoh “nenek sihir” di film anak-anak. Hanya tetangga atau kerluarga terdekat yang berani masuk ke halaman rumahnya. Sebab kata warga, kalau tetangga atau famili pasti tidak akan dijahati, dia tidak berani. Mungkin, itulah sehingga keluarga Pak Tony masih akrab dengan Nenek Omi. Itupun, kata warga, Pak Tony masih tergolong famili dengan Nenek Omi.

Kampung itu seketika menjadi ramai dengan kemarahan massa. Asap masih mengepul dari sisa-sisa rumah yang terbakar. Massa berkerumun di halaman rumah nenek Omi. Lainnya berdiri di jalanan. Mereka tidak berkabung dengan peristiwa itu, malahan yang lain bergembira. Pikir mereka, dengan dibakarnya rumah nenek Omi dan kematian sang “nenek sihir” itu, kampung mereka akan bebas dari sakit penyakit misterius. Hari itu cuma Om Yopy yang tidak kelihatan.

Ketika rumah sudah rata tanah dan tinggal bongkahan-bongkahan hitam sisa kayu-kayu yang terbakar, tampak jasad nenek Omi yang sudah berubah menjadi arang. Mengerikan sekali jasad itu. Seperti anjing yang dibakar.

Ada rasa takut yang bercampur gembira di kalangan warga. Tapi, yang tidak tahan melihat jasad itu menjauh dan bahkan ada yang sampai mual dan muntah. Sekitar 5 orang laki-laki yang diberi tugas oleh pemerintah kampung sebagai Hansip yang berani mengais-ngais sisa-sisa kebakaran rumah itu. Sebelum mereka masuk di antara sisa-sisa kebakaran itu, pendeta gereja setempat mendoakan mereka agar mereka dijauhkan dari kuasa gelap yang mungkin masih bergentayangan di situ. “Dalam nama Yesus, enyahlah kuasa jahat!” Begitu pendeta mengakhiri doanya.

Perempuan tua itu kini telah tewas menjadi arang bersama rumah tuanya. Tiada keluarga yang meratapinya. Polisi pun nanti muncul ketika semua sudah hampir berakhir. Tiada satupun warga yang ditangkap. Hukum Tua kampung itu tampaknya sudah memberi keterangan kepada para polisi mengenai kejadian itu. Lokasi kebakaran itupun tidak diberi police line, sebagaimana biasanya peristiwa-peristiwa kebakaran lainnya. Kebakaran bagi warga dan diaminkan oleh polisi adalah tindakan yang sudah tepat. Apalagi, di lokasi kebakaran itu, pendeta gereja setempat hadir dan tampak memberi alasan teologisnya.

Sebulan kemudian

Sebulan kemudian dari pembihangusan rumah nenek Omi dan kematian “nenek sihir” itu, tiba-tiba warga digemparkan dengan kematian Aldy, cowok tambun yang baru lulus SMA tahun lalu. Kematian Aldy juga misterius. Malam sebelumnya dia masih bersama-sama temannya menonton pertandingan sepak bola Liga Italia di televisi. Paginya, dia didapati sedang menggigil dan panas tinggi. Dua hari dia cuma minum obat yang dibeli di warung. Tapi panasnya tak turun-turun. Baru beberapa jam di Puskemas, Aldy pun meninggal.

Kematian Aldy membuat warga teringat peristiwa kematian Eby. Gejalanya sama. Mereka jadi bingung. Dokter tak menjelaskan penyebab kematian Aldy. “Apakah ini ulah mariara? Tapi, siapa lagi mariara di kampung ini? Nenek Omi sudah tewas bulan lalu,” begitu komentar beberapa orang di rumah duka Aldy.

“Saya duga, ilmu nenek Omi itu diturunkan kepada seseorang. Tapi siapa dia?” ujar Om Robert di rumah duka itu.

“Siapa, ya?” yang lainnya menyahut.

“Ehmmm…” mereka terdiam sejenak.

“Tunggu. Sejak kematian nenek Omi, sampai sekarang, Yopy tak pernah muncul lagi di kampung. Bukankah Yopi itu yang dekat dengan nenek Omi. Dia kan masih family dekat nenek Omi?” kata Om Robert.

Beberapa laki-laki yang sibuk membuat peti jenasah di rumah duka itu tersentak mendengar ucapan Om Robert. Mereka saling memandang.

“Di mana dia sekarang?” yang lain bertanya.

“Kalau tidak salah, Yopi tinggal di kebun. Dia kan yang mengolah kebunnya nenek Omi?”

“Oh, iya. Benar. Pasti ilmu nenek Omi diturunkan kepadanya. Dan, dialah penyebab kematian Aldy!” kata tante Nece, yang dari tadi mengikuti percakapan itu.

“Maksudnya, Yopilah sekarang yang menjadi mariara di kampung ini?” tanya Om Robert meminta kepastian teman-temannya.

“Kalau bukan dia siapa lagi!” tegas tante Nece.

Tidak hitung jam, kesimpulan itupun langsung menjadi pendapat umum warga sekampung. Cepat sekali beredar cerita itu. Dan, ini langsung menyulut kemarahan massa. Mereka seolah-olah menemukan musuh baru yang harus segera dilenyapkan.

Sekelompok laki-laki datang ke pastori gereja. Mereka meminta pertimbangan pendeta mengenai kesimpulan mereka itu. Warga lain menyusul kemudian. Tapi mereka hanya di luar pastori menunggu hasil percakapan tersebut. Warga yang datang itu tampak sudah bersiap-siap mencari Yopi. Parang, pisau dapur, tombak, dan benda apa saja yang bisa memukul di tangan masing-masing orang. Berni, remaja adik Eby kebagian ditugaskan membawa gallon berisi bensin. Mereka seperti sedang bersiap-siap maju ke medan perang melawan musuh.

Percakapan perwakilan warga dengan pendeta selesai. Om Robert yang akan mengumumkannya kepada warga yang sudah menunggu di halaman pastori.

“Saudara-saudara, kami sudah bercakap-cakap dengan pendeta perihal adanya mariara baru di kampung kita ini. Pendeta menyetujui tindakan kita untuk segera mengeksekusi Yopi, sebagai mariara di kampung ini!”

Sorakan warga pun menggema menyambut pernyataan Om Robert. “Bunuh dia! Bakar Yopi! Lenyapkan mariara di kampung kita!” warga berteriak histeris sambil mengacungkan benda-benda tajam yang mereka bawa.

Om Robert pun bertindak seperti panglima perang. Di bawah komandonya massa bergerak mencari Yopi di kebun. Sesampai di kebun mereka langsung menuju ke sebua (pondok) kecil yang sudah dipastikan milik Yopi. Massa mengepung sabua kecil itu. Massa berteriak memanggil nama Yopi. Berni sudah siap menyiram sabua dengan Bensin. Beberapa laki-laki lainnya secara hati-hati masuk ke dalam sabua.

“Yopi tidak di dalam,” kata seorang laki-laki yang ikut masuk ke dalam sabua setelah mereka memeriksa seisinya.

“Bakar saja sabua ini!” teriak warga.

“Iya, bakar saja!” sambut yang lain.

Berni yang membawa gallon berisi bensin sudah tahu tugasnya. Ia pun segera menyiram dinding dan atap sabua itu. Tak berapa lama, ketika api disulut, sabua yang dindingnya terbuat dari bambu itu terbakar. Asap hitam mengepul ke udara. Nyala api yang tiba-tiba membesar mengusir sekelompok burung yang sedang bertengger di dahan-dahan pohon cengkih di sekitarnya. Warga berteriak histeris, senang. Seperti ritual merayakan kemenangan warga mengeilingi sabua yang sementara terbakar itu. Mereka terus berteriak.

Sementara “ritual” berjalan, Alo, komandan Hansip kampung melaporkan kepada Om Robert, bahwa mereka melihat Yopi berada di dekat mata air di kaki bukit yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat mereka berada sekarang

“Yopi sedang berada di mata air itu. Mari kita ke sana!” kata Alo.

Massa pun bergerak. Mereka berlari dan terus berteriak. Tak lama kemudian mereka mendapati Yopi dengan parang di tangan sedang ketakutan. Agaknya dia sudah tahu bahwa dia sedang dicari massa. Tapi, Yopi tidak melarikan diri. Dia berdiri di dekat mata air itu. Masih tampak rumput dan beberapa pohon kecil yang baru dia potong. Dia memang baru sementara membersihan mata air ketika massa datang.

Jarak massa dengan Yopi tinggal kurang lebih 5 meter. Mereka hanya dipisahkan oleh sungai kecil yang airnya mengalir dari mata air itu. Untuk menuju ke tempat Yopi bediri massa harus melewati pipa-pipa besar yang dipakai untuk mengaliri air dari mata air ke kampung.

Yopi tampak ketakutan sekali. Tapi ia tidak bicara. Orangnya memang pendiam. Tapi dia dalam keadaan waspada. Parang di tangannya di arahkan ke tanah. Sementara tangan kirinya tampak dua ekor tikus mati yang basah. Dengan ketakutan Yopi mengangkat tikus-tikus mati untuk ditunjukkan kepada warga. Seolah ada yang ingin dia katakana dengan tikus-tikus mati kepada massa.

Tapi massa tidak mengerti atau tidak mau peduli. Mereka terus berteriak. Om Robert yang berada di baris paling depan mencoba berkomunkasi dengan Yopi.

“Yopi, kamu harus pertanggung jawabkan perbuatanmu kepada kami! Sudah dua korban meninggal akibat ulah nenek Omi dan kamu. Kalian telah meracuni anak-anak kami dengan ilmu-ilmu hitam kalian. Dulu nenek Omi, sekarang kamu, Yopy. Cepat serahkan dirimu!”

Meski warga telah berteriak-teriak marah, tapi Yopi tetap tidak bicara. Dalam keadaan takut dia masih berusaha “bicara” dengan menunjukkan tikus-tikus mati yang dia pegang itu kepada warga. Sambil sesekali dia menatap ke mata air itu. Untuk meyakinkn warga, dia mengambil lagi tikus mati dari dalam mata air. Yopi seolah ingin merespon kemarahan massa dengan menghubungkan tikus-tikus mati itu dengan mata air, yang mengalir ke kampung dan sehari-hari dijadikan sebagai air bersih, mencuci dan termasuk untuk memasak dan diminum.

Tapi belum satupun massa yang mengerti isyarat Yopi. Mereka bahkan menganggap Yopi orang sinting atau idiot. Massa pun semakin marah dan hendak mengejar dia. “Bunuh saja dia kalau tidak mau mengakui perbuatannya. Mari kita tangkap dia. Lenyapkan dia dari kampung kita!!” suara kemarahan itu terdengar dari antara massa.

“Benar. Kita bunuh saja dia!” Sambut massa yang lain.

Lima orang lelaki berbadan kekar melompat melewati pipa-pipa itu. Dengan sikap hati-hati mereka mencoba mendekati Yopi. Tombak dan parang di tangan mereka. Yopi yang melihat gerakan mereka semakin ketakutan. Tapi dia tidak lari. Parang yang dia pegang ditancapkan ke tanah. Tikus-tikus mati tetap dipegangnya. Para lelaki yang akan menangkap Yopi tidak mendapatkan perlawanan. Mereka dengan mudah bisa melumpuhkan Yopi. Yopi pun pasrah. Tapi dengan sekuat tenaga dia berusaha memegang tikus-tikus mati itu.

Merekapun berhasil membengkuk Yopi. Massa yang lain ingin Yopi segera dieksekusi. Tapi Om Robert menolaknya. “Eksekusi nanti akan kita lakukan di kampung, di hadapan pendeta dan hukum tua!” tegasnya kepada massa.

Massa segera menggiring Yopi ke kampung untuk dieksekusi. Seperti penjahat kelas kakap, Yopi diikat dengan rantai, mulutnya dibungkam dengan kain. Di sepanjang perjalanan massa berteriak-teriak senang seperti baru mendapat hewan buruan. Sampai memasuki kampung, sepanjang jalan mereka terus berteriak. Di kampung, para perempuan dan anak-anak di pinggir jalan menyaksikan dengan penuh perhatian arak-arakan massa itu. Yopi sebagai terdakwa ditarik seperti hewan. Sesekali wajahnya tampak kesakitan ditarik dan dicaci oleh massa. Namun, pria yang berambut panjang dan berbaju kumal itu sepanjang jalan hanya diam saja. Tikus-tikus mati tetap dipegangnya.

Di sebuah tanah kampung massa berhenti. Di situ Yopi akan dieksekusi. Rencananya dia akan dibakar hidup-hidup. Menurut Om Robert Yopi akan diikat di pohon pinang yang tertancap di tempat itu. Pohon pinang ini waktu tujubelasan dipakai untuk lomba panjang pinang warga sekampung. Seketika warga sekampung, dari anak-anak sampai kakek nenek telah berkumpul di tanah itu.

Beberapa lelaki ditugaskan mengikat tubuh Yopi di pohon pinang itu. Yang lainnya menyiapkan kayu bakar.

Sementara warga sibuk dengan persiapan untuk mengeksekusi Yopi, pendeta dan hukum tua kampung datang ke lokasi itu. Mereka tampak terlibat percakapan serius dengan om Robert. Ketika Om Robert bicara, pendeta dan hukum tua tampak mengangguk-angguk. Begitu sebaliknya. Agaknya, percakapan itu tinggal membicarakan teknis eksekusi, yaitu dibakar hidup-hidup. Soal alasan eksekusi mungkin menurut mereka sudah jelas, bahwa Yopi bersalah karena telah membunuh Aldy dengan cara sihir. Alasan ini sama dengan yang mereka pakai kepada nenek Omi sebulan yang lalu.

Yopi, kini siap diesekusi. Tubuhnya telah diikat di pohon pinang. Kayu bakar telah menutupi tubuhnya. Warga yang mengitari tanah kampung itu tampak tegang menunggu waktu eksekusi.

Dan, setelah Om Robert selesai bercakap-cakap dengan pendeta dan hukum tua, eksekusipun akan segera dimulai. Menyambut eksekusi itu, Hukum Tua menyampaikan beberapa kata.

“Saudara-saudara. Sudah dua warga kita yang menjadi korban sihir. Pelakunya sudah kita ketahui. “Nenek sihir”, nenek Omi sudah kita lenyapkan. Tapi masih juga ada korban yang berjatuhan. Ternyata, ilmu sihirnya telah diturunkan kepada lelaki yang sebentar lagi kita akan bakar ini, yaitu Yopi…”

“Bakar dia! Lenyapkan mariara dari kampung kita!” warga berteriak sambil tangan mereka mengepal ke udara.

“Iya, kita akan membakar dia. Tidak boleh ada mariara di kampung ini,” sambung Hukum tua. “Hari ini, kita akan membakar hidup-hidup mariara yang telah meresahkan kampung kita. Ini menjadi pelajaran bagi warga yang akan menjadi mariara. Tidak ada yang bisa lolos…”

Setelah hukum tua selesai berpidato, pendeta diminta untuk mendoakan kampung mereka agar dijauhkan dari gangguan kuasa-kuasa setan, seperti mariara. Dia mengakhiri doanya dengan berkata, “Dalam nama Yesus, kami akan melenyapkan kuasa jahat itu. Amin.”

Tubuh Yopi tak tampak lagi. Kayu bakar yang sudah disirami bensin telah menutupinya. Ketika tubuh Yopi masih tampak tadi, tangan kirinya kelihatan masih memegang tikus-tikus mati itu. Sampai selesai pendeta berdoa, tak satupun warga yang menyoal tikus-tikus mati itu.

Sebatang korek api ditangan om Robert mengeluarkan percikan api. Kemudian korek itu dilempar ke tumpukan kayu yang sudah disirami bensin. Seketika tumpukan kayu yang membungkus tubuh Yopi berubah menjadi nyala api yang besar. Lidah-lidah apinya seperti tangan-tangan iblis yang menari-nari. Sesekali keluar bunyi kayu yang retak. Tapi, tidak terdengar suara teriakan minta tolong dari dalam tumpukan kayu. Padahal sebuah kematian tragis sementara terjadi, kematian yang disengaja dan diiyakan dengan hukum kampung dan doa seorang pendeta. Warga kampungpun tampak menikmati pertunjukkan eksekusi mati terhadap Yopi, terdakwa mariara.

Matahari mulai miring ke Barat. Kira-kira pukul 2 sore nyala api baru padam. Tinggal tumpukan arang hitam yang tampak. Warga sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Hukum tua dan pendeta juga sudah pergi. Tinggal Om Robert dan beberapa laki-laki yang masih tampak di situ. Jasad Yopi hangus terbakar. Tak tampak lagi jenasah manusia. Namun masih kentara tangan kirinya memegang tikus-tikus mati yang juga sudah menjadi arang itu.

Om Robert dan beberapa lelaki yang bersama dengannya, setelah sejenak mengais-ngais bekas pembakaran itu, merekapun pulang ke rumah. Jasad Yopi yang sudah berubah menjadi arang yang hitam dibiarkan begitu saja. Dan, matahari semakin terbenam di ufuk Barat. Malampun segera menyelimuti kampung itu. Langit menjadi hitam dan suasana kampung tampak mencekam. Entah kenapa, malam itu warga lebih suka tinggal di rumah daripada bercerita di warung, di perempatan jalan, atau nonton liga Italia di beberapa rumah warga. Mungkin saja kengerian akibat peristiwa sadis tadi siang baru dirasakan setelah malam tiba atau setelah suara gonggongan anjing bersahut-sahutan.

Tapi, beberapa hari dari eksekusi itu, warga dihebohkan dengan kematian lagi secara berturut-turut beberapa warga kampung. Gejalanya sama persis yang dialami oleh Eby dan Aldy. Mulai dengan menggigil, panas tinggi, cuma 3 atau 4 hari lalu meninggal. Seminggu jumlah warga yang meninggal mencapai 10 orang. Satu di antaranya Om Robert.

Warga sekampung menjadi bingung. Hukum tua berpikir keras mencari penyebab kematian warganya. Sebab dua mariara sudah mereka lenyapkan tapi mengapa masih ada kematian misterius. Pendetapun, di ibadah hari minggu di gereja bahkan mendoakan secara khusus kematian-kematian yang sedang menimpa jemaatnya. Hingga kematian ke-100 di waktu sekitar 1 bulan itu, belum ada satupun warga yang bisa mengungkapkan penyebabnya. Dugaan masih disekitar bahwa roh-roh sihir nenek Omi dan Yopy belum hilang semuanya.

Kematian beruntun akibat penyakit misterius itu akhirnya heboh sampai di kabupaten. Pemerintah pun segera menyuruh dinas kesehatan kabupaten untuk turun ke kampung itu menyelidiki sebab kematian massal itu. Setelah seminggu petugas kesehatan dan para ahli melakukan penelitian, mereka mendapat kesimpulan penyebabnya. Kampung itu terserang wabah penyakit pes mematikan, sejenis penyakit mematikan yang di sebabkan oleh sebuah bakteri yang ditularkan oleh kutu tikus.

“Jadi saudara-saudara, kami telah menemukan penyebab penyakit misterius yang telah membunuh ratusan warga di sini sejak beberapa bulan terakhir ini,” ujar ketua tim peneliti dari Dinas Kesehatan Kabupaten. “Di Indonesia dan negara-negara Asia penyakit ini menular lewat gigitan kutu tikus, gigitan atau cakaran binatang yang terinfeksi bakteri dan dengan kontak tubuh binatang yang terinfeksi. Kematian di kampung ini adalah akibat penyakit pes yang memang mematikan.“

Mendengar itu, sejumlah warga teringat tikus-tikus mati yang dipegang oleh Yopi sampai dia dieksekusi. Mereka juga masih mengingat tikus-tikus itu diambil oleh Yopi dari mata air, sumber air bersih warga kampung itu.

“Apakah itu maksud dari Yopi dengan tikus-tikus mati dari mata air yang dipegangnya sampai dia hangus terbakar? Dia mungkin bermaksud menyampaikan pesan dengan tikus-tikus mati itu. Kalau karena penyakit pes, berarti dia dan nenek Omi bukan mariara? Tapi, mereka telah mati dibakar??” Tante Nece bertanya entah kepada siapa.


Bukit Inspirasi, 22 Maret 2010

Membunuh Kata

|0 komentar

Sebuah Cerpen Denni Pinontoan

Rina bingung. Kata-kata itu terus menghantuinya. “Surga” atau “neraka”! Tadi, di gereja khotbah pendeta seolah mendikte dia. Berlaku baik pahalanya adalah surga. Suka memarahi orang, ditunggu oleh pendosa di neraka. Kira-kira begitu pesan khotbah si pendeta yang tertancap benar dalam ingatannya.

Sebenarnya, sudah jelas, bahwa Rina memilih surga, bukan neraka yang membakar itu. Sudah sejak sekolah minggu Rina mendengar kata-kata itu. Tapi di usia mendekati 30 tahun, Rina merasa khotbah pendeta itu semakin tak bermakna.

”Kan, sudah tahu. Kenapa diulang terus kata-kata itu? Apa tidak ada yang lain?” Rina bertanya dalam kebingungan.

Rina memang sedang bingung. ”Surga” atau ”neraka”. Kata-kata itu terus mengejar dia. Padahal, malam semakin larut. Nanti kira-kira pukul 3 subuh pagi, Rina baru tertidur. Dia kelelahan dikejar oleh kata-kata itu.

***

”Surga atau neraka!!” Rina berteriak. Diapun terbangun dari tidurnya yang terpaksa itu.

Ketika kata-kata itu memaksa Rina bangun, matahari sudah cukup terik. Jam di dinding kamar Rina menunjuk angka 11.15. Ini berarti Rina sudah sangat terlambat untuk ke tempat kerjanya.

”Busyet! Gara-gara ’surga’ dan ’neraka’ aku tak kerja!”

Rina ke kamar mandi. Pipis, suci muka dan gosok gigi.

”Aku harus membunuh kata-kata itu dalam pikiranku. Dia tidak boleh membuat aku jadi kacau seperti ini. Tapi caranya?”

Rina masih bingung. ”Membunuh kata? Apa mungkin?”

”Aku haus. ’Haus?’ Rasa ingin minum air istilahnya ’haus?’ Kenapa aku tidak bilang ’tidur?’ Oh, tidak bisa. Semua orang di Indonesia ini, kalau berasa ingin minum air, menyebut kata ’haus’. Jadi tidak mungkin aku menggantinya dengan kata ’tidur’.” Rina membuat pikirannya tambah bingung.

Segelas air putih benar-benar habis ditelannya. Tadi Rina haus, sekarang tidak lagi.

”Aku membunuh kata ’haus’ dengan air. He...he...Sekarang tidak perlu lagi aku menyebut ’haus’. Tapi, bukankah nanti aku akan ingin minum lagi. Haus, ya aku bakal haus lagi. Jadi, aku belum membunuh ’haus’?

Rina memang belum bisa membunuh ’haus’. Dia masih akan ingin minum lagi dan di situ ’haus’ datang lagi. Belum lagi, jika dia rasa ingin makan. ’Lapar’ akan datang menyuruh dia untuk mengisi perutnya dengan makanan.

”Aku tahu. Untuk membunuh ’haus’ aku tak perlu menyebut kata itu. Jika berasa ingin minum air, tak perlu aku sebut ’haus’ dulu baru meneguk air. Sebab, aku minum air bukan karena ’haus’ menyuruhku, melainkan karena memang aku harus minum air. Dan itu alamiah. Begitu juga kalau ingin makan, bukan karena ’lapar’ menyuruh aku, melainkan karena aku harus makan. Ha...aku berhasil membunuh ’haus’ dan juga ’lapar’.”

Rina girang. Seperti baru dicium kekasihnya yang ganteng itu. Tak dia sadar, sudah dua gelas air putih yang dia minum.

”Hmmm...Jika aku bisa membunuh ’haus’ dengan mengusir dia dari kepala ini, maka apakah mungkin aku bisa membunuh ’surga’ dan ’neraka’? Mungkin bisa. Tapi, bukankah kata-kata itu terlalu sakral? Tapi, adakah kata-kata yang sakral? Apa kata-kata itu beragama?”

Kini, Rina sedang makan. Ia sementara mencicipi nasi goreng sisa tadi malam. Rina makan dengan lahap meski masih dalam kebingungan.

”Yup. Kata adalah kata. Ia tidak sakral sehingga sudah jelas tidak beragama. ”’Surga’ dan ’neraka’ adalah kata. Mereka hanyalah ’tanda’. Aku bisa membunuh kata-kata itu! Ya, aku bisa membunuh ’surga’ dan ’neraka’. Hore!!! Aku bisa...!!!” Rina kegirangan bersama sesendok nasi goreng terakhir di mulutnya.

Rina mengunyah nasi goreng terkahir itu. Wajahnya berseri. Kini tak ada lagi kata-kata yang menghantui dia.

”Hmmm....Aku memberikan uang seribuan kepada pengemis di perempatan jalan itu bukan karena ’surga’ menyuruh aku. Aku buang sampah pada tempatnya bukan karena ’neraka’ menakut-nakuti aku. Aku tidak memanipulasi laporan keuangan di kantor bukan karena ’surga’ mengiming-imingi aku pahala. Aku menjadi orang baik dan bukannya menjadi orang jahat, ya karena aku harus menjadi orang baik. Aku tidak menjadi orang jahat, karena aku memang tidak ingin hidup dalam kejahatan. Itu saja. Titik”