Rabu, 30 Juli 2008

Uang

Manusia akhirnya harus memiliki uang untuk hidup. Entah diperoleh dengan cara menjual barang, jasa, diri sendiri atau orang lain. Halal atau haram. Malam itu, sebuah institusi keagamaan sedang melakukan persidangan. Suasana gedung yang dihadiri ribuan perutusan dari berbagai penjuru, gaduh, ribut. Teriakan interupsi, membahana dari berbagai sudut gedung. Pimpinan sidang kelihatan terdesak.Berulang-ulang kali pimpinan sidang memohon agar peserta tenang. Tapi itu tak digubris. Agaknya ada yang mendesak untuk segera disikapi pimpinan sidang. Suasana tetap kacau, mirip sidang paripurna para anggota legislatif di era reformasi.

Suasana masih gaduh, sam-pai pimpinan sidang berhasil dengan sekuat tenaga mem-persilakan seseorang untuk bicara. Pimpinan sidang ber-hasil membuat para peserta sidang yang gaduh dengan interupsi-interupsinya, menjadi tenang, terpusat pada seseorang yang akan bicara itu. Kira-kira ada yang perlu diketahui dari si orang itu. Benar. Apa yang dia akan kata-kan itu penting. Penting un-tuk mereka. Orang yang di-maksud itu ternyata ketua pa-nitia pembangunan sebuah proyek mercusuar institusi itu. Orang itu dengan santai dan gaya berkelakar mengumum-kan bahwa pemerintah daerah di mana institusi itu ada, telah menganggarkan dalam anggaran belanja daerah, uang se-banyak satu miliar untuk proyek mercusuar tersebut. Bu-kan cuma itu, untuk sukses-nya acara persidangan, peme-rintah juga telah memberikan dana ratusan juta. Itu uang legal, karena telah ada kese-pakatan antara pihak ekseku-tif dan legislatif sebelumnya.

Apa yang terjadi kemudian? Para peserta sidang yang sebelumnya ribut dan berlom-ba-lomba untuk menginte-rupsi pimpinan sidang, kini bertepuk tangan. Mereka tersenyum puas. Interupsi ti-dak ada lagi. Suasana ber-ubah dalam beberapa menit. Suasana menjadi sukacita dengan uang miliaran rupiah! Syukur malam itu ada sin-terklas. Kado dalam bentuk uang mengubah segala-gala-nya. Uang seolah-olah mengu-asai emosi mereka yang me-ledak-ledak, menjadi emosi gembira. Puas. Malam itu mereka pun bisa tidur cepat, terlelap karena lelah duduk seharian. Bunga tidur, mimpi pun masih bisa dinikmati. Mudah-mudahan bukan mimpi buruk yang hanya mengganggu tidur mereka.

Ini cerita tentang uang, ma-nusia dan idealisme. Cerita tentang kehidupan yang ril dan hadir di setiap tarikan napas para petualang di rimba yang dipenuhi binatang buas, pohon lebat dan susah men-cari jalan keluarnya kalau su-dah terdampar di dalamnya. Ini cerita tentang manusia yang menciptakan uang seba-gai alat tukar. Ini cerita ten-tang uang sebagai hasil cip-taan, yang kemudian mengu-asai jiwa dan tubuh si pencip-tanya. Uang hanyalah alat tukar. Barang di tukar dengan uang, maka terjadilah jual be-li. Itu dulu. Cita-cita untuk meng-ganti sistem barter dengan alat tukar uang, awalnya hanyalah untuk barang, komoditi, jasa. Itu dulu.

Tapi kini, manusia jiwa dan tubuhnya juga terjerembab dalam perdagangan itu.Ini yang dipikirkan oleh Karl Marx dulu. Ia sebenarnya te-lah me-warning manusia. Ta-pi, peringatan ini tak digubris. Jadilah manusia tak ubahnya seperti barang, komoditi, yang sebenarnya adalah objek da-lam sebuah sistem perdaga-ngan itu. Manusia akhirnya harus mempunyai uang un-tuk hidup. Entah diperoleh dengan cara menjual barang, jasa, diri sendiri atau orang lain. Halal atau haram. Bah-kan, uang yang dalam bahasa sana disebut money, kalau didengar oleh orang yang tak mengerti bahasa sana itu, bisa berubah artinya. Kata 'money', dalam pendengaran orang kita yang tak mengerti bahasa asal kata itu, bisa berarti benih kehidupan.

Goenawan Mohamad ("Se-buah Pengantar" dalam I. Bam-bang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Filsafat, Kanisius, 1997) si penyair itu memandang uang sama dengan Karl Marx. Uang, baginya, ".mengubah setiap objek, juga manusia, menjadi sama dengan apa yang lain." Benar. Di zaman sekarang, apa lagi yang tak berurusan dengan uang. Ketika kita berada di terminal, mau pipis dan berak saja, harus pakai uang. Di kampung, hubungan kekerabatan tetangga-berte-tangga, saudara-bersaudara, juga mulai diukur dengan uang. Dulu, orang bisa menumpang begitu saja kendaraan bermo-tor roda dua yang dikemudi-kan tetangga atau teman. Ta-pi, sekarang, ojek/ompreng, telah mengubah hubungan kekerabatan itu menjadi hu-bungan dagang. Antara pelang-gan dan tukang ojek. Senyum si tukang ojek, tak lagi ber-makna hormat, tapi uang.

Tak hanya itu. Uang juga bisa membuat orang kehila-ngan nyawa. Berita tentang seorang pemuda yang tewas terbunuh hanya karena tidak memberi uang seribu rupiah untuk satu sloki cap tikus bagi segerombolan preman, adalah juga bukti kekuatan uang. Di tingkat lain, seorang pejabat pemerintahan yang menjadi terdakwa karena kasus korupsi, bisa bebas, juga karena uang. Uang bisa membuat diri terpenjara dalam kebobrokan hidup. Bisa juga membuat diri merdeka dalam ketidakmerdekaan orang lain atau bahkan batin diri sendiri. Dewi Lestari, atau Dee, menggambarkan kehebatan uang merasuk hidup manusia dalam novel-nya yang hebat itu, Superno-va. Dee, memakai karakter Diva, si tokoh dalam novelnya itu untuk menunjukkan betapa nafsu-nafsu, termasuk nafsu seks, telah menjadi ba-han komoditi untuk ditukar dengan uang. Dialog-dialog Diva, si tokoh pelacur, cantik tapi profesional itu dengan para pelanggannya, meng-hidupkan realitas kehebatan uang membunuh jiwa ma-nusia dalam kata-kata yang sarat makna. "Coba bayang-kan, Pak. Pendapatan satu bulan pekerja pabrik otomotif di Malaysia sama besarnya dengan pekerja di Illinois satu hari. Satu pekerja Prancis sama dengan 47 pekerja Viet-nam. Satu montir Amerika seharga 60 montir Cina. Itulah perbandingan paling baru dari harga manusia." begitu salah satu potongan dialog antara Diva dan Dahlan pelanggannya yang kaya raya.

Putut Wijaya juga mengilus-trasikan kekuatan gaib uang menarik setiap manusia ke dalam satu titik cita-cita semu lewat cerpennya, Binatang. Agus, tokoh dalam cerpennya itu, karena terpesona dengan iming-iming kesejahteraan dari pembangunan ekonomi, kemu-dian menjadikan semua anak-nya 'binatang ekonomi'. Sejak kecil, semua anaknya dididik bagaimana menjadi pelaku ekonomi yang hebat. Arti uang, menjadi mata pelajaran utama. Alhasilnya, ketika anak-anak-nya telah benar-benar menjadi pelaku ekonomi dengan uang sebagai benda suci, ia dan istrinya, sebagai orangtua mulai merasakan kesejahteraannya. Ia mendapat bagian dari keuntu-ngan-keuntungan yang diper-oleh anak-anaknya dalam ber-ekonomi. Tapi sayang cerita pendek itu berakhir sedih. Agus dan istrinya, kemudian harus menghabiskan masa tuanya di rumah jompo. "Tetapi kemudi-an terjadi perubahan.

Pada suatu hari, anak-anak Agus mengadakan rapat. Agus diminta hadir. Di dalam rapat dihitung secara teliti, berapa bulan Agus sudah merawat masing-masing anak itu. Berapa jumlah yang sudah dikeluarkannya. Kemudian dikompensasikan berapa rupiah yang sudah dikembali-kan oleh anak-anak itu. Ternyata hasilnya klop," begitu tulis Putu Wijaya dalam cerpennya itu. Jasa orangtua dibanding-kan dengan jumlah uang. Ketika lunas, maka semuanya beres. Jasa orangtua, tinggal kena-ngan. Kini uang yang berbicara. Gila benda apa uang ini?! Tapi, saya pikir, persoalan sebenar-nya bukan pada uangnya se-bagai alat tukar yang adalah benda mati, barang. Uang hanya kertas berkualitas antirobek (kalau tidak sengaja, tapi kalau disengaja, pasti robek juga dia) dan koin dari logam pilihan. Uang tak bedanya dengan ge-dung tempat berlangsungnya persidangan itu.

Uang sama dengan kamar hotel berbintang atau tak berbintang. Uang, gedung, kamar hotel hanyalah ruang dan waktu. Benda-benda ini, adalah netral. Mereka tidak hidup, sehingga tidak berdosa, tidak menjijikkan. Juga tidak suci, karena tidak hidup.

Malam itu, gedung itu bisa menjadi tempat persidangan. Tapi tahun lalu, di gedung itu, ada kampanye politik. Di sana ada money politics, pelanggaran terhadap aturan, dll. Se-buah kamar hotel, malam Se-nin, bisa menjadi tampat yang nyaman bagi seorang pelacur berselingkuh dengan seorang lelaki hidung belang beranak tiga. Tapi di malam Selasa, di kamar yang sama, ada seorang pendeta, haji, evangelis dan para alim ulama lainnya menginap di sana untuk sua-tu tugas. Atau khusus untuk uang. Derma di sebuah gereja pada ibadah minggu pagi, adalah sejumlah uang untuk membantu pelayanan kata mereka! Uang, di minggu pagi itu, adalah juga tanda ung-kapan syukur kepada Sang Khalik. Tapi siapa yang per-nah tahu, kalau ada di antara uang-uang itu yang berasal dari tangan si pelacur di ka-mar hotel itu. Kalau begitu, mana yang berdosa dan menjijikkan, benda-benda mati itu atau orang-orang yang meng-gunakan dan memaknai ben-da-benda mati itu? Jawab sen-diri, sudah besar! Tapi, kalau Herakleitos yang menjawab pertanyaan ini, barangkali dia akan berkata, "ini masih awal dari sebuah proses yang panjang."

Uang yang sebenarnya ha-nyalah alat tukar, kini men-jadi tujuan. Atau paling tidak uang adalah alat atau sarana untuk mencapai tujuan hidup pribadi: Kekuasaan, seks dan popularitas! Uang diperkosa oleh manusia. Anehnya, ma-nusia sering berdalih, uang-lah yang telah memperbudak mereka. Bodoh sekali, masa-kan uang yang adalah benda mati yang memperbudak manusia.

Semua tindakan manusia yang sangat memutlakkan uang, kekuasaan, popularitas dan lain sebagainya itu, sadar atau tidak, sebenarnya akan bermuara pada pembunuhan Tuhan barangkali ini yang di-maksud Nietzsche. Olaf Schumann, si pakar ilmu agama-agama itu, juga berpikir begitu. Kata Schumaan dalam tulisan-nya, Milenium Ketiga dan Tan-tangan agama-agama, (dalam Martin L Sinaga, (ed.) Agama-agama Memasuki Milenium Ke-tiga, Jakarta: Grasindo, 2000), "Ideologi yang menyatakan ketiadaan, atau kematian Allah memang tidak hanya terdapat di kalangan komunis, tetapi juga tampak dalam tenaga yang ser-ba kuat para pemuja modal, monopoli ekonomi, penentu tafsiran (atau manipulasi) hukum yang diberlakukan dan seterusnya, turut juga menyata-kan ketiadaan Tuhan di alam ini ketika cita-cita yang hadir dari hawa nafsu mereka menjadi da-ya yang mereka pertuhankan." Hati-hati!

Bukit Inspirasi, 16 Maret 2005.

0 komentar: