Selasa, 15 Februari 2011

Akrab Bersama Yesus dengan Seni[1]

Oleh: Denni Pinontoan[2]

Setiap perayaan hari raya gerejawi, Natal dan Paskah misalnya, kita melihat atribut-atribut dan simbol-simbol yang indah dan juga syair-syair yang merdu didengar. Natal misalnya. Ketika bulan Desember tiba, lagu-lagu Natal terdengar menggema di mana-mana. Rumah-rumah segera dihias dengan Pohon Natal dan berbagai dekorasi khas Natal lainnya. Pemuda dan remaja gereja sudah menyiapkan naskah drama yang nantinya akan dipentaskan di rumah gereja. Bulan Desember adalah bulan penuh pernak-pernik.

Umat kristen menikmati karya-karya seni itu. Jemaat berkreasi dengan cita rasa kekristenannya. Artinya, semua imajinasi, ide dan emosi untuk memproyeksikan dan menghasilkan sesuatu yang bisa ditangkap oleh inderawi mencerminkan ekspresi kepercayaan kepada Injil Yesus Kristus. Inilah fenomena berkesenian di gereja.

Memang ada bahaya aktivitas bergereja dengan seni hanya menjadi dekoratif dan seremonial ketika semua ekspresi yang menghasilkan karya material itu tidak didasari pada iman kepada Yesus Kristus. Apapun yang dikreasikan di gereja, mestinya dalam kesadaran dan kepercayaan kepada nilai-nilai yang dikandung oleh Injil Yesus. Di sinilah seni menjadi media ekspresi rasa dan ungkapan spiritualitas.

“Seni” bisa didefinikasikan sebagai hasil cipta dan karsa manusia dari aktivitas manusia kreatif yang berbentuk material atau dipilih untuk menyampaikan ide, emosi, atau bentuk visual yang menarik. “Kata seni dapat merujuk pada seni visual, termasuk lukisan, patung, arsitektur, fotografi, seni dekoratif, kerajinan, dan karya visual lainnya yang mengkombinasikan bahan atau bentuk (Bernadine Barnes, Microsoft Encarta Reference Library 2005, 1993-2004). Seni juga adalah, ”kualitas, produksi, ekspresi. Seni juga adalah sesuatu yang indah, menarik, atau memiliki arti yang lebih dari biasa,” (http://dictionary.reference.com/browse/art).

Hari-hari raya gerejawi, dan juga bergereja dalam aktivitas rutin, dipenuhi dengan segala macam dekorasi dan pernak-pernik. Semua itu adalah sarana ekspresi kepercayaan kepada Sang Ilahi. Berteologi dengan seni tanpa sadar sudah kita praktekkan ketika mengekspresikan kepercayaan itu dengan sarana-sarana yang tampa dan terasa indah yang menggugah emosi.

Wikipedia, The Free Encyclopedia mendefinisikan seni sebagai produk atau proses yang sengaja untuk mengatur sesuatu hal (sering kali dengan makna simbolis) dengan maksud untuk mempengaruhi (siapa saja yang menikmati karya seni). Proses ini terjadi dari indra, emosi, dan intelek. Ini mencakup berbagai macam kegiatan manusia, kreasi, dan cara berekspresi, termasuk musik, sastra, film, fotografi, patung, dan lukisan. Secara tradisional, istilah seni istilah digunakan untuk mengacu pada setiap ketrampilan atau kemampuan mengolah. Umumnya, seni dibuat dengan tujuan untuk merangsang pikiran dan emosi (http://en.wikipedia.org/wiki/Art).

Seni sesungguhnya membutuhkan hati dan rasio. Keduanya tak terpisah. Sebab, hati menyangkut rasa dan rasio terkait usaha mengkontruksi rasa itu dalam sebuah karya yang sifatnya material. Tapi, tidak semua materi yang merupakan hasil imajinasi dan ide itu adalah seni. Sebab, seni harus mengungkapkan keindahan. Hal ini penting dalam berkesenian. Indah di dengar dan dilihat. Tapi, selanjutnya, sesuatu tak akan disebut seni, jika tidak menyampaikan pesan. Dan, inilah aspek fungsional dari seni, yaitu sebagai media untuk mengungkapkan ide, emosi dan juga kepercayaan.

Maka, persoalan berkesenian di gereja bukan hanya bagaimana caranya agar kita dapat mencipta sesuatu agar indah untuk dilihat dan didengar, namun terutama adalah bagaimana pesan yang dikandung oleh karya tersebut bisa bermakna. Sebuah puisi misalnya, tentu tak hanya bahwa sebuah kata yang dirangkai menjadi kalimat indah dan membentuk sebuah syair, namun setiap kata dan kalimat tersebut harus mengandung makna.

Seni juga mengungkapkan konteks pijakan budaya kita. Pohon Natal, arsitektur gereja dengan menaranya, santa claus, serta beberapa simbol di dalam gereja pada banyak hal masih menampilkan apa yang ditinggalkan oleh gereja-gereja Barat. Maka, menjadi keharusan bagi para seniman menginterpretasi makna-makna yang terkandung di dalam kitab suci untuk dikontekstualisasikan dalam konteks kebudayaan kita. Nah, di sini para seniman gereja membutuhkan penghayatan dan pengetahuan yang memadai terhadap kekayaan budaya lokal untuk dikreasikan menjadi karya seni yang kontekstual.

Sebab, seni adalah juga upaya menerjemahkan pesan ke dalam kesadaran setiap manusia, yang diharapkan dapat mempengaruhi si manusia untuk mengambil sikap dalam kehidupannya. Pesan yang dikandung dalam teks misalnya, diramu dalam ide, imajinasi dan emosi kemudian dimaterialkan dalam sebuah karya. Itulah proses pemindahan dan penerjemahan pesan. Dari subjek ke subjek yang lain. Dan, pesan dari sebuah karya hasil seni akan sangat bermakna ketika dia merupakan hasil dialog dengan kenyataan. Seni sangat baik dan tepat untuk menjadi media atau alat kontektualisasi teologi.

Seni adalah sesuatu yang sangat dekat dengan agama (gereja). Kita memahami juga bahwa tulisan-tulisan dalam Alkitab ada hasil karya sastra. Sebab, tulisan-tulisan itu terutama bukan sebagai laporan sejarah melainkan hasil ekspresi dan refleksi manusia-manusia beragama di masa lampau untuk menyampaikan imannya. Tulisan-tulisan itu berupa prosa dan puisi. Di dalamnya kita menemukan keindahan bahasa dan terutama pesan yang penuh makna. Dan, agaknya Alkitab telah membuktikan kepada kita bahwa sebuah karya seni akan dapat bertahan berabad-abad, dan lestari bersama dengan tragedi dan komedi sejarah manusia jika dia mengandung makna dan pesan-pesan yang menghidupkan.

Dan, pesan-pesan itulah yang telah dibawa oleh Yesus Kristus dalam apa yang kita sebut Injil. Injil, atau Kabar Baik itu bermakna pembebasan, pemerdekaan dan keadilan. Dan, nilai-nilai itu telah disampaikan oleh para penulis kita Injil dalam sebuah keindahan bahasa: kata, ungkapan dan kalimat. Para penulis Injil kemudian merefleksikan nilai-nilai itu dalam karya-karya sastra yang sampai hari ini masih kita baca. Karena itulah sehingga Khalil Gibran, penyair Kristen kelahiran Libanon, dalam sebuah ekspresinya menyebut “Yesus, Seorang Penyair”. Tulis Gibran, “Yesus adalah seorang Penyair. Ia mampu melihat dan mencerap apa yang tak dapat kita pahami, dan kata-kata sunyi ada di bibir-Nya. Jarinya sanggup menyentuh segala yang tak terjamah.”

Maka tujuan utama seni dalam gereja adalah untuk menerjemahkan nilai-nilai Injil itu kepada umat manusia yang terus bergulat hebat dengan hidupnya. Seni gereja tidak terutama prestise, seperti yang sering kita saksikan dalam lomba-lomba paduan suara gerejawi, atau misalnya dengan menghiasi gereja dengan benda-benda seni yang mahal-mahal hanya untuk menyatakan gengsi dan kesombongan. Seni adalah keindahan, keunikan dan terutama adalah pesan-pesan yang mendamaikan dan membebaskan. Seni adalah juga media untuk mengakrabkan kita dengan Yesus.



[1] Disampaikan pada Pelatihan Dasar (Peldas) III Congregational Theater Center (CTC) Youth of KGPM di Bukit Horeb Tomohon tgl 28 – 30 Januari 2011.

[2] Penulis, dosen fakultas teologi UKIT, giat di Mawale Cultural Center.

0 komentar: